Minggu, 24 September 2023

Sekuel Songgo Buwono

52 komentar
HALO, Sobat PIKIRAN POSITIF? Rupanya kali ini kita belum bisa move on ke jenis makanan lainnya.  Ternyata tulisan "Songgo Buwono Atau Songgobuwono?" mesti dibuatkan sekuel.

Mengapa? Alasannya simpel saja. Sebab ada beberapa hal yang belum kutuliskan dalam artikel sebelumnya.

Sementara kalau sekalian dirangkum dalam artikel sebelumnya, bakalan panjang sekali. Tentu berpotensi membosankan. Bisa-bisa malah merusak kebahagiaan kalian, deh.

Lalu, apa saja hal-hal yang hendak kusampaikan dalam sekuel ini? Baik. Mari langsung simak penjelasan berikut.

Pertama, bagaimana cara makan songgo buwono?

Lazimnya dimakan pakai sendok. Oleh karena itu, saat membeli songgo buwono untuk dibawa pulang (bukan dimakan di tempat), dalam kemasannya pun diberi sendok.



Tidak bisakah dilahap tanpa bantuan sendok? Bisa-bisa saja, sih. Terlebih kalau ukurannya mini. Relatif gampang dikendalikan dalam genggaman tangan.

Mayonaisnya tinggal dicocolkan ke kulit sus. Sementara acarnya bisa disisipkan ke dalam kulit sus.

Akan tetapi, kalau songgo buwono berukuran normal atau malah lebih besar daripada ukuran normal, lebih mudah kalau menikmatinya pakai sendok.

Jangan lupa. Makin besar ukuran berarti makin banyak isian daging cincang (giling)-nya. Kalau kita asal gigit, isian tersebut dapat berhamburan.

Hmm. Enggak asyik banget jadinya. Sudahlah terbuang, masih pula mengurangi keanggunan.

Kedua, di mana bisa membeli songgo buwono?

Mayoritas respons terhadap tulisan sebelumnya adalah  pernyataan tentang ketidaktahuan perihal songgo buwono. Beberapa orang bahkan menyatakan tekad untuk mencarinya, bila kelak main ke Yogyakarta lagi.

Dua respons tersebut bikin aku terhenyak. Sekaligus berdoa agar kelak usaha mereka mencari songgo buwono dilancarkan-Nya.

Mengapa? Sebab tekad mereka menyadarkanku, betapa songgo buwono "tak segampang itu"  dicari.

Sekalipun berdomisili di wilayah DIY, terkhusus Kota Yogyakarta, ternyata belum tentu sewaktu-waktu dapat membeli songgo buwono.

Saya ngeh-nya tatkala ditanya dua kawan sekota, "Mbak Tinbe kalau beli songgo buwono di mana? Aku enggak pernah nemu di penjual jajanan eee ...."

Sementara mereka sama-sama tinggal di kampung njero beteng. Yang satu di Pura Pakualaman. Yang satunya di Kraton Yogyakarta.

Di sisi lain, aku malah lumayan sering bersikap cuek saat melihat songgo buwono. Bukan sebab tak suka, melainkan tahu diri dengan isi dompet. Bahaya kalau terlalu sering beli songgo buwono.

Sampai di sini, mungkin kalian berpikir pesimis. Kalau warga njero beteng saja begitu, bagaimana halnya dengan wisatawan yang notabene tak berlama-lama di Yogyakarta?

Tenang, tenang. Untuk kaum wisatawan, terutama yang berombongan, bisa memesannya dulu ke produsen songgo buwono. Alamat dan kontaknya bisa cari-cari di internet. Atau, boleh juga bertanya kepadaku.

Saat ini kebetulan aku bertetangga dengan seorang pembuat aneka jajanan. Termasuk songgo buwono. Akan tetapi, camilan ningrat itu hanya dibuatnya ketika ada pesanan.

Kalau ada pesanan dia terbiasa melebihkan jumlah produksi. Misalnya menerima pesanan 20 buah, dia akan membuat 30 sekalian. Yang 10 biasanya dititipkannya di Gudheg Yu Hadi.

Lalu, yang wisatawan perseorangan bagaimana? Tak jadi soal jika ordernya banyak. Kalau cuma mau beli satu, ya ayo persiapkan diri untuk berburu songgo buwono.

Di mana berburunya? Di lapak-lapak penjual jajanan di seantero Yogyakarta, dong. Siapa tahu di antara sekian banyak jajanan, di situ terselip songgo buwono?

Berapakah harganya? Perihal harga tentu tergantung ukuran dan isian. Makin besar makin mahal. Kalau berisi daging sapi, pasti bandrol harganya pun lebih tinggi daripada yang berisi daging ayam.

Begitulah faktanya. Sesuai dengan kemantapan citarasanya, harga songgo buwono memang tak ringan. Terlebih yang kualitas premium.

Ketiga, penjelasan tentang makna filosofi songgo buwono.

Kalian tentu masih ingat penampakan songgo buwono dalam tulisan sebelum ini. Yang ditaruh di piring. Jika lupa, silakan perhatikan saja foto berikut. Hehehe ...



Nah. Dalam tulisan terdahulu itu, sempat kusampaikan bahwa songgo buwono mengandung makna filosofis terkait kehidupan manusia. Hanya saja, belum kuberi penjelasan detil.

Baik. Sekaranglah saatnya kita membahas makna filosofi songgo buwono.

Kita mulai dari namanya, ya. Songgo buwono! Yang rupanya terdiri atas dua kata bahasa Jawa  yaitu songgo (menyangga) dan buwono (langit, kehidupan). Dengan demikian, songgo buwono berarti penyangga langit/kehidupan.

Ahaiii. Poin ini sekaligus menjelaskan bahwa penulisan yang benar adalah songgo buwono. Bukan songgobuwono.

Sekarang, mari perhatikan komposisinya. Kita bahas satu per satu, tiap komponen menyimbolkan apa.

Kulit sus menyimbolkan bumi.

Daging sapi/daging ayam menyimbolkan penduduk bumi.

Telur menyimbolkan keberadaan gunung.

Selada, menyimbolkan tumbuhan.

Kuah (mayonaise) menyimbolkan langit.

Acar menyimbolkan bintang-bintang di langit.

Kiranya sampai di sini sudah jelas, ya. Tak ada lagi yang perlu dijelaskan. Bahkan kalian bisa menengok salah satu komentar panjang di tulisanku terdahulu,sebagai pelengkap informasi.

Percayalah. Begitu kalian mencicipi songgo buwono, makna 'penyangga kehidupan' itu seketika bisa kalian buktikan (melalui rasa kenyang). Haha!

***

Baiklah. Kiranya sudah komplet ceritaku tentang songgo buwono. Insyaallah tulisan berikutnya akan memperbincangkan gecok genem. Jenis makanan ala kraton juga.

Namanya tak kalah unik dari songgo buwono 'kan? Citarasanya pun demikian. Tunggu dengan penuh cinta, ya.


Minggu, 17 September 2023

Songgo Buwono atau Songgobuwono?

40 komentar
APA kabar Sobat Pikiran Positif? Sedang sibuk melakukan apa, nih? Jangan-jangan sedang menikmati songgo buwono? Eh, songgobuwono? Duh! Cara menulisnya bagaimana, sih? Hehehe ...

Oke, oke. Mulai dari tulisan ini hingga dua tulisan berikutnya, hendak kuajak kalian untuk ngomongin makanan tradisional. Namun, makanan tradisionalnya yang edisi spesial.

Mengapa kunyatakan sebagai edisi spesial? Karena asal muasalnya dari Kraton Yogyakarta. Dari dalam tembok kraton.

Jadi, semula hanya dikonsumsi oleh keluarga kerajaan. Bukan merupakan makanan yang biasa dikonsumsi oleh kalangan rakyat jelata.

Yang kemudian seiring dengan berjalannya waktu, menjadi lazim dinikmati oleh siapa saja. Tua, muda, berdarah biru, berdarah warna-warni, kaya, miskin, pokoknya siapa saja.

Pasti kalian penasaran 'kan? Makanan tradisional apa yang dimaksud? Baik. Jreng jreng jreeeng ... Inilah penampakan makanan tradisional yang hendak kita obrolkan sekarang.

It's songgo buwono!


Seperti yang tampak dalam foto, songgo buwono dibuat dari kulit sus basah. Isiannya daging sapi giling dan telur rebus. Pelengkapnya daun selada, acar, dan mayonaise.

Perlu diketahui, songgo buwono dalam foto di atas made in nDalem Benawan. Berisi daging sapi giling. Telurnya telur bebek asin. Citarasanya sungguh lezat. Premium. Tentu harganya pun premium.

Berbeda dengan songgo buwono yang biasa kubeli di lapak jajanan. Yang kisaran harganya sepuluh ribuan. Lebih murah.

Kok bisa lebih murah? Bisa, dong. 'Kan isiannya diganti dengan daging ayam giling. Telurnya pun telur ayam rebus.

Begitulah faktanya. Sedari dahulu, rumusan "ada harga ada rasa" terbukti selalu valid.

Tampilan songgo buwono memang kebule-bulean. Namun, sang pemilik ide pembuatannya adalah Sri Sultan HB VII.

Dari referensi yang kubaca, songgo buwono lahir dari keprihatinan beliau terhadap kondisi rakyat Yogyakarta yang cenderung suka mengonsumsi kudapan berpengawet.

Tatkala itu yang sering dikonsumsi sejenis burger. Yang masa kadaluarsanya lama sebab berpengawet. Sementara songgo buwono cuma tahan sehari dalam suhu ruang.

Sesuai dengan bahan pembuatannya, songgo buwono termasuk kudapan berjenis gurih.

Sementara dalam urutan perjamuan makan yang lengkap, songgo buwono merupakan makanan pembuka. Insyaallah dalam tulisan berikutnya akan kuceritakam makanan utama dan makanan penutupnya.

O, ya. Segala yang berasal dari kraton selalu mengandung filosofi. Demikian juga halnya songgo buwono. Kudapan yang merupakan akulturasi budaya Jawa dan Eropa ini memuat filosofi kehidupan manusia.

Luar biasa 'kan? Sembari mengunyah, kita bisa sembari berpikir keras perihal filosofi tingkat tinggi.


Minggu, 10 September 2023

Begini Rasanya Ditinggal Bapak

42 komentar
APA kabar Sobat Pikiran Positif? Semoga kalian sedang baik-baik saja. Hepi. Tidak sedang mengalami suatu peristiwa yang menyedihkan. Sepertiku, beberapa waktu lalu.

Tepat pukul 03.20 WIB, tanggal 26 Agustus 2023, tunai sudah tugas bapakku di dunia fana ini. Setelah 42 hari terbaring lemah. Segala sakitnya, baik lahir maupun batin, sudah tak lagi ada.

Rezekinya di bumi Allah SWT sudah habis. Pertaliannya dengan ruang dan waktu telah usai. Meninggalkanku, yang hingga detik ini masih denial. Terkadang masih belum percaya kalau bapak sudah tiada.

Bahkan sejujurnya, aku baru satu kali menangis sebentar. Bukan sebab tak sedih. Justru sebaliknya, sebab saking sedihnya.

Aku tahu dan sadar banget bahwa saat perpisahan semacam ini pasti akan tiba. Cepat atau lambat.

Itulah sebabnya tatkala bapak masih ada, sepenuh hati aku berulang kali memohon kekuatan batin kepada-Nya SWT, jika tiba saatnya mesti menghadapi perpisahan abadi begini.

Hanya saja, aku sungguh menyesali keadaanku yang masih jauh dari kata sukses. Belum bisa menjadi anak kebanggaan bapak, padahal sudah setua ini. Eh, tahu-tahu bapak pergi ...

Apa boleh buat? Sesal kemudian memang tiada berguna. Memang aku yang lelet. Tidak bersegera dalam memperjuangkan yang terbaik dalam hidupku. Selagi bapak masih sehat dahulu.

Semoga kalian tidak mengalami penyesalan sepertiku ini, ya.


Jumat, 25 Agustus 2023

Cokelat Gemstone dari CLICKompasiana

2 komentar
HALO, Sobat PIKIRAN POSITIF? Kali ini kalian kupameri cokelat gemstone, ya? Yang konon dari Turki. Lalu, ada pula teman yang bilang bahwa itu merupakan oleh-oleh haji/umrah (berarti dari Mekkah atau Madinah).

Namun, entahlah. Mau dari mana saja asalnya, itu tak jadi problema. Bagiku, yang penting bentuknya loetjoek dan citarasanya lezat. Seloetjoek apakah? Ini nih, penampakannya.



Memang loetjoek 'kan? Seperti kerikil warna-warni. Itu tuh, yang biasa dijadikan hiasan dalam akuarium.

Terusterang saja sewaktu pertama kali membuka wadahnya, aku lumayan takjub. Wow! Betapa imoet dan loetjoek! Warna-warni membentuk harmoni.

Kemudian saat hendak mencomotnya satu untuk nyicip, sempat tebersit ragu di hati. Keras enggak, ya? Jangan-jangan ini memang kerikil akuarium?  Jenis keraguan yang konyol tepatnya. Lhahwong jelas-jelas makanan, kok.

Tentu saja manakala telah mendarat di mulut, si cokelat gemstone menunjukkan jatidirinya. Alih-alih keras seperti kerikil akuarium. Yang ada justru kelembutan, kerenyahan, dan kemanisan yang pas.

Pendek kalimat, pokoknya enak bangeeet!

O, ya. Sesungguhnya cokelat gemstone ini merupakan hadiah dari lomba menulis. Penyelenggaranya CLICKompasiana, yaitu komunitas kompasianer pengguna/pecinta kereta api.

Tatkala itu lombanya bertema "Stasiun Bersejarah Paling Dekat dengan Rumahmu". Karena berdomisili dekat dengan Stasiun Yogyakarta (Stasiun Tugu), otomatis aku menuliskan sejarah yang berkaitan dengan stasiun tersebut.

Jika ingin membacanya, silakan baca saja di Kompasiana ( "Stasiun Yogyakarta dan Perjalanan Rahasia Presiden Soekarno").

Tentu saja kelezatan cokelat gemstone ini makin istimewa sebab merupakan hadiah menang lomba. Keistimewaannya pun makin terasa mantap karena kuterima pada tanggal 16 Agustus, yaitu bertepatan dengan HUT-ku.

Serasa dikado setoples cokelat istimewa penuh cinta, deh.

Terima kasih, CLICKompasiana. Terima kasih Kompasiana.

MORAL CERITA:
Menulis bisa menyebabkan kita bahagia dan mendapatkan kado istimewa. Haha!



 

PIKIRAN POSITIF Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template