Minggu, 19 Maret 2023

Roti Djoen Roti Layatan

2 komentar
APA kabar Sobat PIKIRAN POSITIF? Semoga dalam kondisi sehat lahir batin. Terkhusus buat kalian yang muslim, yang sebentar lagi menunaikan ibadah Ramadan. Nah! Senyampang belum puasa, kita ngomongin Roti Djoen, ya.

Roti Djoen? Roti apa, tuh? Kalian yang bukan orang Jogja kemungkinan besar memang tidak tahu roti tersebut. Yang orang Jogja saja tidak semua tahu.

Ironis juga sebenarnya. Roti Djoen itu 'kan roti legendaris. Telah hadir jauh sebelum Indonesia merdeka. Kok sampai tidak tahu, lho. Hehehe ....

Silakan baca juga "Toko Roti Djoen Yogyakarta".

Dokpri Agustina


Dokpri Agustina


Toko Roti Djoen berlokasi di Jalan Malioboro. Tepatnya di sebelah utara gapura Kampung Ketandan. Sangat mudah dicari. Satu-satunya toko roti di sekitar gapura itu ya cuma Toko Roti Djoen.

Tak perlu khawatir salah toko. Silakan perhatikan dengan seksama foto di bawah. Bila ada toko roti dengan nuansa zadoel begini, itulah Toko Roti Djoen.
 

Dokpri Agustina


Lalu, mengapa judul di atas "Roti Djoen Roti Layatan? Karena biasanya di Yogyakarta, jika sebuah keluarga sedang kesripahan (salah satu anggotanya meninggal dunia), para pelayat diberi snack box yang berisi Roti Djoen dan air kemasan.

Lalu, bagaimana ceritanya Roti Djoen bisa dilabeli sebagai Roti Layatan?

Semua bermula ketika Sri Sultan HB IX meninggal dunia. Tatkala itu rakyat yang sangat mencintai beliau ingin terlibat membantu apa saja. Maksudnya membantu memperlancar seluruh prosesi pemakaman.

Ada yang membantu dengan tenaga. Ada yang membantu dengan uang. Adapun Toko Roti Djoen tatkala itu menyumbang sekian banyak roti produksinya untuk ribuan pelayat.

"Kami tidak punya uang, tetapi kami punya roti. Dengan roti inilah kami membantu ...."

Alhasil, sejak saat itu Roti Djoen terkenal sebagai Roti Layatan. Walaupun belakangan ada roti merk lain yang disuguhkan untuk layatan, pelabelan Roti Layatan masihlah milik Roti Djoen.

Demikian informasi yang saya peroleh dari Mas Erwin dari Komunitas Malamuseum. Semoga berfaedah. Minimal menambah pengetahuan kalian tentang Yogyakarta.





Jumat, 03 Maret 2023

Siapakah Tan Jin Sing? (3)

2 komentar
#BagianKetiga

HALO Sobat PlKIRAN POSITIF? Sekarang sudah di #BagianKetiga dari serial tulisan tentang Tan Jin Sing. Sungguh tak kuduga kalau ternyata mesti berjilid-jilid untuk memperbincangkan sosok penemu Candi Borobudur ini. Semoga kalian tidak merasa bosan.

Percayalah.  Eksistensi Tan Jin Sing di pusaran sejarah cukup menarik. Unik juga. Jadi, sungguh tak ada alasan untuk bosan mengetahui kisahnya.


Rumah Tan Jin Sing (Dokpri Agustina)



Tan Jin Sing memang tak dapat disebut pahlawan. Namun, bukan pula sepenuhnya pecundang. Minimal sikapnya kepada Crawfurd (untuk tahu tentang ini silakan KLIK DI SINI) dan Pangeran Diponegoro menunjukkan bahwa dia pun bisa menjadi seorang sahabat yang hangat.

O, ya. Kalau penasaran dengan wajah dan perawakan Tan Jin Sing, silakan cari di internet saja. Aku tak punya fotonya sehingga tak bisa menyertakannya ke dalam tulisan ini.

Hubungan Baik dengan Pangeran Diponegoro

Pada #BagianKedua telah kusebutkan bahwa pada akhirnya, Tan Jin Sing kehilangan jabatan bupati. Bidang tanah 800 cacah jatahnya pun ditarik kembali oleh pihak kraton.

Tentu ada surat resmi penarikan dari Kraton Yogyakarta. Referensi menyebutkan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada Desember 1824. Otomatis sejak saat itu, Tan Jin Sing tak lagi punya posisi di lingkaran kekuasaan.

Kerennya, dia tetap menunjukkan simpati kepada Pangeran Diponegoro tatkala putra Sultan HB III itu memimpin Perang Jawa. Sementara Perang Jawa atau yang biasa disebut Perang Diponegoro, berlangsung dari tahun 1825 sampai 1830. Yang berarti posisinya pun tidak sedang baik-baik saja.

Beberapa referensi menginformasikan  bahwa Tan Jin Sing mampu menahan diri untuk tidak condong terhadap pihak mana pun. Berusaha menjaga kenetralan. Dengan demikian, dia tidak berpotensi menyudutkan posisi Sang Pangeran di Kraton Yogyakarta.

Kalian mungkin sedikit ingat tentang Perang Diponegoro. Tatkala Sang Pangeran memimpin peperangan sengit tersebut, di Kraton Yogyakarta justru berlangsung gaya hidup bermewah-mewah. Adapun Sang Pangeran sebenarnya termasuk pula sebagai salah satu penasihat raja.

Terusterang saja, sejak SD sudah kudengar tentang Perang Diponegoro. Akan tetapi, baru puluhan tahun kemudian tahu tentang Tan Jin Sing. Heran, deh. Mengapa dua nama yang sebetulnya punya keterkaitan hanya disebut-sebut salah satunya?

Apakah gara-gara Tan Jin Sing berdarah Tionghoa Peranakan? Atau, sebab dia terlibat langsung dalam Geger Sepehi? Atau, karena perannya justru dinilai tak penting? Sehingga sengaja dilewatkan dari pembahasan? Entahlah.

Kalau Tan Jin Sing dianggap pecundang, bukankah faktanya ada hal-hal manis yang dia lakukan? Bahkan selain menyumbang simpati terhadap perjuangan Pangeran Diponegoro, kuda pemberiannya pun dijadikan tunggangan oleh Sang Pangeran pada awal-awal Perang Jawa.

Yuk, berbagi ingatan tentang pelajaran sejarah semasa sekolah dulu. Jangan-jangan dahulu disampaikan oleh guru sejarah, hanya diriku saja yang lupa. Tolong sampaikan di kolom komentar, ya.

Main cermin di Rumah Tan Jin Sing (Dokpri Agustina)


Penemu Candi Borobudur

Ada satu lagi rekam jejak baik dari Tan Jin Sing, yaitu menemukan Candi Borobudur. Kalian kaget? Tak percaya? Karena selama ini yang dikenal sebagai penemu candi tenar itu justru Raffles?

Oke. Wajar kok, kalau banyak di antara kalian yang tidak tahu bahwa Candi Borobudur ditemukan oleh Tan Jin Sing. Andai kata tak kubaca sebuah referensi tentang hal itu, aku pastilah tidak tahu.

Bagaimana kronologinya sehingga yang dikenal sebagai penemu Candi Borobudur malah Raffles?

Semua bermula dari pertemuan Tan Jin Sing dengan Crawfurd, Residen Yogyakarta semasa pemerintahan kolonial Inggris. Dalam suatu kesempatan, Crawfurd menyarankan Tan Jin Sing untuk menghadap Gubernur Jendral Raffles.

Di kemudian hari, Tan Jin Sing pun betul-betul menjumpai Raffles. Keduanya lalu memperbincangkan banyak hal. Terkhusus yang berkaitan dengan politik dan situasi terkini saat itu.

Di sela-sela tema percakapan utama, Raffles rupanya sempat mengungkapkan minat untuk melakukan studi tentang candi-candi peninggalan nenek moyang orang Jawa.

Demi mendengar ungkapan minat tersebut, Tan Jin Sing yang pernah menjadi Kapiten Cina di wilayah Kedu seketika teringat pada perkataan mandornya.

Si mandor sempat bercerita kepadanya bahwa semasa kecil, dia pernah melihat sebuah candi besar. Lokasinya di Desa Bumisegoro dekat Muntilan.

Singkat cerita, Tan Jin Sing berjanji kepada Raffles untuk mencari tahu lebih detil mengenai candi itu. Janjinya adalah sebuah janji serius. Tak sekadar basa-basi di hadapan Sang Gubernur Jendral Inggris.

Jadi setelah pertemuan mereka, Tan Jin Sing segera menemui si mandor. Kemudian pada hari yang telah disepakati, Tan Jin Sing dan si mandor berangkat ke Desa Bumisegoro. Setiba di sana mereka minta dipandu oleh seorang warga setempat. Tentu saja harus begitu karena jalur menuju candi tersamarkan oleh semak-semak. 

Adapun candinya dipenuhi pepohonan dan tanaman liar. Yang bagian bawah bahkan tertimbun tanah. Hanya bagian atas yang tampak sebagai candi.

Tan Jin Sing yang pada dasarnya memang pintar, lalu melakukan pengamatan. Ia pun membuat catatan untuk laporan. Dilengkapi pula dengan peta lokasi. 

Setelah segala sesuatunya dirasa cukup, semua dikirimkan kepada Raffles. Sudah pasti Raffles bagai mendapatkan durian runtuh. Selanjutnya ya sebagaimana yang kita saksikan sekarang.

Raffles dicatat sebagai penemu Candi Borobudur, padahal de facto dia hanya menindaklanjuti laporan komplet dari Tan Jin Sing. Sesungguhnya yang bekerja keras justru Tan Jin Sing. Itu pun berdasarkan informasi dari mandornya.

Jadi, Candi Borobudur ditemukan pada masa Raffles menjadi Gubernur Jendral di Hindia Belanda. Bukan ditemukan Raffles.

***

Demikianlah kisah tentang Tan Jin Sing. Terlepas dari tindakan-tindakannya yang cenderung oportunis, bagiku ada satu hal positif darinya yang patut kita renungkan.

Hal apakah? Tak lain dan tak bukan, hal yang kumaksudkan berkaitan dengan sikap hangatnya sebagai teman.

Kado perpisahan yang dia berikan kepada Crawfurd dan upayanya melindungi Pangeran Diponegoro adalah bukti bahwa dirinya masih punya sisi manusiawi. Bukankah itu menarik?

Okelah soal kado untuk Crawfurd bisa dimaklumi. Yang bersangkutan masih hidup. Masih dapat dijumpai langsung. Relatif gampang diingat pertemanannya.

Akan tetapi, fakta bahwa Tan Jin Sing masih menjaga persahabatannya dengan almarhum Sultan HB III (dengan cara menjalin hubungan baik dengan sang putra) adalah sesuatu yang inspiratif. Patut dicontoh.

Mungkin kalian tidak sepakat denganku dalam hal ini. Tak jadi soal. Tiap orang 'kan punya sudut pandang masing-masing.

Baiklah. Kuakhiri di sini serial tentang Tan Jin Sing.

Satu hal yang perlu kutegaskan, terlepas dari segala kontroversinya, bagaimanapun tinta emas sejarah telah mencatat nama Tan Jin Sing. Itu fakta yang tidak bisa diingkari. Jadi, mari terima saja secara objektif dan netral.

Referensi:

Serial tulisan tentang Tan Jin Sing kuolah dari berbagai sumber. Terutama dari story teller JWT by Malamuseum yang referensi sejarahnya komplet dan valid.

Sekilas tentang JWT by Malamuseum dapat kalian baca di tulisan INI dan INI.

Selain itu, kutambahkan pula bahan-bahan dari:

- Buku lama karya T. S. Werdoyo, terbitan Pustaka Utama Grafiti (1990), yang berjudul Tan Jin Sing: Dari Kapiten Cina Sampai Bupati Yogyakarta.

- Buku berjudul Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008) karya Benny G. Setiono, terbitan Transmedia Pustaka.

- Buku berjudul Melacak Gerakan Perlawanan dan Laku Spiritualitas Pangeran Diponegoro (2020) karya Peri Mardiono, terbitan Araska Publishing.

- kebudayaan.kemdikbud.go.id
- warta.jogjakota.go.id
- Wikipedia


Jumat, 24 Februari 2023

Siapa Tan Jin Sing? (2)

0 komentar
#BagianKedua

HAI, hai. Apakah engkau sedang menunggu lanjutan tulisan tentang Tan Jin Sing? Baiklah. Silakan nikmati kisahnya berikut ini.

Bila belum baca #BagianPertama, silakan membacanya terlebih dulu melalui TAUTAN YANG INI. 

Wajibkah? Iya, dong. Supaya pemahaman kalian terhadap Tan Jin Sing utuh seutuh-utuhnya. Walaupun selepas membaca tulisan ini, idealnya tetap menambah bacaan dari referensi lain yang lebih detil pemaparannya.

Kapiten Cina Tan Jin Sing

Pada akhir #BagianPertama kusinggung mengenai karier Tan Jin Sing. Yang kemungkinan besar hanya berpuncak sebagai Kapiten Cina, andai kata dia tidak bermain politik praktis.

Mungkin ada di antara kalian yang bertanya-tanya, "Apakah Tan Jin Sing seorang tentara? Kapiten itu 'kan jabatan kemiliteran?"

Sesungguhnya Tan Jin Sing bukan anggota militer. Dia adalah seorang Kapiten Cina, yaitu pemimpin masyarakat Cina (Tionghoa). Tepatnya Kapiten Cina di Yogyakarta.

Perlu diketahui bahwa semua perkampungan orang Tionghoa (Pecinan) ada pemimpinnya. Oleh pemerintah kolonial Belanda, pemimpinnya itu diberi kepangkatan militer sesuai dengan kategori kota masing-masing.
 

Ruangan di Rumah Tan Jin Sing/Dokpri Agustina

Untuk kota besar seperti Batavia, Medan, Semarang, dan Surabaya diberi pangkat Mayor Cina. Untuk kota sedang atau medium seperti Yogyakarta diberi pangkat Kapiten Cina. Untuk kota kecil seperti Lasem dan Jepara diberi pangkat Letnan Cina.

Sampai di sini, perihal pangkat Kapiten Cina yang dimiliki Tan Jin Sing telah jelas, ya. Sekarang kita lanjutkan ke pembahasan berikutnya.

Cina Wurung, Londo Durung, Jawa Tanggung

Telah kusampaikan pula di #BagianPertama bahwa Tan Jin Sing berhasil menjadi Bupati Yogyakarta semasa Sultan HB III berkuasa. Namun, malang tak dapat ditolak dan mujur tak bisa diraih. Sebab beliau cuma sebentar bertahta, Tan Jin Sing sebentar pula menikmati kekuasaannya sebagai bupati.

Ketika Sultan HB III sakit dan kemudian wafat, tepat persis pada saat itulah keselamatan Tan Jin Sing terancam. Teman baik yang sekaligus pelindungnya dari kalangan Kraton Yogyakarta telah tiada. Sementara yang menjadi raja baru, yaitu Sultan HB IV, adalah musuh bebuyutannya.

Tak ayal lagi, Tan Jin Sing kemudian berdiri sendirian. Tak ada orang yang suka kepadanya. Raja baru yang notabene bermusuhan dengan raja sebelumnya pun berupaya menjatuhkannya. Dari referensi yang kubaca, dia bahkan sampai dikabarkan hendak merebut selir sang raja.

Bagaimana halnya dengan penguasa Inggris?

Jangan lupakan fakta bahwa pada dasarnya, hubungan baik Tan Jin Sing dan pihak Inggris adalah simbiosis mutualisme. Harus saling menguntungkan. Kalau Tan Jin Sing dianggap tak lagi menguntungkan, pastilah tak disapa-sapa.

Lalu, bagaimana halnya dengan orang-orang Tionghoa Peranakan? Yang notabene merupakan keluarga besar Tan Jin Sing?

Untuk tahu penjelasan tentang Tionghoa Peranakan, silakan baca di TAUTAN ini: "Ketandan Bukanlah Pecinan?"

Sebagaimana kujelaskan di #BagianPertama, mereka pun telah kecewa pada Tan Jin Sing. Nah, kalian tahu sendirilah. Tak semudah itu menerima kembali sosok yang telah bikin kecewa 'kan?

Tentu saja puncak kejatuhan Tan Jin Sing adalah ketika dicopot dari jabatan bupati. Bidang tanah senilai 800 cacah, yang merupakan gajinya sebagai bupati, ditarik lagi oleh pihak kraton. Kiranya itulah penanda resmi pencopotannya.

Tan Jin Sing pada akhirnya menjadi buronan hingga akhir hayat. Berkembang pula anekdot berdasarkan keapesannya tersebut. Inilah anekdotnya: Cina wurung, Londo durung, Jawa tanggung.

Arti harafiahnya 'batal jadi orang Cina, belum berhasil jadi orang Eropa, masih kurang fasih untuk jadi orang Jawa'.

Jadi, memang serba setengah-setengah. Apa boleh buat?

Semua yang terjadi pada diri Tan Jin Sing menyebabkan trauma sekaligus menjadi pelajaran bagi masyarakat Tionghoa (Peranakan). Setelah menyaksikan akhir tragis Tan Jin Sing, mereka tak ada lagi yang berani bermain di ranah politik praktis.

Menurutku, Tan Jin Sing beserta seluruh kisah hidupnya turut memperkuat terjadinya stereotipe dan stigma terhadap orang Tionghoa. Apa boleh buat?

Tentang Darah Tan Jin Sing

Banyak referensi yang menginformasikan bahwa Tan Jin Sing adalah seorang Tionghoa Peranakan. Salah satunya buku berjudul Tionghoa dalam Pusaran Politik karya Benny G. Setiono (Transmedia Pustaka, 2008).

Dalam buku itu disebutkan mengenai ayah Tan Jin Sing yang berdarah Tionghoa dan meninggal dunia kurang lebih enam bulan sebelum dia lahir pada tahun 1760. Sementara ibunya yang bernama R. A. Patrawijaya dinyatakan berdarah Jawa dan merupakan keturunan Sunan Mataram Mangkurat Agung. 

Namun jauh sebelumnya, T. S. Werdoyo dalam bukunya yang berjudul Tan Jin Sing: Dari Kapiten Cina Sampai Bupati Yogyakarta (Pustaka Utama Grafiti,1990), menyatakan bahwa orang tua Tan Jin Sing sama-sama priayi Jawa. Tidak ada yang berdarah Tionghoa.

Sejujurnya aku bingung menghadapi dua fakta yang disodorkan dua buku itu. Aku cenderung percaya bahwa Tan Jin Sing seorang Peranakan. Sesuai dengan yang dikemukakan Pak Benny G. Setiono. Selaras juga dengan informasi yang kuperoleh dari Mas Erwin dari Komunitas Malamuseum.
 
 
Mas Erwin dan referensi/Dokpri Agustina


Kuyakin bahwa keduanya tidak asal menyampaikan informasi. Masing-masing pasti telah melakukan telaah terhadap banyak fakta sejarah.

Sementara di sisi lain, T. S. Werdaya diketahui merupakan salah seorang keturunan Tan Jin Sing. Pastinya pula T. S. Werdaya tidak sembarangan mengungkapkan fakta.

Entahlah. Sepertinya aku mesti lanjut cari-cari referensi terkait hal ini, deh. 

Ngomong-ngomong, tulisan ini telah panjang sekali. Sementara kaitan Tan Jin Sing dengan Pangeran Diponegoro dan Candi Borobudur belum terkisahkan. Jadiii, tunggu #BagianTiga hehehe ....

Referensinya kusertakan nanti di bagian terakhir, ya. 




Minggu, 19 Februari 2023

Siapakah TAN JIN SING?

2 komentar
#BagianPertama

HALO Sobat PIKIRAN POSITIF? Semoga kalian sedang membaca tulisan ini dengan gembira. Segembira diriku yang akhirnya bisa menulis tentang Tan Jin Sing (mungkin ada pula yang menulis pakai "Djin"). Sesuai dengan janjiku tempo hari.

Tentang janjiku itu bisa dibaca di sini dan di sini, ya.

Sebelumnya aku perlu memberikan disclaimer, nih. Tulisan ini ternyata lumayan panjang. Jadi, mohon bersabar dalam membaca sehingga bisa menyimaknya dengan baik.

Namun, tenanglah. Walaupun panjang, kujamin tidak bakalan membosankan. Semua bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman kita terhadap peristiwa Geger Sepehi yang menimpa Kraton Yogyakarta.

Yang lebih menarik sekaligus penting, bakalan membuat kita paham mengapa sikap rasis terhadap orang Tionghoa (Peranakan) demikian pekat.

Sosok Lihai dan Oportunis

Siapakah sebenarnya Tan Jin Sing? Mengapa namanya tercatat dalam sejarah? Terkhusus dalam kaitannya dengan sejarah Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, terkhusus lagi semasa pemerintahan Sri Sultan HB II dan III?

Siapakah dia sebenarnya? Bahkan saat memperbincangkan peristiwa besar Geger Sepehi dan Perang Diponegoro (Perang Jawa), nama Tan Jin Sing juga muncul.

Baiklah. Sebelum kujelaskan lebih detil tentangnya, secara singkat ingin kunyatakan bahwa Tan Jin Sing adalah sosok yang pintar, terampil, dan supel. Plus lihai memanfaatkan ketiganya untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

Dia luwes menempatkan diri di kalangan pembesar Kraton Yogyakarta. Tetap percaya diri meskipun tidak disukai oleh sebagian dari mereka. Cuek menghadapi fakta bahwa sesungguhnya, orang-orang Cina dan Jawa banyak pula yang tidak menyukainya.

Orang-orang Jawa yang tidak menyukainya adalah golongan konservatif. Tidak rela melihat sepak terjang Tan Jin Sing di kraton, sedangkan dia berdarah Peranakan.

Adapun orang-orang Cina (Tionghoa) tidak menyukainya sebab merasa "dikhianati". Menurut mereka, Tan Jin Sing telah meninggalkan budaya leluhurnya. Secara politis pun mereka merasakan hal serupa.

Perlu diketahui bahwa Tan Jin Sing telah mereduksi penampilannya sebagai orang Tionghoa Peranakan. Kucir rambutnya dipotong. Dia pun menikahi seorang perempuan Jawa sebagai istri kedua. Terlebih dia kemudian memeluk Islam.

Mengapa Tan Jin Sing sepercaya diri itu? Karena dia merasa punya pelindung tangguh sehingga yakin tak bakalan tersentuh. Tak lain dan tak bukan, pelindungnya adalah para pembesar kolonial, baik yang dari Belanda maupun Inggris.

Pendek kata, nama Tan Jin Sing tatkala itu sangat direkomendasikan di kalangan penguasa Eropa di Yogyakarta. Faktanya, dia memang berkualitas. Punya koneksi sosial yang luas dan pandai memanfaatkan situasi.

Itulah sebabnya para penguasa Eropa senang bekerja sama dengan Tan Jin Sing dan berani mengandalkannya. Tentu demi kepentingan politik mereka. Sebaliknya, Tan Jin Sing juga mengambil keuntungan pribadi dari kerja sama dengan mereka. Prinsip yang berlaku bagi semua pihak tersebut adalah "tak ada makan siang yang gratis".

Sebuah sumber menginformasikan bahwa Tan Jin Sing mahir berbahasa Cina (Hokkian), Belanda, Inggris, Melayu, serta Jawa Krama Inggil dan Jawa Ngoko. Wow sekali 'kan? Hal itu pun menjadi sebuah keunggulan tersendiri baginya.

Tidak mengherankan kalau Tan Jin Sing dikenal sebagai sosok cerdas. Secara logika saja, dengan bekal sederet bahasa tersebut, Tan Jin Sing dapat mengakses sumber-sumber pengetahuan yang ditulis dalam berbagai bahasa.

Kemahiran berbahasa Inggrisnya antara lain terbukti dari kado istimewa yang diberikannya kepada Crawfurd. Kado itu berupa naskah Arjuna Wiwaha yang telah diterjemahkan Tan Jin Sing ke dalam bahasa Inggris. Sebagai kenang-kenangan untuk Crawfurd yang telah habis masa bertugasnya sebagai Residen Yogyakarta.

Dia tahu kalau Crawfurd gemar menonton pertunjukan wayang kulit. Kiranya itulah alasan utama Tan Jin Sing memberikan terjemahan naskah Arjuna Wiwaha kepada pembesar Inggris tersebut.

Crawfurd yang pada dasarnya mengagumi Tan Jin Sing amat gembira menerima kado spesial itu. Dia pun membalas dengan baik. Kepada Tan Jin Sing, dia menyerahkan sebuah karya sastra tenar berbahasa Inggris dari Shakespeare. Judulnya Romeo dan Juliet.

Luar biasa ya, mereka? Pilihan kado keduanya sama-sama keren. Menunjukkan selera baca yang istimewa.

Dan, lihatlah! Selain dapat menjadi andalan penguasa Eropa dalam bersiasat menghadapi penguasa Kraton Yogyakarta, Tan Jin Sing pun terbukti bisa menjadi teman yang baik. Dia bahkan paham seni kesukaan Crawfurd 'kan?

Menjadi K. R. T. Secodiningrat

Kita telah tahu bahwa Tan Jin Sing merupakan sosok yang lihai dan oportunis. Kasarannya dia tak segan bersikap licik demi mencapai tujuan. Namun, sisi baiknya dia mengimbangi semua itu dengan isi otak yang berkualitas.

Alhasil di kemudian hari, kepandaian dan kelihaian Tan Jin Sing sukses mengantarkannya ke puncak karier. Setelah sekian lama menjadi Kapiten Cina di Kota Yogyakarta, dia kemudian juga berhasil menjadi nayaka (pejabat kraton). Tepatnya ditunjuk sebagai Bupati Yogyakarta.

Yang menunjuk Sultan HB III atas persetujuan Raffles (penguasa Inggris). Tatkala itu Kraton Yogyakarta memang dalam cengkeraman penjajah Inggris.

Pencapaian tersebut membuatnya tercatat sebagai Bupati Yogyakarta pertama yang berdarah Peranakan. Nama Tan Jin Sing pun diubah menjadi Kanjeng Raden Tumenggung (K. R. T.) Secodiningrat.

Tentu saja jabatan sebagai Bupati Yogyakarta itu merupakan sebuah balas budi. Sultan HB III berterima kasih sebab Tan Jing Sing telah membantunya merebut tahta dari sang ayah.

Seorang anak merebut tahta ayahnya? Bagaimana bisa? Bisa, dong. Dalam hidup ini, apa pun bisa terjadi 'kan? Terlebih Pangeran Soerojo (yang menjadi Sultan HB III) bukanlah putra mahkota pilihan Sultan HB II.

Dalam posisi seperti itu, sudah pasti putra mahkota yang direstui Sultan Sepuh (Sultan HB II) tidak berdiam diri. Jadi Pangeran Soerojo mesti berebut tahta dengannya, bahkan dengan pangeran lain yang juga ngebet jadi raja. Tanpa bantuan Tan Jin Sing dan penjajah Inggris, belum tentu dia bisa menjadi raja.

Kalian mungkin pernah mendengar tentang peristiwa Geger Sepehi yang membuat Kraton Yogyakarta habis-habisan sebab diserbu pasukan Inggris. Nah! Tan Jin Sing punya keterlibatan besar dalam penyerbuan tersebut.

Dialah yang menyediakan ransum makanan untuk pasukan Inggris selama penyerbuan. Dia pula yang menyediakan tangga-tangga bambu yang dipergunakan pasukan Inggris untuk melompati Benteng Baluwarti dan jagang (parit dalam yang mengelilingi benteng kraton).

Pastilah sebelum membantu Tan Jin Sing sudah punya kesepakatan tertentu dengan pihak Inggris. Dia memastikan bahwa kawannya, yaitu sang putra mahkota, yang bakalan diangkat menjadi Sultan HB III jika Sultan HB II berhasil dilengserkan.

Pihak Inggris pun setuju dengan syarat, sultan baru nantinya bersedia tunduk kepadanya. Alhasil pada hari penyerbuan, Tan Jin Sing telah mengamankan sang putra mahkota di kediamannya yang berlokasi di Ketandan.

Bangunan tertutup mobil itu dulunya kediaman Tan Jin Sing/Dokpri


Demikianlah adanya. Tan Jin Sing telah menjadi "pahlawan" bagi dua pihak, yaitu Sultan HB III dan penjajah Inggris.

Andai kata tidak terlibat politik praktis serupa itu, sangat mungkin Tan Jin Sing tidak dijadikan bupati. Pencapaian tertingginya dalam karier bisa jadi cuma sebagai Kapiten Cina.

Baiklah. Kucukupkan #BagianPertama ini. Sudah terlampau panjang. Tunggu, ya. Nanti bakalan ada juga penjelasan mengenai anekdot Cina wurung, Londo durung, Jawa tanggung.

O, ya. Referensinya kusertakan nanti di bagian terakhir.





 

PIKIRAN POSITIF Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template