Mengapa? Alasannya simpel saja. Sebab ada beberapa hal yang belum kutuliskan dalam artikel sebelumnya.
Sementara kalau sekalian dirangkum dalam artikel sebelumnya, bakalan panjang sekali. Tentu berpotensi membosankan. Bisa-bisa malah merusak kebahagiaan kalian, deh.
Lalu, apa saja hal-hal yang hendak kusampaikan dalam sekuel ini? Baik. Mari langsung simak penjelasan berikut.
Pertama, bagaimana cara makan songgo buwono?
Lazimnya dimakan pakai sendok. Oleh karena itu, saat membeli songgo buwono untuk dibawa pulang (bukan dimakan di tempat), dalam kemasannya pun diberi sendok.
Tidak bisakah dilahap tanpa bantuan sendok? Bisa-bisa saja, sih. Terlebih kalau ukurannya mini. Relatif gampang dikendalikan dalam genggaman tangan.
Mayonaisnya tinggal dicocolkan ke kulit sus. Sementara acarnya bisa disisipkan ke dalam kulit sus.
Akan tetapi, kalau songgo buwono berukuran normal atau malah lebih besar daripada ukuran normal, lebih mudah kalau menikmatinya pakai sendok.
Jangan lupa. Makin besar ukuran berarti makin banyak isian daging cincang (giling)-nya. Kalau kita asal gigit, isian tersebut dapat berhamburan.
Hmm. Enggak asyik banget jadinya. Sudahlah terbuang, masih pula mengurangi keanggunan.
Kedua, di mana bisa membeli songgo buwono?
Mayoritas respons terhadap tulisan sebelumnya adalah pernyataan tentang ketidaktahuan perihal songgo buwono. Beberapa orang bahkan menyatakan tekad untuk mencarinya, bila kelak main ke Yogyakarta lagi.
Dua respons tersebut bikin aku terhenyak. Sekaligus berdoa agar kelak usaha mereka mencari songgo buwono dilancarkan-Nya.
Mengapa? Sebab tekad mereka menyadarkanku, betapa songgo buwono "tak segampang itu" dicari.
Sekalipun berdomisili di wilayah DIY, terkhusus Kota Yogyakarta, ternyata belum tentu sewaktu-waktu dapat membeli songgo buwono.
Saya ngeh-nya tatkala ditanya dua kawan sekota, "Mbak Tinbe kalau beli songgo buwono di mana? Aku enggak pernah nemu di penjual jajanan eee ...."
Sementara mereka sama-sama tinggal di kampung njero beteng. Yang satu di Pura Pakualaman. Yang satunya di Kraton Yogyakarta.
Di sisi lain, aku malah lumayan sering bersikap cuek saat melihat songgo buwono. Bukan sebab tak suka, melainkan tahu diri dengan isi dompet. Bahaya kalau terlalu sering beli songgo buwono.
Sampai di sini, mungkin kalian berpikir pesimis. Kalau warga njero beteng saja begitu, bagaimana halnya dengan wisatawan yang notabene tak berlama-lama di Yogyakarta?
Tenang, tenang. Untuk kaum wisatawan, terutama yang berombongan, bisa memesannya dulu ke produsen songgo buwono. Alamat dan kontaknya bisa cari-cari di internet. Atau, boleh juga bertanya kepadaku.
Saat ini kebetulan aku bertetangga dengan seorang pembuat aneka jajanan. Termasuk songgo buwono. Akan tetapi, camilan ningrat itu hanya dibuatnya ketika ada pesanan.
Kalau ada pesanan dia terbiasa melebihkan jumlah produksi. Misalnya menerima pesanan 20 buah, dia akan membuat 30 sekalian. Yang 10 biasanya dititipkannya di Gudheg Yu Hadi.
Lalu, yang wisatawan perseorangan bagaimana? Tak jadi soal jika ordernya banyak. Kalau cuma mau beli satu, ya ayo persiapkan diri untuk berburu songgo buwono.
Di mana berburunya? Di lapak-lapak penjual jajanan di seantero Yogyakarta, dong. Siapa tahu di antara sekian banyak jajanan, di situ terselip songgo buwono?
Berapakah harganya? Perihal harga tentu tergantung ukuran dan isian. Makin besar makin mahal. Kalau berisi daging sapi, pasti bandrol harganya pun lebih tinggi daripada yang berisi daging ayam.
Begitulah faktanya. Sesuai dengan kemantapan citarasanya, harga songgo buwono memang tak ringan. Terlebih yang kualitas premium.
Ketiga, penjelasan tentang makna filosofi songgo buwono.
Kalian tentu masih ingat penampakan songgo buwono dalam tulisan sebelum ini. Yang ditaruh di piring. Jika lupa, silakan perhatikan saja foto berikut. Hehehe ...
Nah. Dalam tulisan terdahulu itu, sempat kusampaikan bahwa songgo buwono mengandung makna filosofis terkait kehidupan manusia. Hanya saja, belum kuberi penjelasan detil.
Baik. Sekaranglah saatnya kita membahas makna filosofi songgo buwono.
Kita mulai dari namanya, ya. Songgo buwono! Yang rupanya terdiri atas dua kata bahasa Jawa yaitu songgo (menyangga) dan buwono (langit, kehidupan). Dengan demikian, songgo buwono berarti penyangga langit/kehidupan.
Ahaiii. Poin ini sekaligus menjelaskan bahwa penulisan yang benar adalah songgo buwono. Bukan songgobuwono.
Sekarang, mari perhatikan komposisinya. Kita bahas satu per satu, tiap komponen menyimbolkan apa.
Kulit sus menyimbolkan bumi.
Daging sapi/daging ayam menyimbolkan penduduk bumi.
Telur menyimbolkan keberadaan gunung.
Selada, menyimbolkan tumbuhan.
Kuah (mayonaise) menyimbolkan langit.
Acar menyimbolkan bintang-bintang di langit.
Kiranya sampai di sini sudah jelas, ya. Tak ada lagi yang perlu dijelaskan. Bahkan kalian bisa menengok salah satu komentar panjang di tulisanku terdahulu,sebagai pelengkap informasi.
Percayalah. Begitu kalian mencicipi songgo buwono, makna 'penyangga kehidupan' itu seketika bisa kalian buktikan (melalui rasa kenyang). Haha!
***
Baiklah. Kiranya sudah komplet ceritaku tentang songgo buwono. Insyaallah tulisan berikutnya akan memperbincangkan gecok genem. Jenis makanan ala kraton juga.
Namanya tak kalah unik dari songgo buwono 'kan? Citarasanya pun demikian. Tunggu dengan penuh cinta, ya.