Tampilkan postingan dengan label Adiba. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Adiba. Tampilkan semua postingan

Senin, 31 Agustus 2020

Wajib Kunjung Museum di Jogja

29 komentar
HAI Sobat Pikiran Positif .... 

Kalian sehat-sehat saja 'kan? Plus bahagia juga? Semoga. Kalaupun sedang kurang enak badan, tetaplah berusaha untuk gembira. Jangan lupa, hati yang gembira adalah obat cespleng untuk penyakit apa pun. Iya. Insyaallah begitu. 

Baik. Sekarang mari kita bersantai sejenak waktu. Tentu dengan cara membaca tulisanku ini. Hahaha! 

Lalu, hendak bercerita tentang apakah diriku kali ini? Sudah pasti sesuai dengan judul di atas, yaitu tentang WKM alias Wajib Kunjung Museum. 

What is WKM?  WKM adalah sebuah program yang dicanangkan oleh Dinas Kebudayaan DIY. Yang salah satu tujuannya untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang permuseuman, khususnya museum-museum yang berada di wilayah DIY.

Dinas Kebudayaan DIY mencanangkannya pada tahun 2013. Yang berarti 7 tahun lalu. Tatkala itu ditandai dengan kunjungan siswa SD Syuhada Kota Yogyakarta dan siswa SMPN 3 Godean Kabupaten Sleman ke tiga museum. Ketiganya adalah Museum Tani (Bantul), Museum Wayang Kekayon (Bantul), dan Museum Benteng Vredeburg   (Kota Yogyakarta).

Begitulah mulanya. Para pelajarlah yang sebenarnya disasar oleh WKM. Sebab terindikasi, dari tahun ke tahun jumlah pengunjung museum yang terdapat di DIY terus merosot. Terkhusus pengunjung dari kalangan pelajar, tercatat cuma sebesar 40 persen. Yang 60 persen justru pengunjung pelajar dari luar DIY.

Yup! WKM merupakan program terobosan agar pelajar Yogyakarta mengunjungi museum-museum di seantero DIY. Demi lebih mengenali sejarah kota mereka sendiri. Aneh banget 'kan ya kalau kita sampai tidak paham sama sekali, dengan kota yang kita tinggali?

Sejauh pengetahuanku, WKM ini berjalan lancar dari tahun ke tahun. Maklumlah. Meskipun bukan orang dalam, Adiba kesayanganku pernah dua kali mengikutinya.

Selain itu pada tiap awal tahun ajaran baru, aku kerap melihat rombongan siswa SD, SMP, maupun SMA/SMK melakukan kunjungan ke Museum Negeri Sonobudoyo  dan Museum Benteng Vredeburg. Domisiliku 'kan tak jauh dari keduanya. Hehehe ....

Akan tetapi, pada tahun 2020 kegiatan WKM terkendala eksistensi Covid-19. Sebagaimana kita mafhumi bersama, semasa pandemi masih terjadi, para siswa bersekolah secara daring. Alhasil, WKM bagi pelajar tak mungkin diselenggarakan.

Sebagai gantinya agar WKM tetap berjalan, demi mendukung museum-museum yang telah kembali buka namun masih sepi pengunjung, sasaran utama pun diubah. Dari yang semula pelajar kini dialihkan ke instansi, komunitas, organisasi, dan masyarakat umum. Tentu dengan protokol kesehatan yang ketat.

Uji cobanya, yang melibatkan Museum Negeri Sonobudoyo dan Monumen Jogja Kembali, telah dilakukan. Sekarang (sejak 27 Agustus 2020 lalu) masyarakat umum pun dapat mengakses WKM melalui pendaftaran secara daring.  

O, ya. Slogan yang diusung WKM kali ini adalah "Cintai Museum dengan Kebiasaan Baru". 

Yoiii. Mari menyegarkan pikiran dengan cara bersenang-senang di museum. Kalau halaman museumnya saja seasri yang tampak dalam video berikut, apa kalian masih ragu untuk ikutan WKM?





Oke. Sekian dulu ceritaku. Insyaallah kita bakalan bertemu lagi di tulisan-tulisanku berikutnya. Jangan lupa untuk mengunjungi museum, ya. Museum di hatiku, kamu pun di hatikuuu. Muehehehe ....

Kutunggu kalian di halaman Museum Benteng Vredeburg. Yang penampakannya bisa diintip pada video di atas itu, lho. 

MORAL CERITA:
Makin banyak jumlah museum di kotamu, berarti makin tinggilah peradaban kotamu.




Selasa, 05 Mei 2020

Solo+Imlek+Hujan = Syahdu

6 komentar
Lampion Imlek di seputaran Pasar Gede Solo

... dan kami berteduh di Kedai Kopi Pak Agus ...


SELASA ini, tanggal 5 Mei 2020, para sobat ambyar  benar-benar merasakan keambyaran massal. Iya. Sang Maestro musik campursari, Didi Kempot, kembali ke pangkuan-Nya pagi tadi. Linimasa medsos pun penuh dengan ungkapan bela sungkawa. Mau tidak mau, diriku yang sejatinya juga mengidap keambyaran akut (tapi enggan memproklamasikan diri sebagai sobat ambyar), ikut terbawa suasana. 

Alhasil terjadilah pembelokan tema, untuk up date –an blog yang tayang hari ini. Semula akan menayangkan tulisan bertema bangunan heritage di Yogyakarta, lalu berbelok arah menjadi tulisan beraroma baper semacam ini. Yang sedang kalian baca ini. 

Hmm. Apa hubungan antara kabar duka tersebut dengan pembelokan tema? Lho, lho, lho. Jangan lupa. Solo ‘kan kota asal Lord Didi Kempot? Itulah benang merahnya. Hehehe .... 

Pokoknya apa pun istilahnya, yang jelas kabar duka hari ini bikin aku terkenang pada Solo. Terkhusus saat perayaan Imlek, Januari 2020 lalu. Yang rasanya demikian romantis dan syahduuu.

Jalanan depan pasar selepas hujan

Mereka di sana ....

Entah apa yang membuatku belakangan ini, demikian antusias pada Solo. Kalau sebab kangen pada makanannya, jelas tidak. Kalau sebab pekerjaan, sangat jelas tidak sama sekali. Please, deh. Tolong jangan paksa aku untuk menjawabnya secara tepat. Lhah wong aku sendiri tak tahu. 

Bisa jadi penyebabnya adalah kenangan. Namun, entah kenangan yang mana dan yang seperti apa? Aku bahkan ragu, benarkah aku punya kenangan di Solo atau terhadap Solo? Wah, mbulet.

Sudahlah. Tak penting semua itu. Intinya di sini, aku cuma hendak berbagi perasaan saja. Yakni perasaanku tatkala berkunjung ke Solo tempo hari. Terkhusus di seputaran Pasar gede. Tepatnya ketika perayaan Imlek berlangsung.   


Di depan klenteng bersejarah

Ada apa dengan Imlek dan Solo? Hmm. Ada lampion-lampion dan hujan yang menerbitkan kesyahduan, dong. Plus kisah-kisah unik dan konyol yang kami alami. Salah satunya keterkejutanku saat beli nasi kucing di HIK (di Solo angkringan disebut HIK). Lhah?! Kok ukuran nasinya beneran sedikiiit? Lebih kecil ketimbang nasi kucing di angkringan Jogja.



....

....

Selain cerita tentang nasi kucing, ada pula cerita tentang kami yang nyaris ketinggalan kereta saat hendak pulang ke Jogja. Apa penyebabnya? Tak lain dan tak bukan, penyebabnya adalah kemacetan dan keengganan kami meninggalkan Solo. 

Parah memang. Sebab makin malam suasananya makin syahdu, kami merasa sangaaat berat untuk pulang. Padahal, sudah sejak pagi kami muter-muter di seputar Pasar Gede itu. Ah, Solo. Mengapa perasaanku mesti begini ini terhadapmu? Muehehe ....        


Sebenarnya dua ABG itu yang berfoto, tapi aku iseng nimbrung



Kiranya begini saja celotehan ke-baper-anku kali ini. Semoga (walaupun sedikit dan entah bagaimanapun bentuknya) ada manfaatnya bagi kalian. Semoga pula bisa menginspirasi kalian untuk pergi ke Solo juga. Kelak. Saat pandemi COVID-19 sudah berakhir. Ketika perayaan Imlek tahun depan kembali diselenggarakan.

MORAL CERITA: 
Ternyata hujan tetap menjadi komponen sangat penting untuk menyusun perasaanku!









Jumat, 14 September 2018

Adiba Menolak Dwi Darma Pramuka

2 komentar
HALOOO .... 

Apa kabar sobat Pikiran Positif? Semoga kabar baik dan bahagia saja deh, yaaa. Aamiiin. 

Ngomong-ngomong, kalian tahu Dwi Darma Pramuka? Iya, betul bangeeet. Yang merupakan janji para Pramuka Siaga itu. Yang isinya begini, nih. 

DWI DARMA

(1) Siaga itu menurut ayah ibundanya; 
(2) Siaga itu berani dan tidak putus asa 

Sebuah janji yang sangat bagus 'kan? Simpel, serta mudah diingat dan dihafalkan. Tak sukar pula untuk diamalkan.

Sebagai ortu, sudah pasti aku senang dengan Dwi Darma. Harapanku, Adiba bisa mengamalkan isinya. Tentu saja dengan bimbingan ortu, guru, dan kakak pembina Pramukanya. Tapi astagaaa! Tak kusangka si bocah malah menolak mentah-mentah isi Dwi Darma. 

Ceritanya begini. Beberapa hari setelah mengenal dan menghafalkan Dwi Darma, Adiba mengajukan protes.

"Bundaaa. Aku tidak suka Dwi Darmaaa."

Aku pun menghentikan aktivitas. Setelah memandanginya sejenak, aku berujar, "Kamu tidak suka latihan Pramuka?"

"Bukan begitu, Bundaaa. Aku suka Pramuka. Diajak nyanyi-nyanyi dan bermain-main. Bisa lari-larian."

"Eh? Lalu, masalahnya di mana?" Tanyaku tak mengerti. 

"Aku cuma enggak suka Dwi Darmanya. Isinya itu, lhooo." Adiba menjawab seraya menyodorkan buku tulis kepadaku. "Ini, Bun. Baca isinya."

"Iya. Bunda sudah membacanya. Tapi kenapa?"

"Aku tidak suka. Masak siaga itu menurut ayah ibundanya? Aku tidak mau. Aku maunya ngeyel saja. Teruuus itu, disuruh berani dan tidak putus asa. Masak aku harus berani? Tidak boleh takut? Aku 'kan takut setan. Bunda aja takut setan. Masak aku yang anak kecil enggak boleh takut?"

O la la! Begitu rupanya. Sesungguhnyalah pikiranku tak pernah sejauh itu dalam menafsirkan isi Dwi Darma. Ampuuun, deh. Untunglah poin "tidak putus asa" tak ikut dibahasnya (mungkin saat itu dia belum begitu paham maknanya). Kalau iya, bisa jadi justru aku yang terjangkiti rasa putus asa.

#Ini kisah lama, saat Adiba baru masuk SD

MORAL CERITA:
Jangan sepelekan anak kecil. Bila dia sudah "berfatwa", isi "fatwa"-nya bisa amat menakjubkan. Haha!


Adiba yang sekarang

Selasa, 20 Februari 2018

Belajar Bikin Gerabah di Nglipoh

0 komentar


BAHAGIA hati ini tatkala berhasil memaksa Adiba untuk bermain-main dengan tanah liat. Haha! Dasar dia kid zaman now. Maunya main gadget melulu. Jadi kupikir, memang harus dipaksa untuk tetap mau bermain-main di dunia nyata. Untuk tetap bisa mencecap keriangan, dengan berani berkotor-ria bersama tanah liat.




Tapi main tanah liatnya tidak asal-asalan, lho. Sebab sudah ABG, Adiba pasti enggan untuk sekadar mengobok-obok tanah liat. Jadi ikut workshop bikin gerabah dari tanah liat, menjadi pilihan jitu. Sambil menyelam minum air. Sembari bermain sekaligus belajar (latihan) berkarya.

Tak tanggung-tanggung. Adiba main tanah liatnya jauh dari Jogja. Yakni di Dusun Klipoh (yang lebih tenar disebut Nglipoh), Desa Karanganyar, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Mengapa di Nglipoh? 
Mengapa main tanah liatnya mesti jauh-jauh ke Nglipoh? Bukankah di dekat Jogja ada tempat yang serupa? Hmm. Sebab Adiba tatkala itu sedang menjadi wisatawan di kawasan Candi Borobudur. Jadi boleh dibilang, main tanah liatnya itu dalam rangka berpiknik.




Dusun Nglipoh memang merupakan desa wisata, khususnya untuk destinasi belanja dan workshop bikin gerabah. Kita bisa membeli aneka rupa gerabah di situ. Dan asyiknya, bisa pula belajar membuat gerabah.

Kiranya pengalaman belajar itulah yang belakangan menaikkan pamor Nglipoh. Kaum wisatawan, baik wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara, banyak yang tertarik untuk mengikuti workshop. Terlebih biayanya amat murah. Kisaran Rp15.000,00-Rp.50.000,00.

Hasilnya pun boleh dibawa pulang. Lumayan keren untuk dijadikan teman narsis 'kan? Seperti ini, nih contohnya ....



Warisan Leluhur yang Terkendala
Sebenarnya telah belasan abad silam Nglipoh lekat dengan gerabah. Maka bisa dibilang, produksi gerabah merupakan warisan leluhur mereka. Tepatnya warisan tradisi yang mampu bertahan hidup hingga kini. Yang masih berusaha dilestarikan meskipun ada beberapa kendala.

Iya. Apa boleh buat? Kendala yang terutama adalah persoalan regenerasi pengrajin. Sekali lagi, apa boleh buat? Kaum muda Nglipoh lebih suka jadi pedagang. Alasannya simpel saja. Kalau berjualan bisa langsung dapetin uang. Sementara untuk menjadi pengrajin gerabah mesti melalui proses yang panjang dulu, sebelum dapetin duit.

Sudah begitu, masih pula ditambah kendala berikutnya. Yakni serbuan aneka produk berbahan plastik. Harus diakui, barang-barang berbahan plastik itu lebih murah dan lebih awet 'kan? Tak seperti gerabah tanah liat yang rapuh. Rentan pecah seperti hatimuuu. Hihi ....

Sementara kendala yang berikutnya lagi adalah soal ketersediaan dan mutu bahan baku. Dari tahun ke tahun, sumber tanah liat di Nglipoh kian menyusut. Maka tak mengherankan, sebagian pengrajin membeli tanah liat dari Bali dan Jawa Barat.

Tercatat di Panel Relief 
Tahukah Anda? Fakta bahwa Nglipoh merupakan sentra gerabah, ternyata terpahat di salah satu panel relief Candi Borobudur. Pada relief tersebut digambarkan adanya kaum perempuan yang membawa gerabah. Yang disinyalir merupakan produksi orang-orang Nglipoh. Faktanya hingga kini, sekitar 80 persen masyarakat Nglipoh menjadi pengrajin gerabah. Wuih! Keren 'kan?

Tak main-main. Rupanya gerabah Desa Wisata Klipoh punya keterikatan kuat dengan Candi Borobudur. Jadi, tak sekadar berdekatan secara fisik (lokasi Klipoh hanya 3,5 km di sebelah barat Candi Borobudur).

Kiranya itulah sebabnya UNESCO dan pemerintah Australia mendukung penuh berdirinya Galeri Komunitas. Yakni sebuah tempat untuk memajang-menjual aneka rupa gerabah karya masyarakat Nglipoh. Yang salah satu tujuan pendiriannya adalah untuk mengembangkan kerajinan gerabah Nglipoh.

O, ya.  Galeri Komunitas yang berlokasi di Desa Karanganyar tersebut diresmikan pada bulan Mei 2014. Hmm. Jadi penasaran untuk mengunjunginya 'kan? Maka dari itu, tengoklah sekali-sekali.

MORAL CERITA:
Sekali lagi kunyatakan, berwisata ke Borobudur itu tak melulu untuk melihat relief dan menonton susunan batu-batu.



Selasa, 29 Agustus 2017

Jadi Ibu Jangan Mudah Baper

4 komentar
SUATU ketika seorang ibu memarahi seorang bocah. Si bocah adalah teman sekelas anaknya. Memarahinya di depan banyak orang. Ada bocah-bocah yang lain, seorang guru baru, dan seorang penjaga sekolah.

Bagaikan harimau yang kelaparan, ibu tersebut langsung menyerang si bocah. Tanpa ba-bi-bu langsung saja nyap-nyap mencerocos sesuka hati. Yang intinya menyalahkan si bocah sebab telah mengajak anaknya main sampai malam.

Emosi si ibu sungguh tinggi. Sama sekali tak mempertimbangkan kondisi si bocah yang dimarahinya. Si bocah yang sudah berurai airmata tak jua membuatnya berhenti.

Naaslah nasib si bocah. Karena faktanya tidak mengajak main anak si ibu, dia berusaha membela diri. Menyatakan bahwa dirinya tatkala itu tidak main dengan anak si ibu.

Dia tahu anak si ibu main sampai malam dengan siapa. Anak si ibu sudah bercerita kepadanya. Tapi dia tak mengatakannya. Yang terpenting baginya, cukuplah si ibu diyakinkan bahwa bukan bersamanya anak beliau main sampai malam.

Namun, sayang sekali pembelaan diri si bocah tak digubris sedikit pun. Si ibu tak percaya kepadanya sama sekali. Hingga akhirnya anak si ibu muncul.

Dan, setelah tahu duduk perkara ribut-ribut yang dilakukan mamanya, ia tegas menyatakan, "Aku kemarin tidak main dengan si A ini, Ma. Aku main dengan si B."

Entah telanjur malu atau bagaimana, si mama tak mencabut kemarahannya kepada si bocah A. Dalam arti, tak mau meminta maaf. Mungkin karena gengsi. Mungkin pula karena malu telah salah memarahi.

Tapi apa pun itu,  ibu tersebut telah menorehkan luka yang berat di hati bocah yang dimarahinya tadi. Demikian pula, ia telah melukai perasaan orang tua si bocah. Tak sekadar melukai, tapi juga menginjak-injak harga diri orang tua si bocah.

Selain itu, telah pula membuat anaknya sangat malu. Malu pada si bocah yang telah dimarahi mamanya. Malu pula pada orang tua si bocah. Sebab sesungguhnya, sang anak justru pernah meminta maaf pada orang tua si bocah gara-gara mengajak si bocah main terus. Nah, lho!

Andaikata orang tua si bocah tidak mampu menahan diri, ribut-ribut tentu terjadi lagi ....

Hmmm. Mbokyao jadi ibu itu enggak usah terlalu baper. Teliti dulu sebelum marah-marah. Apalagi untuk memarahi anak orang. Mbokyao jangan terlalu yakin bahwa anak lainlah yang selalu salah. Adapun anak sendiri selalu benar. Mbokyao berpikir lebih panjang ....

#ODOP
#BloggerMuslimah Indonesia


Sabtu, 17 Juni 2017

Sedia Kado Sebelum Menerima Undangan

0 komentar
LAGI-LAGI di Ramadan tahun ini, Adiba mendapatkan undangan ultah. Bukan undangan yang jauh-jauh hari, melainkan undangan yang kategorinya mendadak. Hanya semalam sebelum hari H. Dan, Adiba menginformasikannya kepadaku saat menjelang tidur. Wah!

Padahal esok harinya sampai sore, diriku telah terikat projek pekerjaan. Yeah! Berarti aku tak sempat ke toko untuk beli kado. Sementara itu, Adiba tidak mau mencarinya sendiri. Katanya, "Aku bingung mau beli apa, Bunda? Lagi pula, nanti tetap tak bisa membungkusnya."

Oh, oke. Baiklah, baiklah. Selalu begitu alasannya. Dasar cuma bongsor badan. Belum sepenuhnya lepas dari jiwa anak-anak. Hihi ....

Tak Ada Rotan, Akar pun Jadi

Aku tak panik meskipun tak berkesempatan untuk mencari kado. Mengapa? Sebab seingatku, aku menyimpan beberapa barang baru. Tinggal bongkar-bongkar lemari untuk mencarinya. Alhamdulillah di lemari tersimpan 2 lembar kertas kado. Lalu kutemukan pula beberapa buku tulis baru, satu botol minum yang masih tersegel rapi, dan dua bungkus sabun padat by Oriflame.

Maka segera kupilih, yang sekiranya cocok dikadokan kepada si pengundang. Alhamdulillah. Walaupun mungkin tidak tepat-tepat amat,  yang penting Adiba bersiap datang dengan menenteng kado. Isinya pun cukup representatif.

Satu permasalahan dalam hidupku pun selesai ....

Usahakan Punya Stok Ubarampe Kado

Aku telah beberapa kali punya permasalahan serupa itu. Apa boleh buat? Adiba kerap menerima undangan mepet-mepet deadline. Kecampuran dia juga suka lupa untuk lapor kepadaku, perihal undangan ultah yang diterimanya.

Oleh sebab itu, biasanya kusimpan utuh beberapa barang dan kertas kado. Cara ini akan sangat membantu di saat-saat urgen. Tapi ingat, jangan nyetok barang yang mudah rusak.

Gantungan kunci manis seperti ini bisa dijadikan stok kado

Biasanya stok kadoku berupa ATK, terutama buku tulis dan pena. Kalau sabun padat by Oriflame sedang diskon, aku juga menjadikannya stok. Fungsinya ganda. Sebagai stok kebutuhan sendiri dan untuk jaga-jaga sebagai kado. Kadangkala sehelai kerudung segiempat juga kujadikan stok.

Buku tulis cantik pun bisa jadi kado

Buku bacaan juga bagus untuk dijadikan kado

Demikian ceritaku mengenai cara mengantisipasi undangan ultah mendadak. Bagaimana menurut Anda? Punya ide lain?

MORAL CERITA:
Bersiap diri memang selalu lebih baik daripada tidak bersiap sama sekali.


Sabtu, 03 Juni 2017

Setumpuk Buku dari Sang Guru

1 komentar
SEPULANG sekolah (tapi bukan lagi untuk belajar sebab telah usai ujian nasional), Adiba menyerahkan setumpuk buku kepadaku. Aku memandanginya dengan heran. "Buku siapa? Semalam menginap di mana? Dengan siapa?" *belum-belum sudah ngaco*

"Bunda."
"Yup!" Sahutku.
"Ini buku dari Bu May," kata Adiba. Aku pun menerima setumpuk buku yang diserahkannya. Tentu dengan benak penuh tanda tanya. *Bu May adalah wali kelasnya ketika kelas 3*

"Untuk apa?" tanyaku.
"Enggak tahu. Bu May tidak menjelaskan. Pokoknya disuruh ngasih ke Bunda"

O la la! Baiklah. Alhamdulillah adalah respons pertama yang mesti kulakukan. Iya, Alhamdulillah mendadak punya setumpuk buku baru. Bisa untuk menambah gizi rohani. *Abaikan saja semua tanda tanya di benak tadi*

Respons selanjutnya, ya menuliskannya di blog ini. Haha! Bukan sekadar untuk pamer lho, ya. Tapi siapa tahu di antara pembaca sekalian ada yang memfavoritkan salah satu dari buku-buku ini? Atau malah penulisnya?  

*Tulisan ini ringan banget. Dibuat semata-mata untuk curhat dan sebagai ungkapan terima kasih untuk Bu May*

Setumpuk buku yang dikadokan kepadaku

MORAL CERITA:
Rezeki itu datangnya memang dari arah yang tak disangka-sangka.


Kamis, 01 Juni 2017

Legitnya Madusari Dyas Snack & Catering

0 komentar
BERMULA dari Adiba, putri semata wayangku, aku mengenal kudapan ini: MADUSARI. Dari mana Adiba mendapatkannya? Ehem, ehem. Dia mendapatkannya dari Cella, seorang teman sekelasnya. Tentu secara gratis. Tidak beli.

Ceritanya, Mama Cella punya usaha bikin kue-kue dan catering. Karena Adiba doyan kue-kue tradisional, dia pun terpilih untuk kerap mencicipi para kue tersebut. Salah satunya ya si madusari. Eh? Apa iya alasannya begitu? Entahlah. Yang jelas, faktanya dia kerap dapetin kue gratis. Hihi ....

Jatuh Cinta pada Gigitan Pertama

Kadang kala Adiba sengaja menyisakan sedikit kue pemberian Cella untukku. Keren juga, ya. Pulang sekolah mampu membawakan sesuatu yang berguna. *Halah banget*

"Untuk Bunda. Ini oleh-oleh dariku. Kasihan Bunda di rumah saja. Kuper," kata Adiba. Wah. Oleh-oleh sih oleh-oleh. Tapi kenapa mesti ada embel-embelnya kuper?

Tapi Alhamdulillah. Baru sekolah SD saja sudah bisa membawakan oleh-oleh. Apalagi kalau sudah kerja nanti. Pasti oleh-olehnya bernilai miliaran. Haha! *Ini doa pengharapan yang teramat sangat*

Lalu .... Wow! Sebab si madusari memang legit menggigit, jatuh cintalah si emak kepadanya.  Tepat pada gigitan yang pertama. Anda tahu sendirilah. Jatuh cinta pada pandangan pertama itu bagaimana. Dan, ini seperti cinta pada pandangan pertama.

Alhasil di kemudian hari, si emak order dalam jumlah besar. Lebih dari 100 biji, cynn! Memang banyak 'kan? Tidak untuk dimakan sendiri, lho. Tapi untuk suguhan arisan PKK. Selanjutnya di lain hari, order lagi untuk keperluan pengajian kampung. 


Penampakan madusari Dyas Catering nan hijau-hijau segar

Ukurannya Pas, Legit Manisnya Pas

Aku berani order madusari dari Dyas Snack & Catering tentu ada alasan kuatnya. Apalagi order dalam jumlah besar. Untuk kepentingan umum pula. Lalu, apa alasan kuat yang kumaksudkan itu? 

Pertama, halal dan thayyib. Ini merupakan syarat mutlak yang tak bisa ditawar-tawar sedikit pun. Karena sangat tahu siapa pemilik Dyas Snack & Catering, aku berani merekomendasikan kehalalan dan ke-thayyib-an madusarinya.    

Kedua, citarasanya memang layak untuk dinikmati khalayak (para tamu). Cocok untuk lidah orang-orang di sekitar tempat tinggalku. Yang lidahnya sangat zadoel doyan. Sebaliknya, yang berlidah sangat kekinian pun masih doyan.

Ketiga, ukurannya sedang-sedang saja. Tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Soal ukuran ini penting banget, lho. Kalau terlalu besar berpotensi enggak dihabiskan. Apalagi kalau yang makan anak-anak balita. Mubazir dong, kalau sudah digigit tapi tidak dihabiskan.

Keempat, harganya sangat terjangkau oleh rakyat jelata. Tidak berat untuk kalangan ekonomi menengah ke bawah.  Buktinya aku mampu mengorder sejumlah ratusan purnama. Eh, ratusan biji.

Kelima, yang jualan kanca dewe, teman sendiri. Ibu dari kawan sekolah Adiba berarti kawanku juga toh? Yeah, anggap saja begitu. Memperpanjang silaturahmi dan lingkaran perkawanan tiada salahnya 'kan?

Komposisi Madusari

Mungkin di antara Anda sekalian ada yang belum ngeh dengan madusari. Madusari itu apa, sih? Kudapan yang bagaimana?  Kok bisa tidak mahal dan cocok untuk lidah semua kalangan?

Begini. Madusari itu semacam kek, cake. Dibuat dari singkong parut yang dicampur dengan telur, margarin, garam, vanili, dan (mungkin) beberapa ubarampe penyedap lainnya. Entahlah. Kalau ingin tahu resep detilnya silakan langsung googling saja, ya.

O, ya. Madusari dimasak dengan cara dikukus. Jadi, jauh lebih sehat daripada kudapan gorengan. Maka aman untuk kaum balita dan jelita. *BAwah LIma TAhun* JElang LIma puluh TAhun*

Nah, nah. Kalau memang ingin mencicipi madusari ini, bisa banget lho minta traktir aku. Syaratnya, maksimal 5 biji. Kalau mau order ratusan biji, silakan langsung cap cus ke Dyas Snack & Catering saja. Bisa via telepon/SMS/WA di 0823-2586-7289.

 

Rabu, 29 Maret 2017

Kamu Hari Ini Jajan Apa, Nak?

4 komentar
"JAJAN apa tadi di sekolah?" Begitu selalu tanyaku pada Adiba tiap kali ia pulang sekolah. Lalu, bidadari kecilku itu pun menyebutkan satu per satu makanan dan minuman yang tadi dibelinya.

Jika yang dibelinya makanan dan minuman yang relatif sehat (misalnya telur puyuh dadar, buah, pisang goreng, susu kedelai, atau es jeruk), perasaanku lega. Aku pun memberinya pujian sebagai anak hebat. Kukatakan kepadanya, "Pinter, deh. Jajanannya tidak berpengawet."

Sebaliknya, jika yang dibelinya jajanan kemasan murahan, aku beranjak galau. O, ya. Yang kumaksud itu jajanan kemasan harga lima ratus atau seribu rupiah. Yang kandungan MSG, zat pewarna, dan zat pengawetmya sangat tinggi. Anda tentu sudah mafhum kalau jajanan sejenis itu kosong gizi.

Demi melihat wajah galauku, biasanya Adiba langsung paham. Dia kemudian buru-buru minta maaf karena telah melanggar kesepakatan kami. Katanya, "Maaf ya, Bunda. Tadi Diba pingiiin banget. Soalnya teman-temanku beli semua."

Apa boleh buat? Namanya juga anak-anak. Masih belum mampu bersikap. Masih kerap kali terpengaruh oleh teman. Kalau sudah begitu, sekali lagi aku hanya bisa mengingatkannya. Yakni mengingatkan tentang bahaya memakan jajanan tak sehat.

Kuakui, kadang-kadang diri ini merasa bosan dan kesal juga. Sudah ratusan kali diulang-ulang, eh, masih saja saja si Adiba melupakannya. Tapi demi kebaikan, kutikam saja rasa bosan dan kesal tersebut. Inilah kiranya salah satu perjuanganku untuk meraih masa depan yang lebih baik. Hehe ....

Begitulah pengalamanku terkait jajanan sekolah untuk anak. Yup! Sejak Adiba masuk SD hingga kelas VI sekarang, aku tetap merasa perlu untuk menanyainya. Dengan pertanyaan yang sama, "Di sekolah tadi jajan apa?"

MORAL CERITA:
Menanamkan kebiasaan sehat pada anak-anak memang tak mudah. Perlu proses dan waktu.




Kamis, 09 Maret 2017

Malioboro dan Adiba

0 komentar
SEJAK pertama kali mengunjungi New Malioboro, rupanya Adiba langsung jatuh hati. "Sekarang makin bagus, ya. 'Ntar ke sini lagi ya, Bund. Kapan-kapan," katanya waktu itu. Tatkala kunjungan kami yang pertama. Wajahnya terlihat antusias.

Bocah yang jatuh hati pada New Malioboro

Sebagai emak, aku sih mengiyakan saja. Entah kalau Mas Anang. Lagi pula, mengantarkan Adiba ke Malioboro tidak butuh ongkos besar, kok. Pulang dan pergi dengan taksi hanya sekitar Rp50.000,00. Tidak belanja? Kalau sedang tidak butuh apa-apa, tentunya tidak. Boros amat kalau belanja tidak berdasarkan kebutuhan. Iya 'kan?

Bagaimana kalau haus? Ah, itu perkara gampang. Bawa saja air (matang) segar dari rumah. Atau, beli air mineral. Bisa pula beli es dawet di kaki lima. Es dawet Malioboro itu 'kan multifungsi. Segarnya menghapus haus, manisnya menggusur rindu, eh, lapar ....
 
Jeprat-jepret sepuas hati, dong!

Usaha terus demi memperoleh gambar sempurna. Hihi ....

Sebab domisili kami sepelemparan batu dari Malioboro, piknik ke situ sungguh-sungguh bukan momok. Pokoknya piknik murah meriah hip hip hura ceria. Haha! Sekadar menapaki trotoarnya di kala pagi atau senja, cukuplah bikin bahagia. Kalau lelah, stop berjalan. Cari tempat duduk cantik buat rehat plus. Yakni plus selfie-selfie sepuas hati. 

Nah, nah. Selfie-selfie sepuas hati itulah alasan utama kejatuhhatian Adiba kepada New Malioboro. Dahulunya dia tidak terlalu suka berlama-lama di situ. Kupikir Anda sekalian pasti juga begitu. Sekarang pasti kian betah kalau singgah di Malioboro. Jadi, kapan Anda berkunjung ke Malioboro?

Adiba (baju kotak-kotak merah) saat pertama kali menikmati New Malioboro.

MORAL CERITA:
Malioboro memang selalu bikin kangen.



Kamis, 22 Desember 2016

Antologi Bangga Menjadi Ibu

0 komentar
RENCANA di awal tahun, aku akan berpartisipasi dalam sebuah antologi puisi. Namun, siapa sangka? Justru di akhir tahun, yang rilis malah yang ini.

Ada 99 tulisan inspiratif di dalamnya. Salah satunya tulisanku.


Iya. Meskipun diri ini belumlah layak disebut sebagai ibu yang baik dan benar, masih sangat banyak "typo"-nya, sebuah pengalaman pribadi yang kutuliskan rupanya dianggap layak masuk antologi ini. Duh, duh. Daku kok menjadi terharu pada diriku sendiri. Ah! #kebiasaan-narsis 

Jadi kalau Anda ingin tahu isi dari tulisanku yang dimuat di situ, maka Anda mesti membeli buku ini. Ish, ish! Vulgar banget cara menjualnya. Sama sekali tak memakai cara HS, Heart Selling. Haha! 

Singkat cerita, aku hari ini pun merasa bersukacita. Tapi tidak bersama dengan Cita Citata, lho. Yup! Alhamdulillah. Pas Hari Ibu, pas diriku punya sesuatu untuk di-launching. Ini sungguh sebuah nikmat yang tak layak didustakan sedikit pun. Iya 'kan?

Baiklaaah. Selamat Hari Ibu, ya? Duhai para ibu, jadilah ibu yang asyik dan seru, tapi tetap dalam koridor-Nya. Dan, jangan lupa. Apa pun profesi kalian, rasa syukur atasnya akan jadi penentu kebahagiaan kalian. Serius.

MORAL CERITA:
Keberhasilan sebuah rencana wujudnya tidaklah selalu sesuai dengan yang kita bayangkan/harapkan. Yang penting, bergerak saja terus. Berusaha saja terus. Sebab tanpa gerak dan usaha, tak akan pernah ada hasil.
 

Rabu, 30 November 2016

Aku (Mesti) Bangga Jadi Ibunya

2 komentar
ALHAMDULILLAH. Terima kasih tak terhingga kepada Allah Yang Maha Menyadarkan. Yang kali ini telah berkenan menyadarkanku untuk lebih detil dan adil dalam menilai Adiba. Aih! Tentu saja bukan menilai untuk pengisian rapor, ya. Aku 'kan ibunya. Bukan ibu gurunya.

Lalu menilai dalam hal apa, dong? Biasalah. Menilai perilakunya sebagai seorang anak. Hehehe.... Selama ini terusterang saja aku sering negative thinking kepadanya. Aku pun sering merasa tak percaya diri di hadapan para orang tua lain. Mengapa? Sebab --menurutku-- Adiba sangat tak sehebat anak mereka. Dengan kata lain, aku nyaris tak melihat kelebihannya jika dibandingkan dengan anak-anak lain. Ih! Perasaan yang sedikit jahat memang.

Hingga akhirnya, ada sebuah lomba menulis dengan tema "Bangga Jadi Ibu". Penyelenggaranya EmakPintarAsia dan Bitread. Tatkala tahu hadiahnya berupa uang, aku sangat berminat ikut. Meskipun bagi orang yang berduit jumlah rupiah hadiahnya tak seberapa, bagiku tetap amat bermakna. Terlebih aku sedang kosong projek alias nol pendapatan. Haha!

Namun, apa daya? Saat kubaca temanya, semangatku menjadi turun. Duh! Kok "Bangga Jadi Ibu", sih? Demikian keluhku dalam hati. Akan tetapi, semesta raya pun bekerja atas perintah-Nya. Pada satu titik kutergerak untuk IKUT. Yup! Walaupun merasa tak punya kebanggaan terhadap Adiba, kuputuskan untuk tetap ikut kompetisi.

Pada waktu itu aku bertekad, aku akan jujur saja untuk mengungkapkan secara blak-blakan tentang ketidakbanggaanku pada Adiba. Tapi rupanya, justru pada saat mulai menulis aku tersadarkan oleh sesuatu. Yakni sesuatu yang kemudian membuatku menilai Adiba dari sisi lain. Tepatnya dari sisi yang lebih positif.

Alhasil usai menulis artikel untuk lomba tersebut, Alhamdulillah perasaanku sebagai ibu jadi lebih lega. Aku merasa lebih mampu menerima Adiba apa adanya. Alhamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillah. Tak kuduga tak kusangka, bahkan sebelum pengumuman pemenang pun aku telah memenangkan pikiran baikku atas pikiran burukku. Jelas aku sangat bahagia dengan kenyataan ini.

Dan, kebahagiaanku bertambah manakala di ujung November 2016 hasil lomba diumumkan. Yoi. Aku memang tidak berhasil menjadi juara 1-2-3. Yang berarti gagal mendapatkan uang. Tapi Alhamdulillah, tulisanku terpilih sebagai 99 finalis. Adapun tulisan yang berhasil menjadi  finalis tersebut akan dijadikan antologi, tepat pada 22 Desember 2016 nanti. Ya, insya Allah rencananya begitu.

Terima kasih, Tuhan. Telah Kauizinkan aku untuk menutup November ini dengan manis. O, ya. Jika ingin tahu tulisanku yang kuikutkan lomba tersebut, silakan baca Bidadari Jail Kebanggaanku. Oke?

MORAL CERITA:
Allah SWT sesungguhnya selalu menggedor kesadaran kita dari mana saja. Hanya saja, kita kerap kali abai terhadap gedoran itu. Iya 'kan?


Mama Indah, Nina, aku, Adiba. Sejujurnya ingin kupasang fotoku bersama Adiba saja. Tapi kami tak pernah pose berdua. Huft!

Jumat, 28 Oktober 2016

Tak Ada Upacara Hari Ini

0 komentar
PADA tanggal 27 Oktober malam aku bertanya kepada Adiba, "Besok pakai seragam apa? Putih merah atau seragam hari Jumat?" Yang kutanya malah heran. Ia merasa heran sebab tetiba kutanya soal seragam.

"Memangnya ada apa, Bunda? 'Kan pakai batik kalau Jumat?"
"Lho? Besok tidak upacara?" Tanyaku gantian heran.
"Enggak. Lha ada apa kok upacara?" Adiba menatapku dengan sorot mata penuh tanya.
"Oalaaah, Nak. Besok 'kan Hari Sumpah Pemuda."
"Oiya, ya? Besok itu tanggal 28 Oktober. Hari Sumpah Pemuda yang keberapa?"
"Yang ke-88," jawabku singkat.

Sejurus kemudian aku hanya terdiam. Aku tak habis pikir. Mengapa tak ada upacara di sekolah Adiba? Jangan-jangan banyak sekolah yang seperti itu? Tidak memeringati Hari Sumpah Pemuda dengan upacara? Entah sebab kelupaan, entah karena memang sengaja?

Duh, duh, duh. Pantas saja kalau anak-anak zaman sekarang kurang tahu sejarah. Kurang paham dengan para pahlawan bangsa mereka sendiri. Lha wong kayak gitu eee....

"Eh, Bunda. Aku ingat sesuatu. Pantesan Mas Ilham tadi status BBM-nya begini: Semoga besok hujan deras dari pagi, supaya tidak jadi bertugas dalam upacara. Kupikir, Jumat kok ada upacara?"

Aku terhenyak. Astaganaga! Parah banget. Yang sekolahnya mengadakan upacara peringatan Hari Sumpah Pemuda malah tidak bersemangat untuk ikut upacara. Padahal, ia malah bertugas dalam upacara tersebut. Padahal lagi, ia sudah duduk di bangku SMK. Mengapa kurang paham juga terhadap Hari Sumpah Pemuda?

Sudahlah. Mengapa aku cerewet soal upacara seperti ini? Yeah, mungkin gegara aku rindu upacara. Rindu masa-masa dulu tatkala berbaris rapi di bawah sinar matahari. Bersama-sama menyanyikan Indonesia Raya dan lagu-lagu nasional lainnya. Yang ternyata di bawah sadarku, semua itu telah meneteskan rasa cintaku yang abadi pada republik tercinta ini.

Maka aku amat menyayangkan, mengapa di sekolah Adiba tak ada upacara hari ini. Ah! Ternyata yang tak ada hari ini tak hanya New York, melainkan upacara Hari Sumpah Pemuda juga.... #kutulis dengan ingatan pada puisi yang berjudul Tak Ada New York Hari Ini

MORAL CERITA:
Meskipun secara nasional telah ditetapkan bahwa tema peringatan HSP 2016 adalah "Pemuda Indonesia menatap dunia", faktanya gaungnya kurang menggema. Sebagian anak sekolah bahkan tak tersentuh sedikit pun. Menyedihkan!

Para pemuda (zadoel) Indonesia menatap dunia

Para pemuda (lebih zadoel) Indonesia menatap dunia



Senin, 17 Oktober 2016

Hari-Hari Awal yang Penting

2 komentar
Hari-hari yang telah berlalu mungkin saja menyisakan reruntuhan....   



SUBHANALLAH. Hingga di sini, pada hari ini, aku baru menyadari sesuatu. Ternyata, oh, rupanya. Bulan Oktober dipenuhi dengan hari-hari penting. Baik penting bagiku pribadi maupun penting bagi seluruh bangsaku, bangsa Indonesia tercinta. 

Iya, sih. Semua hari pada hakikatnya penting. Tak ada hari yang tak penting sebab masing-masing hari mestinya bernilai perjuangan. Yakni perjuangan kita dalam rangka meraih tiket ke surga-Nya. Tapi maksudku begini. Selama bulan Oktober, ternyata ada tanggal-tanggal yang patut kutandai khusus. 

Mengapa patut ditandai secara khusus? Sebab tanggal-tanggal tersebut memang mengandung momentum kekhususan tertentu. Halah. Apaan sih ini? Kok malah berputar-putar uraiannya? Hehe.... Agar langsung paham, mari kita simak detilnya berikut ini. 

1 Oktober (Hari Kesaktian Pancasila)
Ini merupakan hari yang penting bagi seluruh bangsa Indonesia. Aku tak terlibat langsung dalam peringatannya, yang biasanya dilakukan dengan upacara bendera. Aku 'kan seorang partikelir sejati? Ibu rumah tangga gitu, lho. Mau upacara di mana dan bersama siapa? Haha! Tapiii... aku berada di belakang layar upacara. Menyiapkan seragam Adiba. Pada tahun ini ia menjadi petugas upacara, dalam rangka Hari Kesaktian Pancasila.       

2 Oktober (Hari Batik Nasional)
Ini juga merupakan hari yang penting bagi bangsa Indonesia. Sejak tahun 2009, UNESCO resmi mengakui batik Indonesia sebagai world heritage. Tapiii... 2 Oktober juga merupakan hari yang sibuk bagiku. Yakni sibuk menyiapkan kado untuk Adiba. 

3 Oktober (Hari Ulang Tahun Adiba)
Nah, inilah jawaban mengapa pada saat Hari Batik Nasional aku malah sibuk memikirkan kado untuk Adiba. Adiba ulang tahun pada tanggal 3! 

4 Oktober (Hari Binatang)
Sejujurnya aku baru tahu pada tahun ini kalau ternyata tanggal 4 Oktober merupakan Hari Binatang. Yang mana itu berarti bahwa kita --sebagai manusia-- tidak boleh bersikap bengis terhadap binatang apa pun. Hadeuh. Padahal pada tanggal 4 Oktober lalu, aku rugi bandar gegara Nino. Siapa Nino? Nino adalah seekor kucing garong milik tetangga.

Tepat pada Hari Binatang, Nino menggondol lele gorengku. Apa boleh buat? Berhubung aku ingin menghayati Hari Binatang dengan baik, Nino pun tidak kulempar dengan bakiak. Namun akibatnya, Adiba batal makan siang dengan lauk kesukaannya.

Aku jadi bertanya-tanya. Apakah pada Hari Binatang, para binatang yang nakal tidak boleh dihukum? Wah. Jika itu peraturannya, enggak adil bagi manusia dooong.... :( 

5 Oktober (Hari TNI)
Dahulunya sih bernama Hari ABRI. Tapi sudah beberapa tahun belakangan berubah nama menjadi Hari TNI. Yakni sejak Kepolisian RI memiliki atap sendiri. Dahulunya 'kan TNI AD, TNI AL, TNI AU, dan Kepolisian RI menyatu dalam ABRI (= Angkatan Bersenjata Republik Indonesia).

7 Oktober (Hari Ulang Tahun Jogja)
Ya, pada tanggal 7 Oktober Jogja tercinta merayakan HUT-nya. Hmm. Masih saja kusebut Jogja tercinta. Padahal ampun, deh. Jogja sesungguhnya telah sering melukai perasaanku. Huft.

10 Oktober (Hari Kesehatan Jiwa)
Meskipun secara umum aku relatif tak bermasalah dengan kesehatan jiwa, tiap tanggal 10 Oktober tiba aku tetap takzim memeringatinya. Apa penyebabnya? Tak lain dan tak bukan, hadirnya banyak orang gila di sekitarku. Baik gila medis maupun gila nonmedia. Hih! Agak mencekam, bukan? Tapi sekaligus bikin aku makin mensyukuri kewarasanku.

15 Oktober (Hari Mencuci Tangan Pakai Sabun)
Ini nih hari penting yang bikin aku sepanjang tahun giat merapalkan mantra cuci tangan . Haha! Maksudnya, aku jadi cerewet. Tepatnya mencereweti Adiba untuk tidak malas mencuci tangannya pakai sabun.

16 Oktober (Hari Pangan Sedunia & Hari Parlemen Nasional)
Baru tahun ini pula aku menyadari adanya dua hal penting pada tanggal 16 Oktober ini. Alhamdulillah. Walaupun mungkin kesadaran yang terlambat, toh lebih baik daripada tak pernah sadar sama sekali.

Subhanallah. Ternyata setengah bulan awal pada Oktober memang menjadi hari-hari penting bagiku. Sekaligus juga bagi bangsa Indonesia. Karena penting, tentunya ada catatan-catatan tersendiri di hatiku terhadap hari-hari itu. Tapi jangan lupa. Itu baru dua minggu di awal, ya. Pada paro akhir Oktober juga penuh dengan hari penting, lho. Masih ada Hari Santri, Hari Blogger, Hari Sumpah Pemuda....

Baiklah, baiklah. Inilah sekadar catatan penting enggak pentingku pada hari ini. Selain memberikan manfaat menghibur, semoga tulisan ini mampu menepuk bahu Anda sekalian. Menepuk bahu, mengingatkan bahwa mungkin Anda juga punya hari-hari penting untuk dikenang. Tentunya bukan dikenang yang sekadar dikenang sebagai memori, melainkan dikenang untuk dijadikan momentum perbaikan diri.

Yup! Hari-hari  yang telah berlalu mungkin saja telah menyisakan reruntuhan. Tapi optimisme perlu dijaga supaya hari-hari yang tersisa menjadi lebih bermakna. Tidak malah menciptakan reruntuhan baru.

MORAL CERITA:
Waktu berjalan dengan cepat. Semembahagiakan apa pun hari-hari penting yang kita punya, toh segera berlalu juga. Maka kesigapan kita untuk move on dari hari-hari kemarin sungguh diperlukan. Ingat, kita tak boleh terpasung oleh masa lalu. Setuju?



Sabtu, 15 Oktober 2016

Mantra Cuci Tangan

3 komentar
SAMPAI sekarang aku masih kerap merapalkan mantra berikut ini.
"Ayo, cuci tangan dulu. Jangan asal comot-comot makanan."

Lalu, Adiba akan gantian melontarkan mantranya juga.
"Ah, kelamaan Bundaaa. Sudah lapeeerr."

Maka mantraku aku lanjutkan.
"Hmm. Sudah berkali-kali diberitahu, lho. Di tanganmu itu penuh kuman. Padahal, kamu mau makan. Tanganmu masuk ke mulut. Si kuman ikutan masuk mulut, dong. Perutmu 'ntar sakit."

Tak mau kalah, mantra lanjutan pun dilontarkan oleh Adiba.   
"Aduh, Bundaaa. Selaluuu bikin aturan-aturan. Bikin lama nih. Aku jadi telat nyicip makanannya."

Aku sigap merapalkan mantra yang lainnya.
"Kalau kamu tak banyak membantah, langsung cuci tangan dari awal, pasti sekarang sudah makan."

Pada akhirnya....
"Iya, Bunda. Iya. Aku cuci tangan dulu." Adiba dengan bersungut-sungut menuju kran. Lalu katanya dengan nada sumbang-sumbang masam, "Pakai sabun 'kan? Pakai air mengalir dari kran toh?"

Aku pun berkata sembari tersenyum, "Tentu sajaaaa."

=================   
 Nah, ini ceritaku pada Hari Cuci Tangan tahun ini. Enggak lupa toh kalau hari ini, 15 Oktober, merupakan Hari Cuci Tangan? 

MORAL CERITA:
Mata pelajaran Cuci Tangan pun butuh diulang-ulang penjelasannya supaya anak-anak mau mempraktikkannya. Yeah!


Sampai kini, kami masih setia mempergunakan sabun dari Oriflame. Enggak selalu yang padat. Kerap pula kami mempergunakan seri sabun cairnya. Kalau Anda pakai sabun apa?

Rabu, 12 Oktober 2016

Senja, Hujan, dan Adik Monyet

2 komentar
BELUM ada seminggu yang lalu, aku menulis tentang topeng monyet. Di blog ini juga. Judulnya "Adik Monyet" (silakan klik di sini untuk membacanya lebih lanjut). Eh, tak dinyana tak kusangka.... kemarin senja kok si adik monyet lewat lagi. 

Iya. Kemarin senja tatkala semua orang memilih berdiam di rumah (sebab hujan), tetiba terdengar tabuhan gendang khas topeng monyet. Aku yang sedang berbaringan sembari membaca langsung kepo. Itu rombongan topeng monyet beneran atau tidak? Atau jangan-jangan, aku hanya berhalusinasi.

Eh, ternyata benar. Dari balik jendela kamar kulihat rombongan topeng monyet yang minimalis. Pesertanya hanya seorang manusia dan seekor monyet. Si monyet kecil tampak nelangsa di boncengan sepeda si tukang topeng monyet. Tubuhnya yang mungil terlihat mengkeret di dalam kotak peralatan. Susah payah berusaha berlindung dari tempias air hujan.

"Duh, kasihan adik monyetnya," gumamku. Ya. Sejujurnya, ada rasa perih di hatiku menyaksikan pemandangan itu. 

Adiba yang rupanya ikut berdiri di sampingku, menyeletuk, "Lho? Bunda kok tidak kasihan pada orangnya? Malah kasihan pada monyetnya? Yang bener gimana, sih? Kasihan pada manusia atau kasihan pada monyet?"

Halah. Pertanyaan Adiba malah tambah menggalaukanku. Iya, ya? Mestinya aku lebih merasa kasihan kepada pihak yang mana? Kepada si monyet atau kepada si tukang topeng monyet? Wah, runyam! Pertanyaan yang terdengar sederhana, tapi kenyataannya butuh pemikiran serius untuk menjawabnya.

Melihat si tukang topeng monyet setengah baya itu, aku juga iba.Dengan pelan ia mengayuh sepedanya di jalanan basah. Hujan tipis pun mendera tubuhnya dan tubuh si monyet kecil. Aku belum mampu menjawab pertanyaan Adiba sampai keduanya berlalu dari hadapan kami.

Tiba-tiba hujan kembali menderas. OMG! Hujan lebat lagi! Gumamku dalam hati. Segera aku berlalu menuju pintu dapur. Kubuka pintu tersebut dan... benar saja! Rombongan topeng monyet minimalis tadi berteduh di pos ronda. Dengan sedih kuamati mereka dari kejauhan. 

Si tukang monyet kulihat duduk di tangga pos ronda. Adapun si monyet kecil terlihat bermain-main di belakangnya. Ketika hujan makin lebat, sepeda yang dilengkapi kotak pertunjukan segera dinaikkan ke bagian dalam pos ronda. Si bapak ikut ke bagian dalam juga.

Karena hujan lebat juga menyebabkan air tempias ke dapurku, kuputuskan untuk menutup pintu. Usai sudah kusaksikan pemandangan mengharukan itu. Tapi rasa ibaku tak begitu saja lenyap. Apa boleh buat? Ternyata sampai detik itu pun, aku belum mampu menempatkan rasa yang tepat terhadap topeng monyet. Tegas menolaknya atau tegas mendukung keberadaannya?

Mungkin bagi Anda sikapku terasa konyol. Atau, aku terlampau lebay. Hanya monyet doang. Kenapa dipikirkan secara mendalam? Begitu mungkin pikir Anda. Oke, oke. Memang hanya monyet. Tapi masalahnya, dalam rombongan topeng monyet selalu ada manusia. Sesamaku. Sesama Anda juga. 

Sungguh, hatiku perih. Si tukang topeng monyet kemungkinan besar adalah seorang kepala keluarga. Ada anak dan istri yang menunggunya bawa uang di rumah. Kalau sampai tak sepeser pun uang yang dibawanya, lalu bagaimana? Duh, duh, entahlah.

Senja itu adalah senja yang pilu bagiku. Aku pun merutuki diriku sendiri. Mengapa aku hanya mampu ikut bersedih? Mengapa aku batal untuk memberikan sejumlah uang kepada si tukang monyet, tanpa meminta monyetnya untuk beratraksi? Mengapa aku takut si tukang topeng monyet akan menolaknya sebab merasa terhina? 

Ah! Aku toh belum mencobanya. Jadi, enggak tahu pasti dia akan menolak atau menerimanya. Dan, aku menyesal sebab tidak nekad mencobanya dulu. Apa boleh buat? Sudah telanjur. Ah! Aku memang acap kali lemot dalam mengambil keputusan. Kalau Anda, bagaimana?

MORAL CERITA:
Dalam hidup ini adakalanya kita mesti berpikir dan bersikap cepat supaya tak menyesal di kemudian waktu.

#Tanpa foto sebab aku merasa tidak enak kalau ketahuan memotret oleh tukang topeng monyetnya

 

Selasa, 11 Oktober 2016

Belajar Mencari Uang

2 komentar
Si pelamar kerja unyu-unyu.... :p



ADEGAN SATU

Ia menatapku lekat-lekat. Matanya yang lebar jernih serasa mencubit hatiku. Ah! Andaikata yang sedang menatapku lekat-lekat Armand Maulana, bukan Adiba, pastilah aku sudah salting dan melting.... #Gubraks!

"Boleh ya, Bund? Ya? Boleh, ya?" Rayu Adiba sekali lagi. Aku tak kunjung menjawab. Masih mempertimbangkannya. Pena kupegang erat-erat. Hatiku lumayan kacau. Padahal aku tahu, pena itu tak bakalan meletus. 

"Sini penanya, Bund. Sudah toh, aku saja yang menulis undangan." 
"Bunda suka sih kalau kamu mau membantu. Tapi kenapa minta upah? Padahal kamu sendiri yang menawarkan bantuan."

"Uh, Bunda. Tidak paham maksudku, deh. Aku 'kan niatnya cari duit. Tidak niat membantu. Ceritanya, aku sedang melamar kerja ke Bunda." 

Aku tercengang mendengar jawaban panjang Adiba. Baru ngeh dengan maksudnya. O la la. Kukira si yunior telah berubah jadi baik hati dan suka menolong. Tahunya.....    
 
"Baiklah," kataku akhirnya. "Tapi...."
"Tapi apa, Bund?" Sambar Adiba.
"Tapi upahnya selembar 500 rupiah. Bukan 1.000 rupiah. Ini 'kan pekerjaan ringan. Undangannya instan. Tinggal mengisi kolom-kolom. Kepada ibu..., hari..., tanggal..., jam...." 

Meskipun terlihat agak keberatan, Adiba setuju. Oke. Deal.

ADEGAN DUA     

"Kok berbaring. Ngantuk, ya? Nanti tertidur, lho. Padahal komputernya belum dimatikan."

"Sebentaaar. Bunda capek. Mau meluruskan punggung dulu," jawabku dengan mata tetap terpejam. 

"Tuh 'kan. Mata Bunda terpejam. Pasti nanti tertidur. Kayak biasanya." 

Seketika aku membuka mata. Kataku kemudian, "Enggak, ah. Bunda enggak mau tidur sekarang. Harus segera menyelesaikan pekerjaan. Nanggung mau berhenti. Tinggal sedikit saja, kok."

"Tapi Bunda capek?" Tanya Adiba seraya mendekatiku.
"Iya. Makanya berbaring dulu."
"Sedang mengedit atau menulis?" Ia bertanya lagi.
"Mengedit," jawabku singkat. 
"Mengedit yang sulit atau yang mudah?" Adiba masih mengejar dengan pertanyaannya.
"Yang mudah,"  jawabku.

O, ya. Kami berdua memang punya istilah mengedit sulit dan mengedit mudah. Mengedit mudah itu meneliti ejaan saja. Ada yang salah ketik atau tidak? Ada yang kekurangan/kelebihan huruf atau tidak? Dan untuk mengedit mudah, Adiba sudah terbukti mampu melakukannya. Mata lebarnya amat jeli. Untuk anak seusianya, tingkat ketekunannya menghadapi naskah pun lumayan dapat diandalkan.

"Kalau begitu, aku melamar kerja ya. Bunda istirahat dulu sampai capeknya hilang." 

O la la! ia sungguh cerdas memanfaatkan momentum. Pas emaknya lelah, pas sedang mengerjakan editan mudah.

Akhirnya, lamaran kerjanya kuterima. Tapi sebelum mulai mengedit, Adiba memastikan. "Bunda. Ini nanti selembarnya seribu, lho. Enggak 500 rupiah kayak kemarin. Pas nulis undangan itu."

Haha! Aku tertawa sebelum menjawabnya. "Oke, oke. Bunda tahu pekerjaan yang ini lebih sulit. Tapi kamu harus betul-betul teliti. Kalau dalam satu halaman masih banyak salah ketiknya, tidak jadi seribu."

"Iyaaa. Aku berjanji akan teliti," kata Adiba mantap.

EPILOG

Dari kacamata negatif, sikapku membolehkan Adiba "melamar kerja" bisa jadi memang salah. Anak mau membantu, tapi minta sejumlah upah, kok dibiarkan? Malah didukung dengan memberikan upah yang telah disepakati? Mestinya membantu itu tanpa pamrih. 

Baiklah. Mestinya membantu memang tanpa pamrih. Daku setuju akan hal itu. Tapi jangan lupa, sejak awal Adiba sudah bilang untuk melamar kerja. Untuk mencari uang.

Singkat cerita, Adiba tuh sebenarnya sedang berusaha menjadi kaya. Ia ingin mengumpulkan uang banyak. Maka dari itu, ia selalu jeli melihat peluang-peluang yang sekiranya dapat mendatangkan uang. Haha! 

MORAL CERITA:
Biarkan anak belajar mencari uang. Ia toh ingin kaya (ingin cari duit) dengan usahanya sendiri. Yang salah itu jika anak ingin kaya tanpa usaha. Wah, wah, wah. Anak model begini inilah yang di masa dewasanya mudah takluk pada orang-orang seperti Dimas Kanjeng Taat Pribadi. Iya toh?      




Sabtu, 08 Oktober 2016

Oh, Adik Monyet

2 komentar

APA yang tebersit di benak Anda demi membaca judul di atas? Mendadak teringat monyet di bonbin? Mendadak baper sebab monyet peliharaan tetangga pernah merampas pisang yang Anda makan? Jadi ingat bahwa monyet pun memiliki keluarga; punya kakak dan adik? Jadi geli sebab membayangkan adik Anda menjadi monyet? Wuahduh! 

Begini saja, deh. Sebaiknya segera singkirkan segala macam bersitan pikiran Anda itu. Sebab adik monyet yang kumaksud adalah… monyet imut dalam topeng monyet. Alias si pemeran utama dalam ledhek munyuk (istilah dalam bahasa Jawa). Alias si bintang pementasan dalam kethek ogleng (istilah lain dalam bahasa Jawa).

Eit, hati-hati. Sebutan “imut” itu bukan berarti cakep dan kiyut, ya. Bukan berarti secakep dan sekiyut Nicholas Saputra. Tapi lebih cenderung bermakna “kecil dan bertingkah kocak”. Hehehe…. #Maaf ya Om NichSap, kubawa-bawa namamu dalam urusan monyet ini

Lalu, mengapa kupanggil si dia dengan sebutan adik? Adik monyet? Aih. Aku ‘kan cuma menirukan Adiba, putri semata wayangku. Dahulu tatkala masih berusia batita, Adiba selalu memanggil si dia dengan panggilan sayang begitu. Cateeet. Panggilan sayang, lho!

Mengapa Adiba menyebut si dia adik monyet? Tidak monyet begitu saja? Penyebabnya, si monyet imut itu berpakaian. Tidak telanjang seperti monyet di bonbin. Nah, nah. Di mata Adiba batita, monyet imut yang bercelana monyet itu mirip adik-adik.

Namun syukurlah makin bertambah usia, Adiba jadi ogah memanggilnya adik. Sekarang kalau menyebut monyet dalam topeng monyet ya “monyet” begitu saja. Tanpa embel-embel “adik”. Alhamdulillah. 

Tapi sayang sekali, aku justru yang susah move on. Begitu melihat rombongan topeng monyet di mana pun dan kapan pun, seketika aku berdesis, “Ada adik monyet!” Parah.

Yoi! Kukira siapa pun akan tersenyum bilamana menonton pementasan topeng monyet. Si (adik) monyet memang lucu, sih. Monyet kok berpakaian. Mana aksinya bermacam-macam pula. Sok-sokan bergaya menirukan gaya manusia. 

Tak sekadar gaya mau ke pasar, komplet dengan payung dan tas belanjanya. Tapi kadang kala juga bergaya kebut-kebutan pakai sepeda motor supermini. Atau bergaya bak fotomodel, lengkap dengan jaket dan kacamata ribennya. Wow! Dan… senyum mrengesnya itu, lho. Selalu bikin keki.

Mengingat kekocakan dan kekonyolan si (adik) monyet, maka wajar kalau banyak orang suka menonton topeng monyet. Tapi mayoritas suka menonton saja, sih. Tidak suka menanggapnya. 

Kalau menanggap, berarti mengundangnya untuk pentas. Setelah pentas/pertunjukan selesai,lalu membayarnya. Di sini ini yang rerata orang tidak mau. Maunya 'kan menonton saja. Ckckck. Termasuk aku juga, sih.

Maka ketika serombongan topeng monyet lewat dan seseorang menghentikannya, bersukarialah orang sekampung. Maksudnya menghentikan dan menanggapnya lho, ya. Bukan sekadar menghentikan lalu kabur. Itu sih namanya hit and run

Hmmm. Begitulah fakta kehidupan. Ternyata banyak orang suka hal/barang gretongan alias G-R-A-T-I-S-A-N. Lagi-lagi, termasuk saya juga.

Oke. Mari balik ke soal (adik) monyet. Sebetulnya tiap kali menonton pertunjukan topeng monyet, aku disergap kegalauan. Aku terjebak di antara rasa pilu dan perasaan terhibur. 

Memang sih, aku banyak tersenyum ketika menonton ulah kocak si (adik) monyet. Bahkan sesekali ikut tergelak-gelak, bila tingkahnya cenderung gila-gilaan. Akan tetapi, senyum dan gelak tawaku itu beraroma getir.

Bagiku, ada banyak hal kontradiktif di balik sebuah pertunjukan topeng monyet. Yeah, bagaimana ya? Hatiku bimbang untuk menentukan. Apakah harus tegas berpihak pada aturan yang melarang topeng monyet, ataukah mesti kekeuh berdiri di pihak yang tidak melarangnya? Sungguh, aku betul-betul disergap kebimbangan akut saat berada di titik ini.

Bila tak ada lagi orang yang menanggap topeng monyet, berarti tukang topeng monyetnya tak bakalan berpenghasilan. Padahal, ia butuh uang untuk menafkahi keluarganya. Ia juga mesti membiayai hidup si (adik) monyet. 

Bisa saja kita bilang, solusinya ‘kan mudah. Tinggalkan profesi sebagai tukang topeng monyet. Cari pekerjaan lain. Iya, sih. Tapi masalahnya, tidak semua tukang topeng monyet mampu langsung move on.

Sementara di sisi lain, jika rombongan topeng monyet ditanggap,berarti si (adik) monyet dieksploitasi. Duh! Kasihan, bukan? Walaupun sebagai kompensasinya, ada sejumlah duit buat rombongan topeng mnonyet tersebut.

Maka aku sepakat dengan Pak Jokowi, yang dulu sempat meminta para (adik) monyet dibebaskan dari ikatan profesi mereka. Tidak lagi disuruh mengamen. Dipensiunkan dari rombongan topeng monyet. 

Ngomong-ngomong, Anda masih ingat kebijakan Pak Jokowi yang itu ‘kan? Itu, lho. Sebelum beliau menjadi RI-1.

Sejujurnya aku susah menempatkan rasa dalam persoalan ini. Mengeksploitasi monyet berarti tidak sesuai dengan perikebinatangan. Akan tetapi, serta-merta menghentikan pekerjaan tukang topeng monyet pun kurasa lumayan kejam. 

Terlebih bila kita sekadar melarang tanpa mau mencarikan solusinya. Baik solusi jangka pendek maupun solusi jangka panjang.

Sementara di sisi lain, uang yang didapat dari pertunjukan topeng monyet amat dibutuhkan oleh si tukang topeng monyet. Bahkan, diperlukan juga oleh keluarganya dan si (adik) monyet sendiri. Hadeuh! Betul-betul pusing deh, jika mikirin topeng monyet secara serius begini.

Ya, sudahlah. Hidup toh merupakan deretan perkara yang acap kali bikin pusing. Dan kali ini, giliran perkara monyetlah yang memusingkanku. Huft!

MORAL CERITA:
Dalam hidup ini, kita kerap kali berhadapan dengan hal-hal yang kontradiktif.  



#Tanpa foto sebab rombongan keburu lenyap di tikungan sana



 

PIKIRAN POSITIF Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template