Kamis, 20 Oktober 2022
Beri Aku Cerita yang Tak Biasa
Rabu, 22 Juni 2022
Berdaya Berkarya Bersama IIDN
Selasa, 25 Januari 2022
Penulis Tanpa Honor Itu Horor
HALO Sobat PIKIRAN POSITIF? Sedang bahagia dan tidak resah 'kan? Semoga memang begitu keadaan kalian. Hanya saja, saya mohon izin untuk bercerita tentang sesuatu yang mungkin berpotensi mereduksi ketenangan hidup kalian. Plus membuat ambyar pikiran positif kalian terhadap redaksi majalah dan koran.
Muehehehe .... Intro tulisan ini kok malah cenderung meresahkan, ya? Yeah! Apa boleh buat? Kali ini aku memang hendak berbagi cerita tentang satu hal yang bikin resah para penulis.
Jreng jreeeng jreeeeng! Hal apakah itu? Tak lain dan tak bukan, hal yang kumaksudkan adalah TIDAK ADANYA HONOR BAGI PENULIS.
Sadis toh? Akan makin terasa sadisnya, jika penulis yang tak menerima honor itu memang menjadikan aktivitas menulis sebagai cara mencari nafkah. Wah, wah, wah. Menjadi terlalu parah sadisnya.
Sementara untuk menjadi penulis, terlebih penulis yang berkualitas, butuh kerja keras. Otak mesti diencerkan dengan cara membaca buku-buku bermutu.
Dari mana buku-bukunya? Bisa dari mana saja. Bisa pinjam dari perpustakaan dan kolega yang baik hati. Akan tetapi, kalau hendak membaca buku baru ya mau tidak mau harus beli. Itu butuh duit 'kan?
Kalaupun berhasil membaca semua buku tanpa harus beli, penulis juga tetap butuh uang. Istilahnya, cuma untuk menyeruput secangkir kopi sachetan pun butuh uang. Iya toh?
Jadi, sungguh tidak adil bila ada media yang tidak memberikan honor kepada penulis. Memberikan honor dalam jumlah kurang layak saja sudah keterlaluan. Eh, apalagi sampai tidak memberi sama sekali.
Kuteringat pada seorang penulis senior yang pada akhirnya berhenti menulis dan membuka warung mie ayam demi mencukupi kebutuhan hidupnya. Terpaksa ia tinggalkan dunia tulis-menulis yang dicintainya.
Maksud hati tetap akan sambil menulis. Apa daya kesibukan mengelola warung membuatnya kehabisan energi untuk tetap menulis? Terlebih ia tak merasa menemukan "harapan baik" lagi sebagai penulis.
Beliau itu penulis kawakan. Telah menerbitkan sekian banyak buku. Laluuu, bagaimana denganku? *Cemas!*
Sebenarnya begini, lho. Lebih dari sekadar sebagai ongkos lelah, honor adalah sebentuk penghargaan. Tepatnya penghargaan sebab penulis telah berupaya keras menyajikan tulisan yang baik dan berguna.
Yang dalam arti luas, para penulis bekerja untuk mendidik masyarakat melalui kemampuan berliterasi mereka. Tentu sesuai porsi masing-masing.
Ekstremnya, kalau tidak ada lagi yang mau menjadi penulis gara-gara ketiadaan honor dan apresiasi positif, celakalah suatu bangsa. Ow! Mungkin pernyataanku ini terkesan lebay. Namun, sebenarnya ya memang begitu.
Mungkin kalian bertanya-tanya heran. Ini pemilik www.tinbejogja.com lama tak menayangkan tulisan kok tiba-tiba muncul dengan tulisan emosional begini? Muehehe ....
Maafkan daku bila datang-datang malah menyodorkan keresahan. Akan tetapi, kalian tak perlu suuzon bahwa diriku lama tak mengisi blog ini dan blog satunya ( Rak Buku Tinbe ) gara-gara ngambek tak mau nulis lagi.
Ketahuilah. Tulisan ini terinspirasi oleh status FB Mas Han Gagas tempo hari. Ia adalah seorang sastrawan. Kalau belum tahu banyak tentangnya, silakan berselancar saja. Oke?
Begini statusnya:
Tadi kami sumpah serapahi media/lembaga yg tidak ngasih honor bagi pemenang/penulis. Padahal media "besar". Penghargaan buat penulis nonsense di tangan kapitalis. Penulis tidak hanya butuh prestise/gengsi tapi juga makan dan kuota.
Banyak yang menanggapi postingan tersebut. Aku pun tergerak untuk ikut berkomentar. Berikut komentarku.
Aku mau berbagi pengalaman. Serupa, tetapi tak sama persis. Tahun lalu ada orang marketing sebuah usaha, menghubungi saya dan meminta saya menuliskan tentang usahanya itu di personal blog dan medsos.
Ujungnya pas saya menyampaikan fee yang saya minta, ia bilang, "Oh, bayar?" Parah dia. Sementara mendapatkan info tentang saya dari kolega dia dan koleganya itu pernah ngasih fee cukup buat saya (untuk job yang lebih ringan), kok dia maunya gratisan. Laaah produk jualannya aja dijual pakai dollar.
Akan tetapi, masih agak bisa dimaafkan sih ya pola pemikirannya gak mau bayar untuk tulisan begitu. Dia bukan orang literasi. Beda banget dengan media yang tak ngasih honor kepada para penulis.#malahtjurhat
Iya. Sepanjang itu komentarku. Jauh lebih panjang daripada postingan yang kukomentari. Nah. Bagaimana komentar kalian terhadap komentar tersebut? Setuju dengan absolut? Hahaha!
Kalau boleh makin jujur, sesungguhnya orang marketing yang memintaku untuk publikasi gratis atas produk jualannya pun keterlaluan. Itulah sebabnya kukatakan agak bisa dimaafkan. Jadi, tidak benar-benar bisa dimaafkan.
Enak saja maunya gratisan. Coba saja meminta sebuah media untuk mengekspose produknya. Apa iya bersedia nol cuan? Pastilah kalaupun tanpa cuan, ada kompensasi menguntungkan lainnya bagi media yang bersangkutan.
O, ya. Yang sedari tadi kubahas ini honor lho, ya. Bukan royalti buku. Kalau royalti buku, nanti beda lagi ketidakasyikannya buat penulis (baca: derita yang lain lagi bagi penulis). Hahaha!
Konyolnya, penulis yang bermasalah dengan honor begini adalah penulis yang tulisannya "bener". Yang hasil karyanya bermanfaat bagi umat manusia. Bukan yang model tulisan syur esek-esek bertabur adegan ranjang. Ironis sekali, bukan? *Di mana negara?*
Yo wislah. Sekian tulisan beraroma curhatan ini. Semoga tetap berfaedah dunia dan akhirat. Minimal bagi diriku sebagai penulisnya.
Silakan baca juga: Penulis Itu Wajib Bersabar.
Yuk, ah. Ngopi dulu agar lebih tenang menjalani tiap ujian yang berupa seretnya honor tulisan.
Sumber Gambar dari Internet |
Senin, 25 Maret 2019
Aku di Museum Benteng Vredeburg
![]() |
Promo buku teman di depan Museum Benteng Vredeburg |
Apa kabar lagi Sobat PIKIRAN POSITIF? Semoga pikiran positif senantiasa menyelimuti hari-hari kalian. Apa pun yang terjadi.
Kali ini aku kembali menyapa kalian dari salah satu destinasi wisata di Jogja. Yakni Museum Benteng Vredeburg. Nah, itu. Baru pada foto pembuka saja aku sudah narsis (meskipun dengan dalih mempromosikan buku teman).
Sampai di sini, kalian pasti langsung ngeh mengapa postingan ini kuberi judul "Aku di Museum Benteng Vredeburg". Iya. Sebab di sini, aku adalah pusat perhatian.
Tolong ingat baik-baik pemberitahuan tersebut, ya. Jangan sampai usai membaca postingan ini kalian protes keras, "Kok isinya foto penulis melulu?" Hehehe ....
![]() |
Syahdunya sore di halaman luar Vredeburg |
Lokasi Strategis, Tiketnya Murah
Tempat ini memang menjadi salah satu tempat favoritku. Terbukti dari masa ke masa, dari satu presiden ke presiden berikutnya, telah demikian kerap aku menyambanginya. Sampai-sampai aku tahu kalau meriam-meriam di halamannya telah beberapa kali berubah letak.
***Silakan baca juga Menakar Cinta kepada Jogja.***
Mungkin kalian bertanya-tanya, "Ada hubungan apa antara aku dan Museum Benteng Vredeburg?" Hmm. Sebenarnya sih, tak ada hubungan khusus di antara kami. Aku tak punya kenangan spesial di situ. Kukira, ini perkara takdir dan kemudahan akses semata.
Lokasi Museum Benteng Vredeburg memang strategis. Yakni di pojokan Titik Nol Jogja, di ujung selatan Jalan Malioboro. Tepat di seberang Gedung Agung. Jadi, aku mudah sekali untuk mengaksesnya. Kalau ingin mampir kapan pun tak perlu repot. Tinggal membelokkan langkah begitu saja. Seperti sore itu ....
![]() |
Tiket yang sangat murah |
Iya. Sore itu aku janjian dengan seorang teman. Janjian untuk serah terima buku karyanya. Dan, Titik Nol Jogja adalah lokasi yang kami pilih untuk ketemuan. Sekalian cuci mata dan sekalian bergaya ala wisatawan domestik. Haha!
Begitulah adanya. Mula-mula kami nongkrong di tepian jalan depan Vredeburg. Lalu, memutuskan pindah ke halaman luarnya. Setelah cekrak-cekrek sekian lama, kami kemudian berminat untuk membeli tiket masuk. Kepalang tanggung. Sekalian saja bernarsis ria di halaman dalam.
Sebagaimana terlihat pada foto, harga tiket masuknya sangat murah. Per satu orang dewasa Rp3.000,00 saja. Sementara untuk anak-anak hanya Rp2.000,00. O la la! Betapa murah meriah! Padahal, di dalamnya ada banyak pengetahuan sejarah yang bisa kita ambil. Daaan, ada banyak spot bagus untuk berfoto.
Megah, Indah, dan Luas
Aku paham. Idealnya berkunjung ke museum itu menelusuri koleksi-koleksi benda bersejarah. Yang tersimpan dan tersusun rapi di balik tembok-tembok kokoh museum. Pokoknya belajar sejarah dengan cara yang berbeda. Tak melulu dari buku dan penjelasan dari sang guru sejarah. Yang mungkin bagi sebagian dari kalian, tetap saja terasa kurang menarik.
Hmm. Baiklah, baiklah. Kalau pada dasarnya tidak berminat, museum yang koleksinya selengkap apa pun tetap saja tak menarik. Namun, tenang saja. Kalian tak perlu bete bila diajak ke Museum Benteng Vredeburg. Meskipun enggan menengok koleksi-koleksi bersejarahnya, kalian bakalan tetap mendapatkan sesuatu dari halamannya. Yakni udara segar ....
![]() |
Di halaman dalam (di belakangku itu adalah loket tiket masuk) |
![]() |
Di halaman dalam (aku menghadap loket tiket masuk) |
![]() |
Mula-mula jempol sama jempol |
![]() |
Lalu, aku yang menang .... |
Maka selain udara segar, serangkaian foto keren adalah hal lain yang bakalan kalian dapatkan. Bila berkunjung ke sini. Ke kompleks museum yang megah, indah, luas, dan bersejarah ini.
Jadi tatkala nongkrong di halaman Museum Benteng Vredeburg, terbangkanlah imajinasi ke masa kolonial. Bayangkanlah adanya pasukan-pasukan Belanda yang berbaris di tiap sudut halaman asrinya. Yang siap bertempur dengan bangsa kita. Hiks!
![]() |
Bayangkan bila ternyata ada tentara penjajah yang mengintaiku dari dalam gedung itu |
Pesanku satu. Kalian boleh saja narsis habis di tempat ini, boleh pula tak tuntas menengok koleksi-koleksi bersejarahnya, asalkan JAS MERAH. Jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Sebab bagaimanapun, kenarsisan kalian tersebut terkait dengan masa lalu bangsa kita. Jika dulu Benteng Vredeburg dibangun asal-asalan, kalian mungkin enggan menjadikannya sebagai latar berfoto. Iya 'kan?
Siapa yang Membangun Benteng Vredeburg?
Berdasarkan namanya, mungkin kalian menyangka bahwa Benteng Vredeburg dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda. Terlebih sejak awal berdirinya hingga sebelum kemerdekaan Indonesia, pihak Belandalah yang lebih banyak menguasainya. Namun ketahuilah, sebenarnya yang membangun Benteng Vredeburg adalah Sultan HB 1.
Inisiatif memang datang dari pihak Belanda. Namun andaikata beliau tak berkenan mengeluarkan perintah untuk membangunnya, niscaya Benteng Vredeburg tak pernah ada. Dan aku, tak bakalan pernah narsis di situ.
![]() |
Mari berlarian di lapangan ini .... |
![]() |
Yang ada merah-merahnya itu tempat ngopi (kafe) |
![]() |
Permadani terbang atau matras yoga? |
O, ya. Beberapa referensi yang kubaca menginformasikan bahwa Sultan HB 1 sebenarnya berat hati untuk membangun benteng tersebut. Mungkin penyebabnya, beliau mencium gelagat licik Belanda.
Saat meminta Sultan HB 1 untuk membangun benteng, Belanda beralasan demi keamanan kraton. Padahal alasan yang sebenarnya, supaya pihak Belanda bisa memantau "pergerakan" apa pun yang terjadi di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Itulah sebabnya Sultan HB 1 sengaja menunda-nunda pembangunan benteng.
Tatkala didesak untuk segera membangunnya, beliau berkilah. Menyatakan bahwa benteng akan dibangun setelah pembangunan kraton selesai total. Namun saat kraton telah beres, Sultan HB 1 masih saja ingin menunda. Maka beliau menambahinya dengan projek Pesanggrahan Taman Sari.
***Jika ingin tahu betapa indahnya kompleks Pesanggrahan Taman Sari, bisa dibaca kepingannya di Wisata Kamera di Pulo Kenanga ini.***
Hal-hal Misterius di Museum Benteng Vredeburg
Suatu ketika foto-foto narsis di Vredeburg kuposting di FB. Mayoritas temanku pun berkomentar, "Ingin berfoto di situ juga." Atau bertanya, "Lokasi fotonya di mana?" Yang tak terduga, seseorang berkomentar, "Saat di situ, ketemu yang aneh-aneh enggak?"
Yeah! Kiranya telah menjadi rahasia umum bahwa Vredeburg sedikit seram. Sebagaimana halnya bangunan tempo doeloe pada umumnya. Meskipun sekarang kondisinya diupayakan seceria mungkin, tetap saja nuansa seram itu tersisa. Terkhusus di spot-spot yang sepi dan tersembunyi.
***Pengalaman misteriusku di Museum Benteng Vredeburg bisa kalian baca di Aku dan Buku Sejarah Lokomotif Uap.***
![]() |
Aku merasa mata jendela ini menatapku tajam |
![]() |
Berharap tak ada yang mendorongku dari balik pintu |
Beruntunglah aku yang kurang peka dengan dunia lain. Aku 'kan penakut. Jadi kupikir, kepekaan dalam hal tersebut bakalan bikin runyam hidupku. Pastinya pula, aku tak akan sepercaya diri itu berpose di pintu dan jendela kayu itu. Haha!
Kebetulan teman jalanku kali ini sensitif terhadap hal begituan. Beberapa kali ia menolak ajakanku untuk berfoto di spot-spot tertentu. Salah satunya, ia tak mau kuajak ke bagian atas suatu bangunan. Alhasil, aku hanya berpose sedang menuruni tangga. Di bagian yang tak terlalu tinggi.
![]() |
Ada apa di atas? |
Semula kukira temanku capek. Tidak mau naik sebab sudah tak kuasa menahan lelah. Ternyata, oh, rupanya. Di kesempatan lain ia bercerita kalau merasakan kehadiran "sesuatu". Wah ....
Bangunan Awal yang Sederhana dan Perubahan Nama
Saat ini kompleks Museum Benteng Vredeburg demikian megah dan indah. Menyenangkan untuk dijadikan sebagai latar berfoto. Akan tetapi, kalian wajib tahu kalau dahulunya tempat ini sangatlah sederhana. Tidak sekeren sekarang. Yup! Benteng ini pada awalnya beratap ilalang, dindingnya berbahan tanah, serta tiang-tiangnya dari pohon kelapa dan aren.
Seiring berjalannya waktu, demi lebih terjaminnya keamanan, benteng pun dibikin lebih permanen. Lalu diberi nama Rustenburg, yang artinya 'peristirahatan". Namun, sayang sekali. Ketika gempa bumi hebat melanda Jogja, bangunan di kompleks Benteng Rustenburg banyak yang runtuh.
Mau tidak mau, renovasi besar-besaran kembali dilakukan. Yang hasilnya kurang lebih seperti yang kita saksikan saat ini. O, ya. Selain direnovasi fisiknya, benteng juga berganti nama. Dari Rustenburg (peristirahatan) menjadi Vredeburg (perdamaian). Adapun perdamaian yang dimaksud adalah perdamaian antara kraton dan pemerintah kolonial Belanda.
Status Kepemilikan
Sejak awal berdirinya, kompleks bangunan tempatku narsis ini memang dinamis. Baik dinamis model bangunannya, namanya, maupun status kepemilikannya. Nah! Karena dua poin pertama telah dibicarakan di atas, kini kita bisa bicarakan poin ketiga: status kepemilikan.
Jadi, siapa pemilik hati ini? Haha! Tenang, tenang. Mari kita kembali serius. Siapa pemilik Benteng Vredeburg yang sebenarnya?
Begini. Kalau bentengnya sih, dibangun di atas tanah milik kraton. Namun, pengelolaan benteng pada awal berdirinya ditangani oleh Belanda. Lalu seiring dengan dinamika situasi zaman, Inggris pun sempat mengelola benteng ini. Setelah Inggris terusir dari bumi pertiwi, pihak Belanda kembali mengelola Benteng Vredeburg.
Hingga akhirnya Jepang datang dan menjadi pengelolanya. Dan akhirnya saat kemerdekaan Indonesia diraih, Benteng Vredeburg diserahkan kembali kepada kraton. Akan tetapi, kraton kemudian menyerahkan pengelolaannya kepada pemerintah RI.
Tentu tidak serta-merta Benteng Vredeburg menjadi museum. Sebelum diresmikan menjadi museum pada tahun 1992, Benteng Vredeburg pernah memiliki aneka macam fungsi. Diantaranya menjadi tempat tahanan politik terkait peristiwa G 30 S/PKI.
Demikian sekelumit kisah mengenai Museum Benteng Vredeburg. Yang kebetulan kali ini menjadi latar tempat dari foto-fotoku. Tentu saja untuk tahu lebih detil tentang sejarahnya, kalian perlu membaca referensi-referensi dari sumber lain. Oke?
Baiklah. Sekian tulisanku ini. Aku sudah lelah mengetik. Sekarang izinkan aku membaca buku dulu, ya. Salam hangat dari Jogja.
![]() |
Asyik buat rehat sembari membaca buku |
MORAL CERITA:
Ayo berkunjung ke Museum Benteng Vredeburg di Jogja dan dapatkan udara segar di halamannya. Haha!
Jumat, 09 November 2018
Berkah Membaca Novel PERGI
Rindu mendatangkan rindu. Buku mendatangkan buku. Dan kamu, selalu kutunggu kedatanganmu .... Hohoho!
Iya. Beberapa waktu lalu aku memang tercatat sebagai salah satu pemenang dalam lomba resensi novel. Yakni novel Pergi karya Tere Liye, yang diterbitkan oleh Penerbit Republika. Memang bukan sebagai pemenang utama 1-2-3 yang mendapatkan uang tunai. Namun, efeknya tetap luar biasa bagiku.
Iya. Meskipun sesungguhnya iming-iming hadiah uang yang memotivasiku untuk ikut lomba, pada kenyataannya aku tetap gembira. Gembira karena apa? Karena dewan jurinya tertambat hati pada resensiku. Hmm. Bukankah selalu menyenangkan bila kita atau karya kita (apa pun wujudnya) sukses memikat hati seseorang/khalayak?
![]() |
Sepaket hadiah yang kuterima |
Sertifikat alias piagam penghargaan |
![]() |
Isi paketan yang tadi |
Sabtu, 20 Mei 2017
Ngobrolin Buku & Film di Gale Book Fair
![]() |
Mahfud Ikhwan, Marcella Zalianty, Irwan Bajang (ki-ka) dalam satu panggung |
![]() |
Buku-buku lawasan a.k.a. buku langka pun ikut dijual |
![]() |
Situasi Gale Book Fair 2017 dilihat dari beberapa lantai di atasnya (sepi peminat) |
![]() |
Poster ini yang bikin aku tergerak untuk datang ke Galeria Mall |
MORAL CERITA:
Selasa, 18 April 2017
Membaca + Minum Kopi = Berbahagia
Lalu, bagaimana dengan minum kopi? Yeah! Sejujurnya aku tak tahu, apakah minum kopi itu baik dan perlu? Kalau menurutku yang penikmat kopi, ya memang begitu. Entah kalau menurut Kang Armand Maulana .... #Halah
Senin, 10 April 2017
New BANGGA MENJADI IBU
![]() |
Apresiasi yang indah dan menyenangkan hatiku |
![]() |
Cuplikan kata pengantar dari Ibu Menteri Sosial RI |
![]() |
Apresiasi dari HTR, salah satu penulis favoritku |
Jumat, 20 Januari 2017
[Book Review] Ulid, Oh, Ulid
Spesifikasi bukunya ini, ya.
Penulis : Mahfud Ikhwan
Penerbit : Pustaka Ifada
Cetakan: Kedua, Februari 2016
Tebal : xxii + 538 halaman