Tampilkan postingan dengan label tokoh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tokoh. Tampilkan semua postingan

Selasa, 24 Maret 2020

Langsing Sehat Bersama Malamuseum

28 komentar
MUNGKIN kalian bertanya-tanya,  "Langsing sehat bersama Malamuseum? Apa Komunitas Malamuseum sekarang punya program kebugaran? Semacam senam massal atau melakukan yoga bersama-sama tiap Minggu pagi?"  

Tentu tidak dong, ah. Malamuseum masih berpegang teguh pada khittahnya, kok. Masih setia berada di jalur dolan sejarah. Belum berubah menjadi dolan senam. 

Percayalah. Diriku ini sama sekali tidak berdusta. Kalau kurang percaya, silakan tengok akun IG-nya di  @malamuseum .... 

Lalu, mengapa judul tulisan ini "Langsing Sehat Bersama Malamuseum"? Hahaha! Sebab kenyataannya, lemak-lemah tubuhku banyak yang terbakar hingga luntur, gara-gara sering dolan sejarah dengan Malamuseum. 

Kok bisa? Bisa bangeeet, dong. Dolan sejarahnya 'kan dilakukan dengan berjalan kaki. Divisi yang mengelolanya saja berlabel JWT (Jogja Walking Tour). 

Ya sudah. Memang aktivitas kami full berjalan kaki. Bergeser dari satu spot sejarah ke spot sejarah yang lainnya dengan berjalan kaki. 

Kalau keasyikan memotret sebuah objek sehingga ketinggalan rombongan, pada akhirnya malah harus berlari-lari kecil juga. Macam orang jogging. Demi menyusul rombongan tercinta 'kan ya?

Bila dilihat dari sudut pandang dunia olahraga, jarak tempuh dolan kami relatif dekat. Namun jangan lupa, bagi kaum mager sepertiku, ya cukup memeras tenaga. Apalagi kalau kebetulan spot yang mesti dikunjungi banyak. Mana lokasinya saling berjauhan pula. 

Belum lagi kalau matahari sedang bersinar cetar membahana. Makin terperas deh, keringatku. Dijamin ketika balik ke rumah, maunya selonjoran sembari dipijit-pijit kaki ini.  Hehehe ....

Sebagai bukti bahwa aktivitas dolan sejarah kami memang full berjalan kaki, silakan cermatilah deretan foto berikut. 
    
Ngumpul dulu di teras Museum Sudirman

Lagi di tengah jalan di Kampung Bintaran, nih ....



Saat Jelajah Kauman (1)


Saat Jelajah Kauman (2)


Berpanas-panas di Malioboro


Di Pelataran Masjid Gedhe Kauman


Di Malioboro



Di seberang bekas gedung bioskop Indra



Di teras gedung DPRD DIY


Di sebelah barat Kantor Pos Besar



Di Pendopo Lawas (sisi timur altar)


Di sisi selatan altar (alun-alun utara)


Baik. Cukup ya, parade foto serunya. Semoga berhasil membangkitkan minat kalian untuk bergabung dengan kami. Tentu setelah badai COVID-19 benar-benar berlalu. 

O, ya. Fokus tulisan ini pada semangat berjalan kakinya. Bukan pada penjelasan sejarahnya. Kalau penjelasan sejarahnya sudah tersebar di beberapa tayangan dalam blog ini 'kan? Silakan mengeksplorasinya jika berkenan. 

Akhirul kata .... 

Jika mager untuk berolahraga di akhir pekan, ikutlah "piknik" yang diadakan oleh Malamuseum-JWT. Manfaatnya bisa ganda, lho. Badan langsing sehat, wawasan sejarah kita pun bertambah. Serius.  

MORAL CERITA: 
Selalu ada sisi lain dari sebuah aktivitas.





Selasa, 15 Oktober 2019

Kampung Bintaran Yogyakarta

32 komentar
HALO Sobat Pikiran Positif ....

Semoga kabar kalian baik adanya. Senantiasa penuh keberkahan dan kebahagiaan. Aamiin. Semoga pula kalian tetap merindukanku. Sama besar seperti rindu kalian kepada Jogja tercinta. Haha! 

Seperti biasa, kali ini aku pun akan hadir dengan membawa kabar seputar Jogja. Wis, tho. Pokoke Jogja forever. Namuuun, bukan jenis Jogja yang gemerlapan ala high class lho, ya. Justru sebaliknya, blog ini kerap menampilkan yang undercover-undercover dari Jogja. Aliaaas ... bercerita tentang pojokan-pojokan Jogja yang bisa jadi luput dari pengamatan (kunjungan) kalian. 

Adapun kali ini yang hendak kuceritakan adalah Bintaran. Iya, Bintaran yang menjadi lokasi Toko Roti Murni itu. Yang ternyata di seputaran situ banyak tempat kulineran asyik lainnya.

Beberapa asrama mahasiswa pun berlokasi di Bintaran. Salah satunya adalah Asrama Bundo Kanduang (Asrama Mahasiswa Sumbar). Asrama lainnya seingatku milik mahasiswa Sulawesi dan Kalimantan. Akan tetapi, aku lupa Sulawesi mana dan Kalimantan mana. Paraaah!  

Ngomong-ngomong, mengapa kali ini aku ingin bercerita Bintaran? Yeah. Simpel saja jawabannya, "Sebab aku barusan ikutan Kelas Heritage Bintaran yang diselenggarakan oleh Komunitas Malamuseum. Sebagai bukti, ini nih kupamerkan dua stiker yang kudapatkan dari acara tersebut. Haha!




Beruntunglah aku kenal dengan Malamuseum. Sebab darinya, telah banyak kutahu informasi-informasi menarik tentang masa lalu Jogja. Salah satunya ya masa lalu dari kawasan Bintaran ini.***Tapi di tulisan ini aku belum membahasnya detil, ya. Insyaalah next postingan. ***

Yeah! Walaupun sudah terlampau sering bolak-balik melewati kawasan Bintaran, baru bersama Malamuseum itulah aku paham betul tentangnya. Dalam arti, menjelajahinya dengan jalan kaki sampai agak gempor dan mengulik kisah-kisah masa silamnya.

Aku pun baru paham alasan kampung tersebut dinamakan Bintaran. Rupanya nama itu berasal dari nama BPH Bintoro, putra ke-61 Sri Sultan HB II. Karena sang pangeran dahulunya bertempat tinggal di wilayah situ, terkenallah wilayah situ sebagai Kampung Bintaran.

Konon kediaman sang pangeran di lokasi yang kini menjadi Kafe Cangkir. Nah, nah. Bolehlah kalian yang kerap nongkrong di Kafe Cangkir berhalusinasi ketemu sang pangeran. 

Ngomong-ngomong, kalian ada yang sering jajan ke Bakmi Kadin? Yang antrenya bagaikan menunggu jodoh datang? Itu termasuk wilayah Bintaran, lho. Kerenlah kalian bisa jajan di wilayah heritage. Hehehe  ....

Iya. Kalian wajib tahu kalau 2/3 dari wilayah Jogja merupakan wilayah heritage. Jadi ke mana pun kaki melangkah, berjumpa dengan artefak masa silam adalah keniscayaan. Salah satu contohnya ya Bintaran ini.

Sebelum membaca tulisanku ini, mungkin kalian enggak paham kalau Bintaran menyimpan banyak sejarah. Idem denganku sebelum aku ikutan Kelas Heritage. Padahal, di seantero kampung tersebut berderet bangunan Cagar Budaya Rumah Indis.

Rumah Indis di Bintaran terdiri atas dua tipe. Yakni tipe premium (lebih megah dan luas) dan tipe biasa. Yang tipe premium contohnya adalah bangunan yang kini menjadi Museum Sudirman. Adapun bangunan lain yang tersebar di seantero Bintaran merupakan rumah-rumah Indis yang lebih kecil.

Sampai sekarang bangunan-bangunan kuno itu masih difungsikan. Jadi, masih lumayan terawat. Tentu dengan aneka macam peruntukan. Ada yang menjadi kafe, ada pula yang sekadar ditinggali.

Selain Museum Sudirman, Gereja Bintaran adalah bangunan megah lain yang terdapat di Bintaran. Tahukah kalian? Di kompleks Gereja Bintaran inilah SMA De Britto bermula. Eh, kalian tahu SMA kondang tersebut 'kan?

Singkat cerita, silakan langsung cermati foto-foto ini sajalah. Supaya kalian paham bahwa kalian sedang berada di wilayah Bintaran, andai kata suatu saat nanti nyasar di salah satu tempat dalam foto berikut. Hehehe .... 


Museum Sudirman 

Rumah Indis yang kini jadi resto pizza dan grosir properti 

Kelir Petunjuk Cagar Budaya Rumah Indis

Pendopo itu Kafe Cangkir

Sisi barat kompleks Kafe Cangkir 


Rumah Indis minimalis 
RAMINGKEM 

Bangunan Heritage di belakang Ramingkem 

Sisi Belakang Gereja Bintaran 



MORAL CERITA:
Jogja memang istimewa, ya? Tempat pikniknya banyaaak.





Selasa, 09 Juli 2019

Warisan Sutopo Purwo Nugroho

18 komentar
BARU saja bangsa Indonesia berduka. Salah seorang putra terbaiknya, Sutopo Purwo Nugroho, pada 7 Juli 2019 lalu meninggal dunia. Iya. Tuntas sudah tugas hidup beliau. Pertalian beliau dengan waktu telah usai. Kini yang tersisa hanyalah warisan dan kenangan baik tentang beliau. 

Sungguh!  Almarhum Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana itu memang orang baik. Paling tidak untaian doa dan aliran ucapan belasungkawa dari berbagai kalangan masyarakat menjadi buktinya. 

Presiden Jokowi yang diidolakan oleh almarhum pun menyampaikan pujian. Presiden mengatakan bahwa Pak Sutopo Purwo Nugroho adalah seseorang yang hidupnya didedikasikan untuk orang banyak. Selain itu melalui semua akun medsos beliau, Presiden Jokowi juga menyatakan rasa belasungkawa yang mendalam.  

Nah! Bukankah semua hal tersebut merupakan indikasi kuat bahwa almarhum memang orang baik? Termasuk ke dalam golongan hamba yang dicintai-Nya? 

Yang menarik, Presiden Jokowi juga membagikan kata-kata bijak yang pernah diucapkan almarhum saat keduanya bertemu beberapa waktu lalu. Yakni beberapa bulan sebelum almarhum berobat ke luar negeri. Begini Presiden Jokowi menulis, "Hidup itu bukan soal panjang pendeknya usia, tapi seberapa besar kita dapat membantu orang lain, kata Pak Topo suatu ketika. Dan, ia mengamalkan kalimat itu dengan baik."

Ya Allah .... 

Aku sungguh kehabisan kata. Kepergian Bapak Sutopo Purwo Nugroho benar-benar kembali menggedor kesadaranku akan makna hidup ini. Kembali menepuk bahuku kuat-kuat. Mengingatkan betapa pentingnya menjadi manusia baik. Di mana pun, kapan pun, saat berperan sebagai apa pun. 

Kukira, tak ada yang tak iri dengan cara Bapak Sutopo Purwo Nugroho pergi. Dedikasinya pada tugas telah menginspirasi dan memotivasi kita semua untuk juga berdedikasi dalam bidang pekerjaan masing-masing. Demikian pula keikhlasannya dalam menerima takdir sakit dari-Nya. 


MORAL CERITA:
Harimau mati meninggalkan belang. Gajah mati meninggalkan gading. Manusia mati meninggalkan budi. 



Jumat, 28 Desember 2018

Kenalan dengan Qurotul Ayun

4 komentar


BERUNTUNGLAH aku diperkenankan oleh-Nya untuk berkawan dengan banyak anak muda keren. Bukan sekadar keren dalam penampilan fisik, melainkan keren dalam prestasi. Itu merupakan sesuatu, lho. Selain membuatku (merasa) awet belia, mau tak mau juga membuatku kerap cemburu.

Yeah!  Cemburu dalam hal prestasi 'kan boleh-boleh saja. Justru dianjurkan toh? Supaya kita terpacu semangat untuk berprestasi juga. Tak jadi soal berapa pun usia kita. Hehehe ....

Salah satu anak muda keren yang kukenal adalah Qurotul Ayun. Gadis asal  Jember yang kini menetap di Yogyakarta. Tentu menetap sembari bekerja dan berkarya. Bukan sekadar menetap untuk memenuhi Yogyakarta. Haha!

Siapa Ayun sebenarnya? Dia adalah anak muda sarat prestasi. Bekerja di sebuah penerbitan, nyambi sebagai reporter dan blogger, dan menjadi penulis. Yup, yup. UNFORGETTABLE INDIA adalah buku karyanya. Kalian sudah membacanya atau belum, nih?



Sejauh pengamatanku, Ayun merupakan sosok cerdas, bertakwa, baik hati, dan tidak sombong. Caelaaa. Kedengarannya Pramuka banget, ya? Apakah kamu memang seorang Pramuka sejati, Dek Ayun? Haha!

O, ya. Secara pribadi, ada satu hal darinya yang sungguh mengesankanku. Yakni ... dia ternyata tak melupakanku setelah pertemuan pertama kami. Tepatnya pertemuan pertama yang sekaligus perkenalan kurang intensif. Dalam sebuah acara yang melibatkan blogger.

Tentu saja aku terkesan dan terharu sebab masih diingatnya. Apa boleh buat? Terpaksa kuakui deh, biasanya 'kan aku dilupakan begitu saja. Huaaaahahaaahaaaa! #tragis.com

Eh, sudah ya. Sekian dulu ceritaku tentang Qurotul Ayun. Seorang anak muda penuh dinamika, yang bercita-cita untuk mengelilingi dunia dan menjadi juragan kos-kosan.

Semoga kalian terinspirasi dan termotivasi untuk selalu berprestasi seperti dirinya. Tak harus dalam bidang yang sama dengannya. Cukuplah dalam bidang kalian masing-masing. Poin utamanya 'kan "meraih prestasi semaksimal mungkin". Oke?

MORAL CERITA:
Berkawanlah dengan siapa saja tanpa memandang batasan usia. Yang terpenting justru kualitasnya. Bukan berapa usianya.







Jumat, 27 April 2018

Mana Inspirasi Menulis Kartini?

0 komentar

SELAMA April 2018, ada dua acara terkait Hari Kartini yang kudatangi. Keduanya berupa gelar wicara alias talk show. Tempatnya berlainan. Penyelenggaranya berbeda. Nuansanya pun jelas tak sama.

Yang satu diselenggarakan di sebuah museum. Yang nuansanya sudah pasti cenderung formal. Yang satunya berlangsung di sebuah resto pizza. Dan tentu saja, nuansanya lebih santai.

Akan tetapi, tema perbincangannya idem ditto. Serupa meskipun tak sama persis. Tak jauh-jauh dari isu perihal emansipasi wanita. Terkhusus dalam hubungannya dengan situasi zaman now.

Yup! Intinya, Kartini memungkinkan kaum wanita Indonesia berkarya sesuai dengan bidangnya masing-masing. Memungkinkan kaum wanita Indonesia lebih leluasa untuk berkarya dan beraktivitas. Sesuai dengan minat dan kapasitas masing-masing.

Lalu pengharapannya, wanita Indonesia modern mampu meneladani semangat ingin maju dari Kartini. Mesti berani mengejar mimpi-mimpinya. Mesti bisa membaca peluang untuk meraih kesuksesannya. Boleh kekinian, tetapi tetap memegang teguh unggah-ungguh alias sopan santun.

Hmm. Sungguh keren dan idealis 'kan? Memang bagus, sih. Hanya saja aku merasa ada yang kurang. Iya. Menurutku, dari tahun ke tahun memang cenderung ada yang kurang. Yang terlupakan dari kenangan tentang seorang Kartini. 

Kartini itu dikenal dunia 'kan sebab menulis. Karena surat-surat yang ditulisnya. Yang kemudian dikirimkannya kepada seorang sahabat Belandanya. Yang tinggal di negeri kincir angin. 

Yang artinya, Kartini sesungguhnya sah bila dijadikan inspirator bagi wanita Indonesia dalam hal menulis. Menurutku sih, demikian. Entah kalau menurut Kang Armand Maulana. Entah pula kalau menurut kalian. 

Namun yang jelas, Kartini sangaaat disayangi oleh Pramoedya Ananta Toer sebab ia menulis. Sekali lagi, sebab ia menulis. Maka wajar toh, bila aku merasakan ada yang kurang dari dua gelar wicara yang kuikuti? 

Yeah, apa boleh buat? Apa mungkin karena para narasumbernya tak ada yang penulis? Sehingga kiprah Kartini dalam menulis justru tak dibahas sama sekali? Duuuh. 

MORAL CERITA:
Karena menulis, jejak perjuangan Kartini terasa jelas gaungnya hingga kini. Jauh lebih jelas daripada pahlawan wanita Indonesia yang lainnya. Jadi, mengapa Kartini masa kini tak sekalian ikut menulis?



Para wanita Indonesia yang sering menulis (plus seorang wanita Jepang)


Jumat, 26 Januari 2018

Dedikasi Yu Hadi Gudheg

2 komentar

Yu Hadi dan seorang pelanggannya


SELEPAS Subuh, Yu Hadi sang penjual gudheg sudah mulai menggelar jualannya di Kampung Kauman Ngupasan Yogyakarta. Tepatnya di depan mushola bersejarah, yaitu Mushola Aisyiyah. #Insya Allah lain kali aku ceritakan mengenai Mushola Aisyiyah yang bersejarah ini.

Sudah pasti setelahnya, Yu Hadi kemudian disibukkan dengan aktivitas melayani para pembeli. Baik pembeli yang dari Kauman sendiri maupun yang berdatangan dari luar Kauman. Jangan salah. Meskipun lapaknya sesederhana itu, omzet Yu Hadi terbilang besar. 

Dengan mata kepala sendiri, aku kerap kali melihatnya sibuk menyiapkan pesanan nasi kotak. Tentu dengan menu gudheg. Sementara pada waktu yang lainnya, ia tampak sibuk melayani konsumen yang memborong gudhegnya. Konsumen yang model begini biasanya meminta besek dari bambu sebagai pembungkus gudheg. Biasanya hendak dibawa keluar kota. Dijadikan sebagai oleh-oleh.

Hingga kurang lebih pada pukul 10.00 WIB, Yu Hadi pun berkemas pulang sebab jualannya licin tandas. Tiap hari begitu. Kecuali tatkala sakit atau punya acara, barulah Yu Hadi libur jualan. Yeah! Begitulah adanya. Tak peduli terik dan hujan, ia senantiasa berjualan.

Dan, hal itu telah berlangsung puluhan tahun lamanya. Jauuuh sebelum aku tinggal Kauman. Alhasil, Yu Hadi adalah saksi sejarah dinamika kampung tersebut. Baik disadari olehnya maupun tidak, Yu Hadi ini bahkan menjadi pelengkap kenangan bagi banyak tokoh yang lahir dan besar di Kauman. Pak Munichy B. Edrees salah satunya.

Saat menjadi ustaz di pengajian RW, Pak Munichy sempat bercerita kalau pernah dimarahi Yu Hadi. Duluuu sekali. Ketika beliau masih berusia 5 tahun. Gara-garanya bersin tepat di depan baskom gudheg Yu Hadi. Padahal, tatkala itu Yu Hadi baru saja membuka lapak dan gudheg masih menggunung. Haha! Pantas saja kalau dimarahi. 'Kan gawat kalau ada ingus yang ikut menyemprot ke gunungan gudheg.  

Pahlawan Pangan
Menurutku, Yu Hadi juga layak disebut sebagai Pahlawan Pangan. Coba bayangkan. Berapa generasi anak sekolah dan mahasiswa yang tertolong sarapannya oleh gudheg Yu Hadi? Sebab seporsi gudheg Yu Hadi, mereka bisa lebih berkonsentrasi saat belajar di sekolah/kampus. Tuh 'kan, memang keren.

Lalu, karena beberapa orang nitip jualan berupa kue pukis-susu kedelai-martabak-risoles di lapaknya, kupikir ia pun layak disebut sebagai Pahlawan Ekonomi Keluarga. Yup! Bukankah dengan begitu ia berjasa menolong dapur orang lain agar tetap mengebul? 

Sudahlah. Yu Hadi itu sesungguhnya bisa disebut pahlawan. Dengan caranya sendiri, ia ternyata mampu meneladani perjuangan Kartini 'kan? Kalau masih hidup dan berkesempatan singgah di lapak gudheg Yu Hadi, Kartini pasti akan menepuk-nepuk pundak Yu Hadi. Tentu untuk menyatakan salut atas kebermanfaatannya bagi sesama. Lewat dedikasinya berjualan gudheg!


MORAL CERITA:
Menjadi pahlawan itu tak selalu melalui cara-cara yang menghebohkan dunia. Sebab sejatinya, seorang pahlawan adalah sepi ing pamrih rame ing gawe.



Jumat, 26 Mei 2017

MARK ZUCKERBERG Wisuda yang Tertunda

4 komentar
FAMILIAR dengan nama Mark Zuckerberg 'kan? Iya, betul. Dialah sang pendiri-penemu Facebook. Maka etikanya, tiap pengguna Facebook mengetahuinya. Tepatnya tahu dan selalu berterima kasih kepadanya. 

Diakui atau tidak, faktanya banyak orang--dari ras dan agama apa pun--yang terbantu oleh Facebook. Mulai terbantu dari hal-hal yang sepele hingga yang berat. Mulai dari yang sekadar menemukan kawan lama hingga mengembangkan bisnis.

Pendek kata, banyak kemudahan urusan yang terjadi sebab Facebook. Maka wajar bila kita mengapresiasi buah karya Mark Zuckerberg itu. Siapa yang berani menyangkal fakta tersebut?

Dan rupanya, kerja keras Mark Zuckerberg dalam mengembangkan Facebook berbuah sangat manis. Baru-baru ini dia mendapatkan gelar kehormatan berkat kesuksesannya mengelola Facebook. Dari mana? Dari Universitas Harvard, almamater yang dulu telah men-DO-nya.

Iya. Pada tanggal 25 Mei 2017 lalu, Mark Zuckerberg memang menerima gelar Doktor Kehormatan Bidang Hukum dari Wakil Presiden dan Sekretaris Universitas Harvard. Gelar tersebut diterimanya dalam acara pembukaan penyambutan angkatan 2017 di Universitas Harvard. 

Tahukah Anda? Sekitar 12 tahun lalu Mark Zuckerberg DO, drop out, dari universitas tersebut gara-gara Facebook. Dan sekarang, gara-gara Facebook pula dia dianugerahi gelar kehormatan. 

Yeah! Hidup memang penuh kejutan di tiap kelokannya. Apa yang dialami oleh Mark Zuckerberg hanyalah satu di antaranya. Kalau sekarang dia tampak amat beruntung, tentu tidak demikian halnya belasan tahun silam. Tatkala itu tentu banyak orang yang menyayangkan ke-DO-annya.

Lalu, apa yang dapat kita ambil sebagai hikmah dari kisahnya itu? Tentu sikap pantang menyerah dan kerja kerasnya dalam mengelola Facebook. Dia rela DO sebab meyakini jalan yang dipilihnya. Alhasil, hasil manis semua yang dicecapnya. Oke. Selamat, ya ....

MORAL CERITA:
Hasil tidak pernah mengkhianati proses.


Senin, 22 Mei 2017

Lebih Dekat dengan Mahfud Ikhwan

0 komentar
BAGI pemerhati sastra Indonesia, Mahfud Ikhwan tentu bukanlah nama yang asing. Siapa sih, yang tak tahu Kambing & Hujan? Siapa pula yang sudi mengabaikan Ulid? Atau, merasa tak tergelitik dengan Aku & Film India Melawan Dunia? Bukankah ketiganya merupakan buah karya Mahfud Ikhwan? 

Sudah pasti selain ketiga buku di atas, masih banyak lagi karya yang lainnya. Di antaranya Lari Gung! Lari! (novel), cergam Seri Peperangan pada Zaman Nabi (3 jilid), dan Bertualang Bersama Tarikh (4 jilid).
 
Novel Ulid edisi revisi dengan cover baru
 

Siapa Mahfud Ikhwan? Karena sedang beken, tentu tak sulit untuk googling tentangnya. Namun, baiklah. Demi kepantasan sebuah tulisan (agar sesuai dengan judul di atas), di sini akan kukemukakan sedikit mengenai sosoknya. 

Mahfud Ikhwan lahir di Lamongan, 7 Mei 1980. Lulusan Jurusan Sastra Indonesia UGM, tahun 2003. Sejak kuliah sudah aktif menulis. Kala itu cerpen-cerpennya dimuat di Annida, Jawa Pos, Minggu Pagi, dan di beberapa buku antologi cerpen independen.  

**Ya Tuhanku, dia memang mahasiswa yang baik dan benar. Sangat menjiwai perannya selaku mahasiswa sastra. Diriku beranjak malu, nih. Tatkala berstatus sebagai mahasiswa sastra dulu, aku aktif ngapain? Tepok jidat tetangga** 

Karya Mahfud Ikhwan yang memenangakan Sayembara Novel DKJ 2014

Hidup seorang Mahfud Ikhwan adalah menulis dan mengedit. Mengedit naskah lho, ya. Bukan mengedit wajah teman. O, ya. Dia juga merupakan seorang blogger. Tapi bukan blogger hore-hore uh sya la la macam aku. Tulisan-tulisannya tetap saja serius dan bermuatan berat. Namun, gaya penyampaiannya jenaka menggelitik. 

Dia aktif  menulis ulasan sepakbola di belakanggawang dan ulasan film India di dushmanduniyaka. Semua ulasan dalam kedua blog tersebut menunjukkan kedalaman pemahaman atas topik yang dibahas. Dan, tentu saja,  menunjukkan keluasan ilmu dan wawasan sang penulis. 

Mahfud Ikhwan pun tak segan berbagi ilmu menulisnya. Itulah sebabnya dia menjadi fasilitator dalam Bengkel Menulis Gerakan Literasi Indonesia (GLI). Jadi kalau mau, kita bisa banget menjadi muridnya. 

Sampai di sini, Anda sudah makin paham perihal Mahfud Ikhwan 'kan? Alhamdulillah kalau sudah. Kalau begitu, daku pamit saja. Tapi sebelumnya, izinkan aku untuk pamer foto berikut. Haha!

Mumpung ketemu, foto bareng lah yaa ....

MORAL CERITA:
Tak peduli apa jurusan kuliah kita, sejauh kita punya totalitas penuh untuk belajar di situ dan kemudian rajin berkarya, ketenaran tak akan ragu untuk datang menghampiri kita.

Minggu, 11 Desember 2016

Ia Berpulang pada Hari HAM

2 komentar
SEBUAH kabar duka menyapa. Kuterima dengan sedikit kaget sebab ia yang berpulang sudah lama tak kudengar kabarnya. Mungkinkah sebab aku yang kurang up date? Atau, memang media yang kurang santer memberitakannya? Entahlah. Faktanya, kabar duka tersebut memang tak secetar kabar berpulangnya seorang selebritis.

Padahal, ia yang berpulang itu seorang tokoh. Bukan orang sembarangan, melainkan manusia yang penuh dedikasi. Komitmennya kepada negeri ini justru jelas. Meskipun oleh rezim dan pihak yang dikritisinya, ia selalu dianggap musuh. 

Bahkan konon kabarnya, yakni kabar yang sengaja ditahan di bawah permukaan, kepindahannya ke suatu kota di wilayah Indonesia Timur sebab ia memang diusir dari domisilinya semula. Dari sebuah tanah yang penguasanya merasa terusik sebab celotehan kritisnya. Ah, entahlah. Jikalau memang berita itu benar adanya, sungguh nista para pengusirnya itu. Terlebih pihak yang merestui pengusiran itu. Di mana keadilan?

Aku kerap mendapatkan nasehat begini, "Manusia akan diwafatkan dalam keadaan sebagaimana dirinya semasa hidup." Dan ia yang berpulang tepat pada Hari HAM, memang akrab berkawan dengan segambreng persoalan HAM. Iya, berkawan sebab memperjuangkannya.

Huft. Harga pertalian adalah mati. Ajal pun tak pernah mau menunggu bila waktunya tiba. Maka berpulanglah ia pada 10 Desember lalu. Dalam sunyi. Jauh dari pemberitaan yang cetar. Kalah cetar dari berita meninggalnya seorang penyanyi dangdut tak terkenal. Huft. Ironis!

Selamat jalan, Bapak George Junus Aditjondro....

MORAL CERITA:
Selalu ada kisah yang tersimpan di bawah permukaan. Baik yang sengaja disimpan maupun tidak.  
  

Jumat, 11 November 2016

Oh la la Mr. Trump

0 komentar
Langit mendung itu.... Apa makna yang tersirat di baliknya?

SEORANG teman mayaku, yang tinggal di bumi Amerika Serikat sono, sempat bikin status bahwa mendung sedang menggantung hitam di Negeri Paman Sam. Sedari petang hingga keesokan paginya. Seiring dengan merebaknya kabar kemenangan Donald Trump dalam pilpres AS. 

Teman mayaku itu juga bercerita, pada pagi hari jadwal pencoblosan, anaknya yang duduk di bangku SMA sempat berpesan sebelum berangkat ke sekolah. Apa isi pesannya? Yakni permintaannya agar sang mama (maksudnya teman mayaku itu) memilih Hillary Clinton  Bahkan, si anak juga menyarankan agar mamanya mau mengajak orang-orang lain untuk memilih Hillary.

Rupanya anak-anak Amrik tidak menyukai sosok Trump. Apalagi anak-anak imigran dari berbagai negara di luar Amerika Serikat.  Maka yang paling terpatahkan hati ketika Trump terpilih menjadi presiden adalah anak-anak sekolahan. Dan, pada hari ini anak-anak sekolah di Amerika sono meliburkan diri. Mereka turun ke jalan untuk melakukan demo.

Wuah. demo....Tidak di sana tidak di sini. Tidak di Amerikat Serikat tidak di Indonesia. Ah, entahlah. Aku lelah mengulasnya lebih detil.  Maka nikmati saja postingan intermezzo ini.

MORAL CERITA:
Jangan sepelekan anak-anak. Bagaimanapun mereka punya pendapat tersendiri dalam menyikapi sesuatu.



Kamis, 27 Oktober 2016

Ya, Saya Blogger

4 komentar
HARI ini, 27 Oktober, adalah Hari Blogger Nasional. Meskipun belum menjadi blogger yang profesional dan cetar, boleh dong daku ikut merayakannya. Sekadar bersukacita, masak sih enggak boleh? Haha! Bagaimanapun bentuknya, daku toh punya blog yang lumayan menawan. Eh? Menawan? Ckckck. Pedenya kok kelewatan? 

Tenang dulu pemirsaku. Kalimat itu belum selesai. Maksudku, menawan... lebih menawan daripada masa-masa sebelumnya. Tatkala pertama kali daku menulis di blog. Lalu, desainnya juga lebih cantik. Hmmm. Ya jelaslah cantik. Soalnya habis direnovasi oleh sohib beliaku di IIDN Jogja. Itu lho, Liya Swandari yang selalu di hati. Haha!

Baiklah. Blog punyaku ini memang belum berbayar. Tapi rencana untuk menjadikannya berbayar sudah mulai kurintis, kok. Insya Allah segera kurealisasikan rencana tersebut. Karena konon kabarnya, alamat blog yang masih gratisan bikin alergi pihak-pihak tertentu.  Dan, lagi-lagi aku meminta nasehat Liya Swandari (bukan Liya yang lainnya) dalam hal ini. 

O, ya. Keinginan untuk memperoleh duit dari blog memang ada di hatiku. Hanya saja, rasanya hal itu tidak menjadi prioritasku saat ini. Sekarang sih daku masih lebih cinta untuk memaknai blog ini sebagai sarana berbagi ilmu/pengalaman, berbagi kisah lucu, dan untuk curcol-curcol elegan. Jangan salah lho, ya. Curcol yang elegan memang dalam blog wadahnya. 

Namun, jangan salah paham juga. Bukan berarti kalau ada yang memberi duit gegara postinganku di blog, lalu aku tolak mentah-mentah. Wuahduh! Tidak. Tidak seperti itu kok diriku. Aku ini ngaya cari duit sih tidak. Tapi menolak duit pun ogah. Yang wajar-wajar sajalah. 

Ya, sudahlah. Sekian saja postinganku di Hari Blogger Nasional 2016 ini. Setidaknya tulisan singkat ini dapat menunjukkan betapa bahagianya aku punya blog. Dengan demikian, apa pun bentuk blognya, aku layak disebut blogger. 

Ahai! Saya blogger, lho. Dan tahun ini mulai kenal-kenal secara offline dengan beberapa blogger Jogja. Salah satunya dengan dedengkot blogger Jogja, Atanasia Rian, yang cantik dan ciamik. Nih, aku sudah berhasil berfoto dengannya. 

Baru pertama ketemu, ternyata bajunya senada. Padahal, bukan dress code....


Jumat, 14 Oktober 2016

Buku dari Presiden

0 komentar
PAGI ini aku baru tahu tentang kebiasaan Pak Jokowi. Biasalah. Aku tahunya dari radio. Dari mana lagi? Yeah. You should know that until now, radio is the best partner for me.... #Semoga bahasa Inggrisku tak belepotan. Haha!

Eh, kebiasaan Pak Jokowi yang mana? Itu lho kebiasaan beliau sesaat sebelum masuk mobil, setelah usai melakukan kunjungan di suatu tempat. Yakni kebiasaan membagikan buku kepada anak-anak. Biasanya ketika presiden hendak pulang, 'kan ada anak-anak sekolah yang ikut melepaskan kepulangan beliau.

Buku apa sih yang dibagikan itu? Apakah buku The Power of Bejo? Yeaaah.... Enggak, kok. Bukan buku "keren" itu yang dibagikan. Yang dibagikan adalah buku tulis yang keren. Iya. Beneran keren. Tak kalah keren dari The Power of Bejo. Duh, duh. Pembahasan malah diperpanjang. Haha!

Lalu, di mana letak kerennya? Begini. Di buku tulis itu ada tulisannya "Ayo belajar!". Nah, itu yang bikin keren. Yang membedakannya dengan buku tulis yang lainnya. Lagi pula tanpa embel-embel apa pun, buku tulis pemberian Pak Jokowi itu tetaplah keren. Pemberinya sang presiden gitu, lhooo. 

Mohon maaf, nih. Anda yang merupakan pembenci Pak Jokowi jangan salah paham, ya. Aku bukanlah fans berat Pak Jokowi. Di sini tak sedang memuja-muja secara membabi buta. Hanya saja, aku bermaksud menyebarkan kabar baik. 

Berbagi buku tulis itu 'kan baik. Bikin anak-anak senang. Kalau bersekolah (belajar) dengan buku tulis itu, bisa makin bersemangat mereka. Serasa belajar bersama sang presiden. Dan memang, demikian itulah maksud dan tujuan Pak Jokowi membagikan buku tulis spesialnya.

Aktivitas pembagian buku tulis tampaknya sepele dan biasa-biasa saja. Tapi di baliknya, Pak Jokowi menyampaikan satu pesan khusus untuk seluruh anak Indonesia. Adapun pesan yang ingin disampaikan adalah: Ayo anak-anak Indonesia, giatlah belajar demi masa depan kalian dan masa depan Indonesia.   

Nah, lho. Tak ada siratan dan suratan makna negatifnya 'kan? Anda jangan buru-buru bersikap dan berkomentar sinis, ya. Percayalah. Tak ada yang perlu disiniskan kok dari kegiatan bagi-bagi buku tulis tersebut. 

Aku menulis ini dengan hati netral. Semoga Anda sekalian juga membacanya dengan hati netral. Yeah. Bukankah sebagai sesama anak bangsa kita mesti saling mencintai? Bukan saling mencederai? Aku tetap mencintai Anda lho meskipun Anda tidak setuju dengan kabar yang kusebarkan ini. I love you all!

MORAL CERITA:
Adillah dalam berpikir, berucap, dan bertindak terhadap Pak Jokowi; sekalipun beliau bukan presiden pilihan Anda. Bagaimanapun saat ini beliau adalah bapak kita semua, lho.

Itu bukan buku tulis dari Pak Jokowi....
   

  


Jumat, 30 September 2016

Bertemu dengan Donna Imelda

0 komentar
Dalam pelukan Mbak Donna Imelda....


HIDUP itu sungguh tak terduga. Benar, lho. Sungguh tak terduga. Entah ketakterdugaannya besar maupun kecil, yang jelas unsur tak terduga kerap kali menghampiri hidup kita. Yup! Setidaknya itulah yang senantiasa kurasakan.

Seperti beberapa waktu lalu, ketakterdugaan manis kembali menyapaku. Dalam suatu acara bersama para blogger Jogja, yang diundang oleh salah satu perusahaan asuransi, takdirku rupanya berjumpa dan berfoto dengan Mbak Donna Imelda. Alhamdulillah, ya. 

Siapakah dia? Dia merupakan seorang traveller blogger yang kondang.  Wah! Orangnya ramah dan menyenangkan, lho. Selalu ringan hati ketika diajak narsis-narsis. Meskipun baru pertama kali bertemu, rasanya sudah kenal lama. Ibaratnya, kawan baru rasa sohib lama. Haha! #perumpamaan-yang-aneh

Oke. Anda mesti percaya akan hal itu. Tuh, lihat saja foto kami. Mbak Donna pengertian banget, deh. Beliau tinggi langsing, aku mungil setengah langsing. Maka dengan sadar, beliau yang sebenarnya barusan bangkit dari kursi kembali duduk demi berfoto denganku. 

Mengapa mesti kembali duduk? Demi menyeimbangkan dengan kondisikuuuh. Hehehe.... Alhasil, foto di atas itulah hasilnya. 

O, ya. Pertemuanku dengan Mbak Donna Imelda memang tak terduga. Sebab sebelum tiba di lokasi, diriku yang absurd ini kurang ngeh dengan narsum yang akan mengisi acara. Eee, ternyata Mbak Donna. Haha!
 

MORAL CERITA: 
Ketakterdugaan hidup tidak selalu berupa hal-hal yang pahit. Banyak yang manis juga.



Minggu, 04 September 2016

Sebuah Kunjungan

2 komentar


SUNGGUH aku takjub pada tamuku itu. Yang Sabtu pagi kemarin mengunjungiku. Mana repot-repot bawa oleh-oleh pula. Padahal, kunjungannya singkat. Yeah, gegara salah satu krucilnya merasa bosan minta pulang. 

Mengapa aku merasa takjub kepadanya? Sebab dia datang berombongan dengan dua krucil. Daaan, naik motor. Hahaha.... Sebagai orang yang tak piawai motoran, aku memang selalu takjub pada orang-orang yang mampu mengendarai sepeda motor dengan banyak bawaan plus bocah-bocah. Ihh, huibaaat. Padahal, tamuku itu semungil diriku. Tapi nyalinya jelas lebih besar daripada aku. 

GLEKS. Mbah Indaaah..... Mbak Indah Novita Dewi, sini dong, ah. Kita malu bersama gegara tak bernyali di hadapan motor. Hahaha.... Etapiiii... dirimu tuh jangkung lho, Mbak Indaaah. Jadi sebetulnya mudah nyongkok. Jadi, kenapa takut motoran? Hahaha.... :p

Walah. Malah jadi salah fokus, nih. Mau bercerita tentang tamuku kok malah jadi mengolokusili Mbak Indah. Hihihi.... Maafkanlah daku, pren. Sungguh.

Iyaaa. Pokoknya begitu, deh. Tamuku Sabtu lalu adalah sosok ibu siaga cekatan plus pintar. Duh, jadi terinspirasi untuk membiasakan diri motoran lagiii. Tuhan, mohon besarkan nyaliku di hadapan motor. Serius, Ya Tuhanku. 

Sungguh, kunjungan Mbak Destila Dee amat menginspirasikuuuh

MORaL CERITa:

Harus punya sepeda motor bila ingin lancar berani untuk motoran lagi. Haiiyyaaahhh.... D


Minggu, 17 Juli 2016

Ingin Disayangi Pram

0 komentar
PRAMOEDYA Ananta Toer pernah menulis tentang Kartini, "Tahukah kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi sampai jauh, jauh di kemudian hari."

Dan, aku pun ingin disayangi Pram. Ingin disayangi secara berlebih dan lebih mendalam. Maka aku berusaha keras untuk mampu menulis dengan ciamik. Salah satu upayaku ya dengan menulis di blog personalku ini.

Dengan senyum-senyum dikulum, teman-temanku mungkin akan iseng bertanya, "Ingin disayangi oleh Pram yang mana?"

Maka jawabku tak kalah iseng, "Yang mana sajalah. Tapi yang jelas, bukan Pramono... apalagi Pramono yang nama depannya Joko. Eeeaaaa.... #Mulai SARA

Sudahlah. Sekian saja postingan ini. Pendek yo ben. Yang penting sudah latihan menulis sekaligus curhat. Yang artinya, diriku sudah selangkah lebih maju untuk menarik perhatian Pram. Halah!

MORAL CERITA:
Menulis memang dahsyat efeknya.


Selasa, 05 Januari 2016

ADIBA Itu...

2 komentar
PAGI-pagi, beres-beres sekenanya, dan gemas lihat serakan kertas-kertas. Ih, Adibaku sayang kok selaluuu saja begini. Suka main robek kertas dari buku. Entah buku gambar, entah buku tulis. Atau, main ambil kertas-kertas HVS baru (padahal sudah kusediakan yang bekas, yang baliknya sudah kepakai). Ih, ih, ih. Diajak berhemat dan cinta lingkungan kok susahnyaaa begini? #hemat-kertas-itu-juga-berarti-cinta-lingkungan-cinta-alam-lho

Lalu setelah selesai dicoret-coret, entah coretannya banyak atau sedikit, yo wis! Dibiarkan begitu saja. Asal tumpuk sekenanya tanpa nilai kerapian sama sekali. Ih, ih, ih. Emaknya yang gak hobi beberes plus gak punya waktu luang banyak 'kan jadi demikian menderita? #lebay!

Eh, tapi pagi ini aku tertegun pada salah satu hasil coretannya. Aku tertegun sebab kulihat Adiba niat banget mewarnainya. Tumben tahan mewarnai begitu. Dari zaman play group dulu dia 'kan paling tidak mampu untuk menuntaskan pekerjaan mewarnai. 

Sudahlah. Aku tidak boleh ngomel-ngomel lagi tersebab ulah Adiba, nih. Mari dilihat dari sisi positifnya saja. Berarti dia kreatif sebab mau berkarya, entah apa pun itu bentuk hasil karyanya. Berarti ada kemajuan prestasinya dalam hal mewarnai. Hahahaha.... Berarti pula emaknya perlu bersyukur sebab pagi ini jadi punya ide tulisan untuk bahan ODOP. Hahahaha.... #kebanyakan-tawa


 

PIKIRAN POSITIF Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template