Tampilkan postingan dengan label buku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label buku. Tampilkan semua postingan

Kamis, 20 Oktober 2022

Beri Aku Cerita yang Tak Biasa

0 komentar
HALO, Sobat PIKIRAN POSITIF? Ngomong-ngomong, pernah tahu buku Beri Aku Cerita yang Tak Biasa atau tidak? Yang kumpulan cerpen budaya filmis dari Elang Biru Ibu-Ibu Doyan Nulis itu, lho.

Bukunya didominasi warna biru muda. Di sampul depan ada gambar seorang perempuan berkebaya dan berkonde.  Kondenya dihiasi bunga merah berukuran besar. 

Iya, benar sekali. Yang peluncurannya secara resmi pada tanggal 21 Agustus 2022 di Auditorium Perpustakaan Nasional RI, bersama Elang Nuswantara.

Nah. Masih dalam rangkaian peluncuran Beri Aku Cerita yang Tak Biasa itu, pada tanggal 7 Oktober 2022 lalu Elang Biru - IIDN (Ibu-Ibu Doyan Nulis) menyelenggarakan webinar dengan topik "Menerbangkan Adikarya Nuswantara dalam Bingkai Cerita yang Tak Biasa".
 

Dokumentasi IIDN

 
Taburan Ilmu dan Hadiah 

Acara tersebut berlangsung secara daring melalui Zoom, dimulai pukul  19.00-21.00 WIB. Free alias gratis, tetapi bertabur ilmu dan hadiah. 

Seluruh peserta yang hadir, yang mengisi tautan presensi, diberi sertifikat. Kepada mereka diberikan pula potongan harga sebesar 10% untuk pembelian Beri Aku Cerita yang Tak Biasa hingga 15 Oktober 2022. Asyik 'kan?

Namun, rupanya ada yang lebih asyik. Tiap peserta berkesempatan mengikuti Instagram Challenge dan Kompetisi Liputan atas Webinar Elang Biru tersebut.
 

Dokumentasi IIDN

 
Hmm. Lihatlah. Hadiah untuk Kompetisi Liputan lumayan menggiurkan. Sejauh pengamatanku, IIDN memang selalu "serius" dalam memberikan apresiasi untuk kerja-kerja penulisan. 

Siapa saja ya nanti yang bakalan jadi pemenang? Hmm. Mari tunggulah dengan sabar dan tawakal. 

O, ya. Ada pula hadiah untuk penanya pertama yang berani open mic. Plus hadiah untuk tiga peserta yang dapat menjawab pertanyaan panitia penyelenggara. 

Nah 'kan? Sungguh-sungguh bertabur hadiah.

Tiga Srikandi Literasi

Webinar Elang Biru dari Ibu-Ibu Doyan Nulis ini dipandu oleh Mbak Novarty, seorang narablog yang kerap memenangkan lomba kepenulisan. 

Secara resmi acara dimulai dengan kumandang lagu kebangsaan "Indonesia Raya". Setelahnya langsung ke inti acara.

Sebagaimana yang tercantum pada poster di atas, yang menjadi narasumber Mbak Widyanti Yuliandari dan Mbak Kirana Kejora. Namun selain keduanya, ternyata masih ada satu narasumber lagi. 

Siapakah dia? Tak lain dan tak bukan, dialah Mbak Rahmi C. Mangi, seorang dokter gigi dari Makassar, salah satu cerpenis dalam antologi Beri Aku Cerita yang Tak Biasa.

Tiga perempuan hebat tersebut sukses menginspirasi semua peserta. Mereka pun luwes berbagi ilmu dan motivasi kepada hadirin. 

Mbak Widyanti Yuliandari, yang biasa disapa Mbak Wid, mendapat kesempatan pertama untuk berbagi. Beliau adalah  seorang ASN sekaligus narablog (blogger), penulis, mentor menulis, dan Ketua Umum IIDN. 

Malam itu beliau menyampaikan bahasan tentang Fiksi vs Nonfiksi. Yang kalau diringkas, beliau menyarankan agar hadirin tidak terlalu ketat melabeli diri sebagai penulis fiksi saja atau penulis nonfiksi saja. 

Dalam arti, kalau ada kesempatan untuk menulis di luar genre yang biasa kita pilih, why not? Mengapa tidak dicoba dulu saja? Bukankah itu sebentuk wahana untuk belajar menulis juga? Bisa jadi memang terasa berat, tetapi BISA.

Beliau bahkan telah membuktikannya langsung dalam proses kelahiran Beri Aku Cinta yang Tak Biasa. Luar biasa. 

Tak kusangka kalau Mbak Wid juga melalui jalan yang tak mulus untuk menyelesaikan cerpennya yang berjudul "Dari Taneyan Lanjang Menuju Wageningen". Kukira cuma aku yang kagok menulis fiksi karena terbiasa menulis nonfiksi.

O, ya. Sungguh menarik apa yang disampaikan Mbak Wid terkait antologi Elang Biru. Begini, "Beri Aku Cerita yang Tak Biasa adalah cara kami mensyukuri, menjaga, dan merayakan warisan budaya luhur Nusantara." 

Mendengar pernyataan tersebut, kuteringat cerpenku yang terdapat dalam antologi itu. Kemudian rasa tidak percaya diriku muncul ketika Mbak Wid bilang, "Teman-teman Elang Biru yang senantiasa saya cintai dan banggakan ..."

Apakah ... apakah aku layak dibanggakan? Tentu aku senang kalau memang layak. Entahlah. Namun yang pasti, aku sungguh bangga menjadi bagian dari Elang Biru.
 

Capture Youtube IIDN

Pada kesempatan selanjutnya, Mbak Kirana Kejora yang berbagi inspirasi dan motivasi. Writerpreneur dan Pendiri Elang Nuswantara yang akrab dipanggil Buk'e itu seperti biasa, tampil dengan semangat membara. Tiap kalimatnya menyebarkan energi positif ke mana-mana.

Kali ini yang kugarisbawahi, "Fiksi itu harus based on data. Pedenya kita based on data. Kita penulis yang periset. Pengkhayal yang punya data." 

Kemudian terkait kolaborasi dengan IIDN, Buk'e menyatakan, "Perempuan adalah amunisi terbesar bangsa ini untuk nguri-uri budaya. Ibu yang akan mendidik putra-putrinya. Entah itu biologis atau tidak, yang namanya ibu, emak, induk, akan merawat anaknya menjadi yang terbaik."

Wow! Tertohok sekali aku. Aku ini bagaimana sih, ya? Jadi penulis belum baik, jadi emak kok ya belum baik. Ckckck!

Baik, Mbak Wid, Buk'e, aku siap paksa diri untuk kembali banyak belajar, deh.
 

Capture Zoom
Capture Zoom


Setelah Buk'e Kirana Kejora, tampil Mbak Rahmi Aziz yang bernama pena Rahmi C. Mangi. Dalam antologi Elang Biru ini sumbangan cerpennya terkait budaya Bugis. Judulnya "Mappasikarawa Ati".

Dokter gigi yang satu ini memang memukau semangat berliterasinya. Menariknya, beliau juga menjadi kontributor yang paling banyak menjual buku. 

Saat ditanya strateginya, ternyata simpel saja, yaitu menjaga silaturahmi dengan teman-teman. Tidak menyapa hanya ketika hendak menjual buku.

Baiklah. Demikian ceritaku tentang webinar Elang Biru tempo hari. Amat menyenangkan dan memotivasi. Inspiratif.
 

Beri Aku Cerita yang Tak Biasa (Dokpri Agustina)

Pada akhirnya aku pun merasa wajib mengingat-ingat perkataan Buk'e berikut ini, "Saya punya misi Nusantara Bangkit lewat literasi."

Nah! 






Rabu, 22 Juni 2022

Berdaya Berkarya Bersama IIDN

5 komentar
APA kabar Sobat PIKIRAN POSITIF? Sedang sehat dan masih setia berpikiran positif 'kan? Syukurlah. Berarti siap menyimak kisah perjalanan saya untuk menjadi perempuan berdaya bersama IIDN, dong.
 
IIDN lho, ya. Dobel "I". Jangan sampai kurang satu. Jika kurang, pasti bakalan keliru dengan tetangga sebelah. Diingatnya mudah, kok. IIDN = Ibu Ibu Doyan Nulis. Yang berarti sekumpulan ibu. Bukan cuma satu ibu. 
 
Adapun ibu di sini mengacu pada makna yang lebih luas, yaitu perempuan. Perlu diketahui, IIDN adalah sebuah komunitas penulis. Sesuai dengan namanya, anggota IIDN memang terbatas kaum perempuan. 
 
Akan tetapi, status para anggotanya tak harus sudah menjadi ibu. Yang penting perempuan. Entah sudah menjadi ibu atau belum. Entah sudah berkeluarga atau belum. 
 
Dengan demikian, IIDN juga berstatus sebagai komunitas perempuan. Tepatnya komunitas perempuan yang anggota-anggotanya aktif menulis dan punya cita-cita menjadi penulis. 
 
Nah! Karena spesifikasinya di dunia kepenulisan itulah, saya yang dalam keseharian tak jauh-jauh dari dunia tersebut, akhirnya mantap memilih IIDN sebagai wahana berkomunitas. Sebelumnya saya tak pernah ikut komunitas apa pun. 
 
Praktis, IIDN menjadi komunitas pertama yang saya ikuti. Itu pun secara daring. Iya. Saya menemukan IIDN (pusat/nasional) di Facebook. Lalu, entah bagaimana kronologinya, saya bisa menemukan teman-teman dari IIDN Yogyakarta.  
 
Pastilah saya senang. Kalau sekota bisa lebih mudah untuk mengadakan pertemuan luring 'kan? Perkenalan sesama anggota pun bisa lebih intim dan nyata. 
 
Singkat cerita, pertemuan luring IIDN Yogyakarta betul-betul dapat saya hadiri. Tempatnya di sebuah desa di Sleman. Di rumah Mbak Astuti Rahayu, sang ketua IIDN Yogyakarta saat itu. 
 
Sungguh keajaiban saya bisa sampai ke situ. Sebagai pengguna transportasi umum, lokasi tersebut lumayan bertele-tele bin sulit untuk dijangkau. Kita tahu sama tahulah. Sistem transportasi publik di negeri ini seperti apa. Hehehe .... 
 
Entah siapa yang dahulu memberikan tumpangan kendaraan, saat pertama kali saya menghadiri pertemuan luring? Yang jelas ia sungguh berjasa telah menjadi pembuka jalan bagi saya, untuk aktif di IIDN hingga sekarang. 
 
Duh! Kok saya bisa betul-betul lupa, ya? Astagfirullah. Maaf bangeeet ya, Kawan.  
 
Namun, kiranya dapat dimaklumi kalau saya sampai lupa. Ceritanya, saya 'kan orang baru. Belum kenal, apalagi hafal, dengan para anggota lama. Pokoknya waktu itu fokus saya lebih ke "yang penting bisa sampai lokasi". Bukan "maunya ke lokasi barengan X atau Y". 
 
Jadi, begitu ada yang menawari tumpangan hingga ke lokasi, saya langsung tancap gas. Demikian kisah awal saya mengenal IIDN dan IIDN Yogyakarta. 
 
Selanjutnya bagaimana?
 
Alhamdulillah pertemuan luring pertama dilanjut pertemuan luring kedua yang istimewa. Betapa tidak istimewa kalau Teh Indari Mastuti, sang ketua umum IIDN pusat/nasional waktu itu, berkenan hadir di antara kami? 
 
Jauh-jauh dari Bandung ke pedalaman Sleman, lho. Sudah pasti sangat meriah suasana pertemuan tersebut. Para anggota IIDN dari seantero Yogyakarta dan sekitarnya hadir. Yaiyalah. Semua tak ingin melewatkan kesempatan untuk bertatap muka langsung dengan Teh Indari.  
 
Vibrasi beliau amat positif. Bisa membangkitkan semangat hadirin. Tak terbatas pada semangat menulis. tetapi juga semangat untuk melakukan apa saja yang bermanfaat dalam hidup.  
 
Itu yang saya rasakan! 
 
Itu pula yang sesungguhnya amat saya butuhkan tatkala itu.  
 
Iya. Sejujurnya saya bergabung dengan IIDN, baik yang nasional/pusat maupun yang regional Yogyakarta, memang demi mencari lingkungan yang kondusif. Dalam arti, yang bisa menjadi penyemangat untuk menulis. 
 
Bagi saya, semangat menulis yang senantiasa menyala-nyala hukumnya wajib ada. Mengapa? Sebab saya menulis dengan tujuan manusiawi* cari duit. Tak sekadar menyalurkan hobi atau demi eksistensi. 
 
Kalau sampai tak bersemangat untuk menulis, berarti tak bersemangat cari duit. 'Kan gawat? Mau minta uang kepada siapa? Sementara selalu menulis saja belum tentu tulisan saya berhasil jadi duit. 
 
Apesnya, tatanan hidup saya justru awut-awutan. Ruwetnya melebihi benang kusut. Penyebabnya faktor XYZ yang bersifat eksternal. Bukan berasal dari diri sendiri. Jadi, susah nian untuk sedikit dikendalikan. 
 
Tentu sangat mengganggu produktivitas menulis. Itulah sebabnya saya berusaha mencari lingkungan yang kondusif demi kelangsungan aktivitas kepenulisan. 
 
Syukurlah bermula dari suntikan motivasi dari Teh Indari tersebut, hingga usia IIDN mencapai 12 tahun sekarang ini, saya masih menjadikan IIDN sumber motivasi dalam menulis. 
 
 
Tart 12 Tahun dari IIDN Yogyakarta untuk IIDN/Dokpri

 
 
Iya. Sejujurnya begitu. Walaupun de facto saya tak begitu aktif sebagai anggota IIDN, diam-diam saya berusaha terus mengikuti perkembangannya. 

Demi apa? 
 
Tentu demi menjaga nyala semangat menulis. Agar saya bisa konsisten berkarya, semaksimal potensi yang saya punya. 
 
Meskipun faktanya ....  
 
Acap kali saya malah menjadi turun rasa percaya diri gara-gara menyaksikan perkembangan pesat teman-teman dalam bidang tulis-menulis. 
 
Aduh! Saya memang labil. Sudahlah labil, kurang percaya diri pula. Plus tak punya dukungan moril dari keluarga. Runyam.  
 
Makna Berdaya Berkarya Bersama IIDN Bagi Saya
 
Bila anggota lain memaknai berdaya dan berkarya bersama IIDN secara riil, betul-betul berkarya dan mengembangkan karier kepenulisan dengan IIDN, kiranya pemaknaan saya berbeda. Yup! Makna berdaya dan berkarya bersama IIDN, bagi saya lebih cenderung kepada spiritnya. Semangat yang menyengat saya untuk senantiasa berkarya!
 
O, ya. Terusterang saya menyadari bahwa status keanggotaan saya di IIDN tidak terlalu tampak. Bukan sebab sengaja menyembunyikannya, melainkan karena kurang aktif dalam kegiatan-kegiatannya. Kurang aktifnya pun bukan sebab malas, melainkan karena merasa kurang mumpuni. Saya tahu dirilah.
 
Namun, syukurlah. Beberapa tahun lalu saya yang remahan rengginang ini diajak IIDN Yogyakarta untuk terlibat dalam projek penerbitan buku Inspirasi Nama Bayi Islami Terpopuler.
 
Alhamdulillah.
 
 
Dokpri

Dokpri

 
 
Demikian kisah perjalanan saya menjadi perempuan berdaya bersama IIDN. Semoga berfaedah dan bisa menginspirasi. 
 
Terima kasih, IIDN.
 
Selamat menapaki usia yang ke-12! 
 
 
---
*Cari duit adalah tujuan manusiawi saya. Sementara di atasnya ada tujuan surgawi yang pastilah juga ingin saya gapai, yaitu menulis dengan niatan lillahi ta'ala dalam rangka beribadah dan memohon berkah kepada Allah SWT. 
 
 


Selasa, 25 Januari 2022

Penulis Tanpa Honor Itu Horor

18 komentar

HALO Sobat PIKIRAN POSITIF? Sedang bahagia dan tidak resah 'kan? Semoga memang begitu keadaan kalian. Hanya saja, saya mohon izin untuk bercerita tentang sesuatu yang mungkin berpotensi mereduksi ketenangan hidup kalian. Plus membuat ambyar pikiran positif kalian terhadap redaksi majalah dan koran.

Muehehehe .... Intro tulisan ini kok malah cenderung meresahkan, ya? Yeah! Apa boleh buat? Kali ini aku memang hendak berbagi cerita tentang satu hal yang bikin resah para penulis.

Jreng jreeeng jreeeeng! Hal apakah itu? Tak lain dan tak bukan, hal yang kumaksudkan adalah TIDAK ADANYA HONOR BAGI PENULIS.

Sadis toh? Akan makin terasa sadisnya, jika penulis yang tak menerima honor itu memang menjadikan aktivitas menulis sebagai cara mencari nafkah. Wah, wah, wah. Menjadi terlalu parah sadisnya.

Sementara untuk menjadi penulis, terlebih penulis yang berkualitas, butuh kerja keras. Otak mesti diencerkan dengan cara membaca buku-buku bermutu.

Dari mana buku-bukunya? Bisa dari mana saja. Bisa pinjam dari perpustakaan dan kolega yang baik hati. Akan tetapi, kalau hendak membaca buku baru ya mau tidak mau harus beli. Itu butuh duit 'kan?

Kalaupun berhasil membaca semua buku tanpa harus beli, penulis juga tetap butuh uang. Istilahnya, cuma untuk menyeruput secangkir kopi sachetan pun butuh uang. Iya toh?

Jadi, sungguh tidak adil bila ada media yang tidak memberikan honor kepada penulis. Memberikan honor dalam jumlah kurang layak saja sudah keterlaluan. Eh, apalagi sampai tidak memberi sama sekali.

Kuteringat pada seorang penulis senior yang pada akhirnya berhenti menulis dan membuka warung mie ayam demi mencukupi kebutuhan hidupnya. Terpaksa ia tinggalkan dunia tulis-menulis yang dicintainya.

Maksud hati tetap akan sambil menulis. Apa daya kesibukan mengelola warung membuatnya kehabisan energi untuk tetap menulis? Terlebih ia tak merasa menemukan "harapan baik" lagi sebagai penulis.

Beliau itu penulis kawakan. Telah menerbitkan sekian banyak buku.  Laluuu, bagaimana denganku? *Cemas!*

Sebenarnya begini, lho. Lebih dari sekadar sebagai ongkos lelah, honor adalah sebentuk penghargaan. Tepatnya penghargaan sebab penulis telah berupaya keras menyajikan tulisan yang baik dan berguna.

Yang dalam arti luas, para penulis bekerja untuk mendidik masyarakat melalui kemampuan berliterasi mereka. Tentu sesuai porsi masing-masing.

Ekstremnya, kalau tidak ada lagi yang mau menjadi penulis gara-gara ketiadaan honor dan apresiasi positif, celakalah suatu bangsa. Ow! Mungkin pernyataanku ini terkesan lebay. Namun, sebenarnya ya memang begitu.

Mungkin kalian bertanya-tanya heran. Ini pemilik www.tinbejogja.com lama tak menayangkan tulisan kok tiba-tiba muncul dengan tulisan emosional begini? Muehehe ....

Maafkan daku bila datang-datang malah menyodorkan keresahan. Akan tetapi, kalian tak perlu suuzon bahwa diriku lama tak mengisi blog ini dan blog satunya ( Rak Buku Tinbe ) gara-gara ngambek tak mau nulis lagi.

Ketahuilah. Tulisan ini terinspirasi oleh status FB Mas Han Gagas tempo hari. Ia adalah seorang sastrawan. Kalau belum tahu banyak tentangnya, silakan berselancar saja. Oke?

Begini statusnya:

Tadi kami sumpah serapahi media/lembaga yg tidak ngasih honor bagi pemenang/penulis. Padahal media "besar". Penghargaan buat penulis nonsense di tangan kapitalis. Penulis tidak hanya butuh prestise/gengsi tapi juga makan dan kuota.

Banyak yang menanggapi postingan tersebut. Aku pun tergerak untuk ikut berkomentar. Berikut komentarku.

Aku mau berbagi pengalaman. Serupa, tetapi tak sama persis. Tahun lalu ada orang marketing sebuah usaha, menghubungi saya dan meminta saya menuliskan tentang usahanya itu di personal blog dan medsos.

Ujungnya pas saya menyampaikan fee yang saya minta, ia bilang, "Oh, bayar?" Parah dia. Sementara mendapatkan info tentang saya dari kolega dia dan koleganya itu pernah ngasih fee cukup buat saya (untuk job yang lebih ringan), kok dia maunya gratisan. Laaah produk jualannya aja dijual pakai dollar.

Akan tetapi, masih agak bisa dimaafkan sih ya pola pemikirannya gak mau bayar untuk tulisan begitu. Dia bukan orang literasi. Beda banget dengan media yang tak ngasih honor kepada para penulis.#malahtjurhat

Iya. Sepanjang itu komentarku. Jauh lebih panjang daripada postingan yang kukomentari. Nah. Bagaimana komentar kalian terhadap komentar tersebut? Setuju dengan absolut? Hahaha! 

Kalau boleh makin jujur, sesungguhnya orang marketing yang memintaku untuk publikasi gratis atas produk jualannya pun keterlaluan. Itulah sebabnya kukatakan agak bisa dimaafkan. Jadi, tidak benar-benar bisa dimaafkan. 

Enak saja maunya gratisan. Coba saja meminta sebuah media untuk mengekspose produknya. Apa iya bersedia nol cuan? Pastilah kalaupun tanpa cuan, ada kompensasi menguntungkan lainnya bagi media yang bersangkutan.

O, ya. Yang sedari tadi kubahas ini honor lho, ya. Bukan royalti buku. Kalau royalti buku, nanti beda lagi ketidakasyikannya buat penulis (baca: derita yang lain lagi bagi penulis). Hahaha!

Konyolnya, penulis yang bermasalah dengan honor begini adalah penulis yang tulisannya "bener". Yang hasil karyanya bermanfaat bagi umat manusia. Bukan yang model tulisan syur esek-esek bertabur adegan ranjang. Ironis sekali, bukan? *Di mana negara?* 

Yo wislah. Sekian tulisan beraroma curhatan ini. Semoga tetap berfaedah dunia dan akhirat. Minimal bagi diriku sebagai penulisnya. 

Silakan baca juga: Penulis Itu Wajib Bersabar.

Yuk, ah. Ngopi dulu agar lebih tenang menjalani tiap ujian yang berupa seretnya honor tulisan. 


 

Sumber Gambar dari Internet


 

Senin, 25 Maret 2019

Aku di Museum Benteng Vredeburg

52 komentar

Promo buku teman di depan Museum Benteng Vredeburg


HAI, hai, hai ...

Apa kabar lagi Sobat PIKIRAN POSITIF? Semoga pikiran positif senantiasa menyelimuti hari-hari kalian. Apa pun yang terjadi.

Kali ini aku kembali menyapa kalian dari salah satu destinasi wisata di Jogja. Yakni Museum Benteng Vredeburg. Nah, itu. Baru pada foto pembuka saja aku sudah narsis (meskipun dengan dalih mempromosikan buku teman). 

Sampai di sini, kalian pasti langsung ngeh mengapa postingan ini kuberi judul "Aku di Museum Benteng Vredeburg". Iya. Sebab di sini, aku adalah pusat perhatian.

Tolong ingat baik-baik pemberitahuan tersebut, ya. Jangan sampai usai membaca postingan ini kalian protes keras, "Kok isinya foto penulis melulu?" Hehehe ....


Syahdunya sore di halaman luar Vredeburg


Lokasi Strategis, Tiketnya Murah

Tempat ini memang menjadi salah satu tempat favoritku. Terbukti dari masa ke masa, dari satu presiden ke presiden berikutnya, telah demikian kerap aku menyambanginya. Sampai-sampai aku tahu kalau meriam-meriam di halamannya telah beberapa kali berubah letak.

***Silakan baca juga Menakar Cinta kepada Jogja.***

Mungkin kalian bertanya-tanya, "Ada hubungan apa antara aku dan Museum Benteng Vredeburg?" Hmm. Sebenarnya sih, tak ada hubungan khusus di antara kami. Aku tak punya kenangan spesial di situ. Kukira, ini perkara takdir dan kemudahan akses semata.

Lokasi Museum Benteng Vredeburg memang strategis. Yakni di pojokan Titik Nol Jogja, di ujung selatan Jalan Malioboro. Tepat di seberang Gedung Agung. Jadi, aku mudah sekali untuk mengaksesnya. Kalau ingin mampir kapan pun tak perlu repot. Tinggal membelokkan langkah begitu saja. Seperti sore itu ....



Tiket yang sangat murah


Iya. Sore itu aku janjian dengan seorang teman. Janjian untuk serah terima buku karyanya. Dan, Titik Nol Jogja adalah lokasi yang kami pilih untuk ketemuan. Sekalian cuci mata dan sekalian bergaya ala wisatawan domestik. Haha!

Begitulah adanya. Mula-mula kami nongkrong di tepian jalan depan Vredeburg. Lalu, memutuskan pindah ke halaman luarnya. Setelah cekrak-cekrek sekian lama, kami kemudian berminat untuk membeli tiket masuk. Kepalang tanggung. Sekalian saja bernarsis ria di halaman dalam.

Sebagaimana terlihat pada foto, harga tiket masuknya sangat murah. Per satu orang dewasa Rp3.000,00 saja. Sementara untuk anak-anak hanya Rp2.000,00. O la la! Betapa murah meriah! Padahal, di dalamnya ada banyak pengetahuan sejarah yang bisa kita ambil. Daaan, ada banyak spot bagus untuk berfoto.

Megah, Indah, dan Luas 

Aku paham. Idealnya berkunjung ke museum itu menelusuri koleksi-koleksi benda bersejarah. Yang tersimpan dan tersusun rapi di balik tembok-tembok kokoh museum. Pokoknya belajar sejarah dengan cara yang berbeda. Tak melulu dari buku dan penjelasan dari sang guru sejarah. Yang mungkin bagi sebagian dari kalian, tetap saja terasa kurang menarik.

Hmm. Baiklah, baiklah. Kalau pada dasarnya tidak berminat, museum yang koleksinya selengkap apa pun tetap saja tak menarik. Namun, tenang saja. Kalian tak perlu bete bila diajak ke Museum Benteng Vredeburg. Meskipun enggan menengok koleksi-koleksi bersejarahnya, kalian bakalan tetap mendapatkan sesuatu dari halamannya. Yakni udara segar ....




Di halaman dalam (di belakangku itu adalah loket tiket masuk)


Di halaman dalam (aku menghadap loket tiket masuk)



Ketahuilah, duhai kawan-kawanku. Kompleks Museum Benteng Vredeburg itu sungguh luas. Halaman luar dan halaman dalamnya asri. Tanaman dan rerumputannya bikin adem. Membuat pengunjung betah berlama-lama nongkrong di situ. Patung-patungnya lumayan lucu. Bangunan-bangunannya pun sedap dipandang mata dan keren dibidik kamera.




Mula-mula jempol sama jempol

Lalu, aku yang menang ....


Maka selain udara segar, serangkaian foto keren adalah hal lain yang bakalan kalian dapatkan. Bila berkunjung ke sini. Ke kompleks museum yang megah, indah, luas, dan bersejarah ini.

Jadi tatkala nongkrong di halaman Museum Benteng Vredeburg, terbangkanlah imajinasi ke masa kolonial. Bayangkanlah adanya pasukan-pasukan Belanda yang berbaris di tiap sudut halaman asrinya. Yang siap bertempur dengan bangsa kita. Hiks!



Bayangkan bila ternyata ada tentara penjajah yang mengintaiku dari dalam gedung itu


Pesanku satu. Kalian boleh saja narsis habis di tempat ini, boleh pula tak tuntas menengok koleksi-koleksi bersejarahnya, asalkan JAS MERAH. Jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Sebab bagaimanapun, kenarsisan kalian tersebut terkait dengan masa lalu bangsa kita. Jika dulu Benteng Vredeburg dibangun asal-asalan, kalian mungkin enggan menjadikannya sebagai latar berfoto. Iya 'kan?

Siapa yang Membangun Benteng Vredeburg? 

Berdasarkan namanya, mungkin kalian menyangka bahwa Benteng Vredeburg dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda. Terlebih sejak awal berdirinya hingga sebelum kemerdekaan Indonesia, pihak Belandalah yang lebih banyak menguasainya. Namun ketahuilah, sebenarnya yang membangun Benteng Vredeburg adalah Sultan HB 1.

Inisiatif memang datang dari pihak Belanda. Namun andaikata beliau tak berkenan mengeluarkan perintah untuk membangunnya, niscaya Benteng Vredeburg tak pernah ada. Dan aku, tak bakalan pernah narsis di situ.




Mari berlarian di lapangan ini ....


Yang ada merah-merahnya itu tempat ngopi (kafe)


Permadani terbang atau matras yoga?



O, ya. Beberapa referensi yang kubaca menginformasikan bahwa Sultan HB 1 sebenarnya berat hati untuk membangun benteng tersebut. Mungkin penyebabnya, beliau mencium gelagat licik Belanda.

Saat meminta Sultan HB 1 untuk membangun benteng, Belanda beralasan demi keamanan kraton. Padahal alasan yang sebenarnya, supaya pihak Belanda bisa memantau "pergerakan" apa pun yang terjadi di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Itulah sebabnya Sultan HB 1 sengaja menunda-nunda pembangunan benteng.

Tatkala didesak untuk segera membangunnya, beliau berkilah. Menyatakan bahwa benteng akan dibangun setelah pembangunan kraton selesai total. Namun saat kraton  telah beres, Sultan HB 1 masih saja ingin menunda. Maka beliau menambahinya dengan projek Pesanggrahan Taman Sari.

***Jika ingin tahu betapa indahnya kompleks Pesanggrahan Taman Sari, bisa dibaca kepingannya di Wisata Kamera di Pulo Kenanga ini.***


Hal-hal Misterius di Museum Benteng Vredeburg 

Suatu ketika foto-foto narsis di Vredeburg kuposting di FB. Mayoritas temanku pun berkomentar, "Ingin berfoto di situ juga." Atau bertanya, "Lokasi fotonya di mana?" Yang tak terduga, seseorang berkomentar, "Saat di situ, ketemu yang aneh-aneh enggak?"

Yeah! Kiranya telah menjadi rahasia umum bahwa Vredeburg sedikit seram. Sebagaimana halnya bangunan tempo doeloe pada umumnya. Meskipun sekarang kondisinya diupayakan seceria mungkin, tetap saja nuansa seram itu tersisa. Terkhusus di spot-spot yang sepi dan tersembunyi.

***Pengalaman misteriusku di Museum Benteng Vredeburg bisa kalian baca di Aku dan Buku Sejarah Lokomotif Uap.***



Aku merasa mata jendela ini menatapku tajam

Berharap tak ada yang mendorongku dari balik pintu


Beruntunglah aku yang kurang peka dengan dunia lain. Aku 'kan penakut. Jadi kupikir, kepekaan dalam hal tersebut bakalan bikin runyam hidupku. Pastinya pula, aku tak akan sepercaya diri itu berpose di pintu dan jendela kayu itu. Haha!

Kebetulan teman jalanku kali ini sensitif terhadap hal begituan. Beberapa kali ia menolak ajakanku untuk berfoto di spot-spot tertentu. Salah satunya, ia tak mau kuajak ke bagian atas suatu bangunan. Alhasil, aku hanya berpose sedang menuruni tangga. Di bagian yang tak terlalu tinggi.




Ada apa di atas?


Semula kukira temanku capek. Tidak mau naik sebab sudah tak kuasa menahan lelah. Ternyata, oh, rupanya. Di kesempatan lain ia bercerita kalau merasakan kehadiran "sesuatu". Wah ....

Bangunan Awal yang Sederhana dan Perubahan Nama 

Saat ini kompleks Museum Benteng Vredeburg demikian megah dan indah. Menyenangkan untuk dijadikan sebagai latar berfoto. Akan tetapi, kalian wajib tahu kalau dahulunya tempat ini sangatlah sederhana. Tidak sekeren sekarang. Yup! Benteng ini pada awalnya beratap ilalang, dindingnya berbahan tanah, serta tiang-tiangnya dari pohon kelapa dan aren.

Seiring berjalannya waktu, demi lebih terjaminnya keamanan, benteng pun dibikin lebih permanen. Lalu diberi nama Rustenburg, yang artinya 'peristirahatan". Namun, sayang sekali. Ketika gempa bumi hebat melanda Jogja, bangunan di kompleks Benteng Rustenburg banyak yang runtuh.

Mau tidak mau, renovasi besar-besaran kembali dilakukan. Yang hasilnya kurang lebih seperti yang kita saksikan saat ini. O, ya. Selain direnovasi fisiknya, benteng juga berganti nama.  Dari Rustenburg (peristirahatan) menjadi Vredeburg (perdamaian). Adapun perdamaian yang dimaksud adalah perdamaian antara kraton dan pemerintah kolonial Belanda.

Status Kepemilikan

Sejak awal berdirinya, kompleks bangunan tempatku narsis ini memang dinamis. Baik dinamis model bangunannya, namanya, maupun status kepemilikannya. Nah! Karena dua poin pertama telah dibicarakan di atas, kini kita bisa bicarakan poin ketiga: status kepemilikan.

Jadi, siapa pemilik hati ini? Haha! Tenang, tenang. Mari kita kembali serius. Siapa pemilik Benteng Vredeburg yang sebenarnya?

Begini. Kalau bentengnya sih, dibangun di atas tanah milik kraton. Namun, pengelolaan benteng pada awal berdirinya ditangani oleh Belanda. Lalu seiring dengan dinamika situasi zaman, Inggris pun sempat mengelola benteng ini. Setelah Inggris terusir dari bumi pertiwi, pihak Belanda kembali mengelola Benteng Vredeburg.

Hingga akhirnya Jepang datang dan menjadi pengelolanya. Dan akhirnya saat kemerdekaan Indonesia diraih, Benteng Vredeburg diserahkan kembali kepada kraton. Akan tetapi, kraton kemudian menyerahkan pengelolaannya kepada pemerintah RI.

Tentu tidak serta-merta Benteng Vredeburg menjadi museum. Sebelum diresmikan menjadi museum pada tahun 1992, Benteng Vredeburg pernah memiliki aneka macam fungsi. Diantaranya menjadi tempat tahanan politik terkait peristiwa G 30 S/PKI.

Demikian sekelumit kisah mengenai Museum Benteng Vredeburg. Yang kebetulan kali ini menjadi latar tempat dari foto-fotoku. Tentu saja untuk tahu lebih detil tentang sejarahnya, kalian perlu membaca referensi-referensi dari sumber lain. Oke?      

Baiklah. Sekian tulisanku ini. Aku sudah lelah mengetik. Sekarang izinkan aku membaca buku dulu, ya. Salam hangat dari Jogja.
 


Asyik buat rehat sembari membaca buku





MORAL CERITA:
Ayo berkunjung ke Museum Benteng Vredeburg di Jogja dan dapatkan udara segar di halamannya. Haha!








Jumat, 09 November 2018

Berkah Membaca Novel PERGI

8 komentar
Rindu mendatangkan rindu. Buku mendatangkan buku. Dan kamu, selalu kutunggu kedatanganmu .... Hohoho! 

ALHAMDULILLAH. Begitu paket dari Penerbit Republika kuterima, berarti sah sudah statusku. Status? Yoiiii. Status sebagai peresensi pilihan maksudnya. Bukan status yang lain-lain ituuuh.

Iya. Beberapa waktu lalu aku memang tercatat sebagai salah satu pemenang dalam lomba resensi novel. Yakni novel Pergi karya Tere Liye, yang diterbitkan oleh Penerbit Republika. Memang bukan sebagai pemenang utama 1-2-3 yang mendapatkan uang tunai. Namun, efeknya tetap luar biasa bagiku.

Iya. Meskipun sesungguhnya iming-iming hadiah uang yang memotivasiku untuk ikut lomba, pada kenyataannya aku tetap gembira. Gembira karena apa? Karena dewan jurinya tertambat hati pada resensiku. Hmm. Bukankah selalu menyenangkan bila kita atau karya kita (apa pun wujudnya) sukses memikat hati seseorang/khalayak?


Sepaket hadiah yang kuterima 


Sebenarnya sih, kabar gembira ini kugenggam sekitar dua bulan silam. Tapi baru sekaranglah aku ditakdirkan untuk mempostingnya. Di sini. Di blog kesayangan kalian iniiih. Insya Allah bukan untuk riya', melainkan untuk menginspirasi dan memotivasi. Tapi andaikata kalian keukeuh menganggapku pamer, ya apa boleh buat? Yeah, bolehlah boleh. Haha! 

Hanya saja wajib dicatat, pamernya pamer yang bermisi mulia. Yakni misi literasi. Subhanallah. 

Tepatnya dan tegasnya begini, lho. Melalui postingan ini, aku ingin mengajak kalian untuk gemar membaca buku. Sebab terbukti, membaca buku itu banyak faedahnya. Faedah yang paling besar ya bikin pintar dan memperluas wawasan berpikir. Keren 'kan? Bahkan seperti yang kualami dengan novel Pergi, membaca buku pun bisa mendatangkan laba materiil. Heh? Benarkah? Benar, dong. Masak hoax? Hehehe  .... 

Buktinya, gara-gara membaca Pergi, aku bisa ikut lomba meresensinya. Dan Alhamdulillah, pada akhirnya bisa mendapatkan kaus dan beberapa buku. Selain itu, ada pula sertifikat alias piagam penghargaan. Nah, nah. Bukankah semua itu merupakan bukti bahwa membaca buku memang berfaedah? Juga mendatangkan berkah? 

Jadi jangan lupa membaca buku, ya. Sesibuk apa pun harimu. Separah apa pun rindumu. Haha! 

MORAL CERITA: 
Selalu bersemangatlah untuk membaca buku.


Sertifikat alias piagam penghargaan 

Isi paketan yang tadi 

Sabtu, 20 Mei 2017

Ngobrolin Buku & Film di Gale Book Fair

0 komentar
Mahfud Ikhwan, Marcella Zalianty, Irwan Bajang (ki-ka) dalam satu panggung

 
TELAH beberapa kali aku gagal menghadiri acara yang dibintangi oleh Mahfud Ikhwan. Namun Alhamdulillah, takdirku sore lalu adalah berjumpa dengannya. Akhirnya! Bahkan tak tanggung-tanggung, pertemuan tersebut berbonus pertemuan dengan dua pesohor lainnya. Maksudku selain dengan Mahfud, aku pun berjumpa dengan Marcella Zalianty dan Irwan Bajang.

Siapa mereka? Ketiganya adalah orang-orang yang sebelumnya sebatas kudengar nama. Belum pernah kujumpai secara langsung. Mahfud Ikhwan adalah sastrawan yang karya-karyanya keren habis. Marcella Zalianty adalah artis yang kini merupakan Ketua Parfi '56. Lalu, Irwan Bajang adalah penulis yang sekaligus pemilik Indie Book Corner. 

Jadi, ceritanya begini. Mahfud dan Marcella manggung, mengobrolkan buku dan film, dengan dimoderatori Irwan Bajang. Rencananya sih memperbincangkan panjang lebar perihal buku dan film. Mengenai proses sebuah buku yang bisa menjadi sebuah film. Dan, hal-hal terkait lainnya. Sungguh! Itu merupakan tema yang sedang amat menjadi minatku. Namun, apa daya? Kemoloran jadwal acara bikin segalanya berantakan. 

Dijadwalkan mereka manggung pada pukul 14.00 WIB. Faktanya, pukul 17.00 WIB Marcella baru nongol. Konon terjebak macet dalam perjalanan dari Magelang. Alhasil, tidak tuntaslah obrolan yang berlangsung. Apa yang kucari tidak kudapatkan. Tapi kehadiranku ke situ tidak sia-sia banget, kok. Tetap ada hikmahnya. Paling tidak, aku bisa berfoto bareng Mahfud. Haha! Selain itu, aku jadi paham penyebab musnahnya bioskop-bioskop kecil di kota-kota kecil.

O, ya. Mahfud dan Marcella tampil di panggung Gale Book Fair 2017. Sesuai dengan nama acaranya, pameran buku itu berlangsung di Galeria Mall, Jogja. Tumben memang Galeria Mall punya gawe begini. Apalagi gawe-nya berupa pameran buku dan diskusi terkait buku.  



Buku-buku lawasan a.k.a. buku langka pun ikut dijual

Situasi Gale Book Fair 2017 dilihat dari beberapa lantai di atasnya (sepi peminat)
 
 
Terlepas dari segala kekurangannya, aku rela angkat topi untuk penyelenggara. Menurut pengamatanku, selama 3 jam nongkrong di situ, Gale Book Fair 2017 itu sepi peminat. Maka--tentunya--laba besar adalah sesuatu yang nyaris jadi obsesi. Entahlah apa penyebab kesepian tersebut. Mungkin karena tidak gencarnya promosi? Atau memang pada dasarnya, para pengunjung mal pada umumnya tidak doyan buku? Entahlah.


Poster ini yang bikin aku tergerak untuk datang ke Galeria Mall

MORAL CERITA:
Ternyata, hanya acara serupa itu yang dapat menarik langkahku ke mal. Asal tahu saja, ini adalah kunjunganku yang kedua ke Galeria Mall. Kunjungan pertamaku sudah belasan tahun silam.


 


Selasa, 18 April 2017

Membaca + Minum Kopi = Berbahagia

0 komentar
YUP! Membacalah sembari menyeruput kopi. Maka engkau akan berbahagia. Wow. W-O-W! Rumusan apa itu? Kok menyenangkan begitu? Haha! Memang menyenangkan .... 

Tahukah Anda  bahwa ada sebuah novel yang berjudul Happy People Read and Drink Coffee? Penulisnya Agnes Martin-Lugand. Kalau belum tahu, sekarang sudah tahu 'kan. Baru saja tahu dari membaca paragraf ini. Hihihi .... 

Terjemahan bebas dari Happy People Read and Drink Coffee itu kurang lebihnya begini: Orang-orang yang berbahagia adalah para pembaca dan peminum kopi. Wuih! Dan, aku selalu tertawa-tawa sendiri tatkala mendengar (membaca) kalimat tersebut.

Tentu saja aku tertawa-tawa. Lha wong faktanya, aku (merasa) memenuhi dua kriteria bahagia yang dimaksudkan. Orang bahagia itu wajar kalau tertawa-tawa 'kan? Haha! 

Menurutku, judul novel tersebut provokatif. Tapi provokatif yang positif. Bukankah membaca buku merupakan kebiasaan positif?

Lalu, bagaimana dengan minum kopi? Yeah! Sejujurnya aku tak tahu, apakah minum kopi itu baik dan perlu? Kalau menurutku yang penikmat kopi, ya memang begitu. Entah kalau menurut Kang Armand Maulana .... #Halah  

Sudahlah. Tak perlu dipikirkan terlampau dalam, deh. Nanti malah pusing tujuh keliling. Sudah, ya. Aku mau menyeruput kopiku dulu. Lalu, melanjutkan membaca buku. Hmm. Aku 'kan ingin menjadi bagian dari happy people. Tidak inginkah Anda menjadi bagian dari orang-orang yang berbahagia tersebut?

MORAL CERITA:
Selalu ada kopi dan buku di kehidupan kita.




Senin, 10 April 2017

New BANGGA MENJADI IBU

0 komentar

Apresiasi yang indah dan menyenangkan hatiku

BETAPA senangnya hatiku tatkala menerima ucapan terima kasih di atas. Betapa tidak? Diri ini merasa sangat diapresiasi gitu, lho. Terlepas dari seberapa besar rupiah yang kudapatkan, sebuah apresiasi tetaplah sangat bermakna. Apalagi bagiku yang hampir tak pernah menerima apresiasi. Duh, duh. Pilu amat hidupku, ya? Sudahlah. Stop bicara tentang pilu sampai di sini. Virus baper yang datang bisa menjadi-jadi bila diteruskan. Haha! 

Baiklah. Mari balik ke topik perbincangan semula. Begini, ya. Kiriman ucapan selamat itu datang dari Bitread. Langsung dikirim ke kontak WA-ku. Maka wajar dong, kalau diriku merasa cukup dihargai. Eit! Ini bukan soal aku gila penghargaan lho, ya. Hehehe ....

Begitulah adanya. Ternyata bertepatan dengan momentum Hari Kartini 2017, Bangga Menjadi Ibu dicetak ulang. Dan serunya, pada edisi cetak ulang itu ada tambahan istimewa. Yakni adanya  kata pengantar dari Ibu Khofifah Indar Parawansa, Menteri Sosial RI. Alhamdulillah. Berarti tulisanku kemungkinan besar beliau baca juga, dong.

Cuplikan kata pengantar dari Ibu Menteri Sosial RI

Selain diapresiasi oleh Menteri Sosial RI, Bangga Menjadi Ibu juga diapresiasi oleh seorang sastrawan cantik. Siapakah beliau itu? Tak lain dan tak bukan, beliau adalah Helvy Tiana Rosa. Nih lihat buktinya.

Apresiasi dari HTR, salah satu penulis favoritku
 
Mencermati data-data di atas, maka wajar bila aku merasa bangga dan sedikit tersanjung. Aku terharu! Rasanya aku pun makin mampu menerima kekuranghebatan Adiba, si bidadari jail kebanggaanku. Yeah! Ungkapan perasaanku tentangnya itulah yang menjadi tiket bagiku untuk terlibat dalam buku ini.

O, ya. Dulu buku antologi ini pun sudah kuulas di blog yang sama (yaitu blog ini). Silakan klik di sini jika Anda ingin membacanya. Oke?

MORAL CERITA:
Ternyata buku ini sarat makna bagiku.



Jumat, 20 Januari 2017

[Book Review] Ulid, Oh, Ulid

7 komentar
SATU kata untuk novel tebal ini: dahsyat. Yup! Betul-betul dahsyat. Aku tidak jualan kecap belaka, lho. Kenyataannya Ulid memang begitu. Di mana letak kedahsyatannya? Tentu di dalam tema dan gaya penceritaannya. Kalimat-kalimatnya bertenaga dan menggelitik saraf tawa. Serius, bermuatan data yang valid, tapi sekaligus membuat kita tetiba senyum-senyum geli.

Novel ini boleh dibilang mengkritisi situasi sosial ekonomi masyarakat Indonesia. Terkhusus masyarakat pedesaan yang warganya banyak merantau ke Malaysia. Seperti halnya para tetangga Ulid di Desa Lerok. Termasuk orang tua Ulid, bahkan akhirnya Ulid sendiri. Yang mana mereka ramai-ramai merantau sebab satu tujuan. Yakni ingin mencari penghidupan yang jauh lebih baik. Meskipun faktanya, tak semua perantau itu pulang dengan membawa kesuksesan (baca: uang banyak).

Ulid memang menyuguhkan fakta yang memiriskan hati. Sebegitunya mereka meninggalkan desa. Dan, rela menjadi buruh di negara orang. Hanya demi segunung ringgit. Tapi tentunya, orang-orang desa itu tidak dapat dipersalahkan begitu saja. Kalau negara tak mampu menyediakan penghidupan layak bagi mereka di desa, apa boleh buat? Perantauan itu 'kan hanya salah satu solusi yang mereka temukan.

Singkat kata, novel ini super keren. Keren sebab telah berhasil “menggugat” dengan cermat dan lembut; sekaligus “menguliti” dengan cara yang senatural mungkin. Percayalah. Anda akan bertambah wawasan dengan membaca Ulid. Bila Anda sejak lahir jadi orang kota tulen, Ulid  menawarkan eksotisme kehidupan desa. Jika Anda wong ndeso murni, Ulid menawarkan nostalgila (bukan sekadar nostalgia). Aih....




Untuk melengkapi wawasan Anda mengenai novel ini, silakan baca juga catatanku Tentang Ulid, ya. Hmm. Sebetulnya bukan wawasan yang gimana-gimana, sih. Tapi yang merupakan sisi lainnya. Yang ringan-ringan begitu. Jangan lupa baca pula [Book Review] Ulid Tak Ingin ke Malaysia di blog Rak Buku Tinbe.

Spesifikasi bukunya ini, ya.
Judul      : ULID Sebuah Novel
Penulis   : Mahfud Ikhwan
Penerbit : Pustaka Ifada
Cetakan: Kedua, Februari 2016
Tebal     : xxii + 538 halaman



 

PIKIRAN POSITIF Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template