Selasa, 30 Januari 2018

Candi Pawon

8 komentar
HALO lagi ....

Masih belum bosan kuajak berwisata candi 'kan? Pasti belum, dong. Meskipun yang menjadi objek wisatanya berupa sesuatu yang zadoel punya, kadar keasyikannya tetap maksimal 'kan? 

Seperti yang tempo hari kukatakan dalam "Kutunggu di Bawah Pohon Bodhi". Berwisata candi itu toh bisa seru juga. Tentu bila tahu cara menikmatinya. Kalau tidak tahu ya bisa sangat membosankan.

Yang dimaksud tahu cara menikmatinya adalah paham sejarahnya. Sebab tanpa pemahaman terhadap sejarah yang tersimpan di baliknya, mengunjungi candi bagaikan melihat-lihat seonggok batu saja. Atau, sekadar narsis seperti aku ini .... *Tapi syukurlah aku tak sekadar narsis*


Sebab pengunjungnya amat minimal, aku bebas narsis tanpa gangguan di Candi Pawon ini


Mengapa Aku ke Candi Pawon?

Aku dan rombongan mengunjungi Candi Pawon sebab jadwalnya memang mesti begitu. Hehehe .... Adapun jadwalnya dibikin begitu karena Candi Pawon merupakan satu rangkaian dengan Candi Mendut. Jaraknya pun amat dekat. Kurang lebih 1 kilometer saja.

Lagi pula dalam perjalanan menuju destinasi ketiga, kami melewatinya. Sudah lewat kok tidak mampir sekalian. Toh untuk mampir tak butuh waktu lama. Selain karena kompleks candinya tak luas, area parkirnya pun tak jauh dari candi. Ibarat si candi itu rumah, area parkirnya ya cuma di halaman depan begitu. 

Sedikit reruntuhan yang teronggok di pojok halaman Candi Pawon


Mengapa Dinamai Pawon?

Konon candi kecil ini dinamai pawon sebab sesuai dengan peruntukannya. Yakni untuk menyimpan abu jenazah Raja Indra, yang merupakan salah satu raja dari Dinasti Syailendra. Para sejarawan pun memiliki pendapat yang senada.

O, ya. Kata "pawon" berasal dari bahasa Jawa yang artinya 'dapur'. Dan, kata "pawon" tersebut merupakan turunan dari kata "pawuan" yang artinya 'perabuan'. Nah! Sementara kata "pawuan" itu diambil dari kata dasar "awu" yang artinya 'abu'.

 
Abu jenazah Raja Indra mestinya tersimpan di dalam Candi Pawon ini

Tangan-tangan jahil pun membuat isi candi tak lagi seperti aslinya


Sesuai dengan namanya, Candi Pawon ini mestinya berfungsi sebagai penyimpan abu jenazah Raja Indra. Namun faktanya, sekarang abu tersebut tak ada lagi di situ. Kata Mas Guide entah di mana keberadaannya. Demikian pula beberapa patung dan ornamen candi yang raib entah ke mana.

Dicuri adalah kemungkinan paling logis. Dicuri? Untuk apa? Untuk dijual, dong. Kalau dijual 'kan harganya bisa sangat mahal. Terlepas dari moralitasnya, seorang kolektor benda seni dan antik yang berduit melimpah tentu mau-mau saja membelinya. Huft! Miris memang.


Mirip Candi Borobudur dan Candi Mendut

Karena sama-sama merupakan candi bercorak Budha, pendirinya pun dari dinasti yang sama, Candi Pawon sungguh mirip dengan kedua candi tersebut. Hanya saja, Candi Pawon berukuran paling kecil. Lebih kecil daripada Candi Mendut.

Itulah sebabnya arsitektur dan relief Candi Pawon mirip sekali dengan Candi Mendut dan Candi Borobudur. Kita lihat, yuk ....


Salah satu relief yang terdapat pada dinding bagian luar candi

Relief ini tak sempurna lagi ....

Meskipun sulit memahami makna dari relief-relief tersebut, aku tetap merasa bangga. Bukan bangga sebab kelemotan otakku dalam memahami penjelasan Mas Guide, lho. Perasaan bangga itu kutujukan kepada nenek moyang kita. Yakni nenek moyang yang telah mewariskan sekian banyak peninggalan bersejarah ini.

Duh! Betapa mereka telah berpikir mendetil untuk semuanya? Untuk membangun candi-candi beserta segala lekuk liku yang super keren itu. Sudahlah. Pokoknya T.O.P-B.G.T.


Betapa tidak top banget kalau soal jari kaki saja sudah dibikin detil, persis kaki kita sekarang
 

Maka aku gemes-gemes gimanaa kalau ada yang berpikiran negatif terhadap patung dan candi terkait keyakinan. Bukan gimana-gimana, sih. Hanya saja menurutku, ranah pembahasannya berbeda. Maka sebetulnya, tak perlu ada pro dan kontra serupa itu.  *Maaf, kebawa emosi*

Masih Sepi Pengunjung

Sebenarnya tidak sulit untuk menemukan lokasi Candi Pawon. Lokasinya 'kan berada di antara Candi Mendut dan Candi Borobudur. Kalaupun Anda tersesat, tanya orang sekitar pasti tahu. Namun entah mengapa, pengunjungnya sedikit. Mungkin rata-rata wisatawan terlalu fokus pada Candi Borobudur. Jadi, candi ini sekadar dilewati.

Padahal, harga tiketnya murah meriah. Lingkungan sekitar candi juga kondusif untuk wisatawan. Tersedia area parkir yang naik. Ada pula andong-andong wisata yang bisa kita sewa. Penjual souvenirnya pun ada.

Entahlah. Kuduga kalau promosinya dipergencar, tentu bakalan bisa mendongkrak jumlah pengunjung. Hmm. Semoga saja begitu.

Jadi, kapan Anda akan singgah di Candi Pawon ini?


MORAL CERITA:
Ternyata kita masih acap kali lalai untuk menjaga warisan budaya. Dan, Candi Pawon adalah salah satu korban kelalaian kita itu.





Jumat, 26 Januari 2018

Dedikasi Yu Hadi Gudheg

2 komentar

Yu Hadi dan seorang pelanggannya


SELEPAS Subuh, Yu Hadi sang penjual gudheg sudah mulai menggelar jualannya di Kampung Kauman Ngupasan Yogyakarta. Tepatnya di depan mushola bersejarah, yaitu Mushola Aisyiyah. #Insya Allah lain kali aku ceritakan mengenai Mushola Aisyiyah yang bersejarah ini.

Sudah pasti setelahnya, Yu Hadi kemudian disibukkan dengan aktivitas melayani para pembeli. Baik pembeli yang dari Kauman sendiri maupun yang berdatangan dari luar Kauman. Jangan salah. Meskipun lapaknya sesederhana itu, omzet Yu Hadi terbilang besar. 

Dengan mata kepala sendiri, aku kerap kali melihatnya sibuk menyiapkan pesanan nasi kotak. Tentu dengan menu gudheg. Sementara pada waktu yang lainnya, ia tampak sibuk melayani konsumen yang memborong gudhegnya. Konsumen yang model begini biasanya meminta besek dari bambu sebagai pembungkus gudheg. Biasanya hendak dibawa keluar kota. Dijadikan sebagai oleh-oleh.

Hingga kurang lebih pada pukul 10.00 WIB, Yu Hadi pun berkemas pulang sebab jualannya licin tandas. Tiap hari begitu. Kecuali tatkala sakit atau punya acara, barulah Yu Hadi libur jualan. Yeah! Begitulah adanya. Tak peduli terik dan hujan, ia senantiasa berjualan.

Dan, hal itu telah berlangsung puluhan tahun lamanya. Jauuuh sebelum aku tinggal Kauman. Alhasil, Yu Hadi adalah saksi sejarah dinamika kampung tersebut. Baik disadari olehnya maupun tidak, Yu Hadi ini bahkan menjadi pelengkap kenangan bagi banyak tokoh yang lahir dan besar di Kauman. Pak Munichy B. Edrees salah satunya.

Saat menjadi ustaz di pengajian RW, Pak Munichy sempat bercerita kalau pernah dimarahi Yu Hadi. Duluuu sekali. Ketika beliau masih berusia 5 tahun. Gara-garanya bersin tepat di depan baskom gudheg Yu Hadi. Padahal, tatkala itu Yu Hadi baru saja membuka lapak dan gudheg masih menggunung. Haha! Pantas saja kalau dimarahi. 'Kan gawat kalau ada ingus yang ikut menyemprot ke gunungan gudheg.  

Pahlawan Pangan
Menurutku, Yu Hadi juga layak disebut sebagai Pahlawan Pangan. Coba bayangkan. Berapa generasi anak sekolah dan mahasiswa yang tertolong sarapannya oleh gudheg Yu Hadi? Sebab seporsi gudheg Yu Hadi, mereka bisa lebih berkonsentrasi saat belajar di sekolah/kampus. Tuh 'kan, memang keren.

Lalu, karena beberapa orang nitip jualan berupa kue pukis-susu kedelai-martabak-risoles di lapaknya, kupikir ia pun layak disebut sebagai Pahlawan Ekonomi Keluarga. Yup! Bukankah dengan begitu ia berjasa menolong dapur orang lain agar tetap mengebul? 

Sudahlah. Yu Hadi itu sesungguhnya bisa disebut pahlawan. Dengan caranya sendiri, ia ternyata mampu meneladani perjuangan Kartini 'kan? Kalau masih hidup dan berkesempatan singgah di lapak gudheg Yu Hadi, Kartini pasti akan menepuk-nepuk pundak Yu Hadi. Tentu untuk menyatakan salut atas kebermanfaatannya bagi sesama. Lewat dedikasinya berjualan gudheg!


MORAL CERITA:
Menjadi pahlawan itu tak selalu melalui cara-cara yang menghebohkan dunia. Sebab sejatinya, seorang pahlawan adalah sepi ing pamrih rame ing gawe.



Selasa, 23 Januari 2018

Vihara Budha Mendut

8 komentar
BEBERAPA waktu lalu aku bercerita bahwa kunjungan ke Candi Mendut itu berbonus ganda. Bonus pertamanya, sebagaimana telah kukisahkan di "Kutunggu di Bawah Pohon Bodhi", berupa main-main gelantungan di Pohon Bodhi. Adapun bonus keduanya berupa eksplorasi Vihara Budha Mendut. Asyiknya, kita tak sekadar boleh mengeksplorasi halaman vihara. Kalau ingin masuk ke ruang pemujaan diperbolehkan juga, kok. 

Kita bebas masuk ke dalam ruangan pemujaan ini asalkan bersedia memenuhi syarat dan ketentuannya

Mungkin Anda bertanya-tanya, "Di manakah letak Vihara Mendut? Di sebelah mana candinya?" Hmm. Sebenarnya dari parkiran, pintu masuk ke Vihara Mendut justru lebih dekat daripada pintu masuk ke candinya. Insya Allah Anda tak bakalan kesulitan untuk menemukannya.

Begitu turun dari kendaraan, hendak berjalan menuju candi, silakan amati sekeliling Anda. Tengok-tengok di sebelah kiri. Carilah sebuah bangunan berpagar yang halamannya asri. Yang lokasinya di bawah pohon rindang. Yang di bawah pohon rindang itu ada sebuah bangunan kecilnya; semacam pos satpam atau pos informasi.

Hmmm. Kalau masih bingung juga, carilah halaman yang ada patung besarnya ini. Yakni patung besar yang sedang berbaring menyamping. Tempatku narsis ini, lho. Hehehe ....

Patung besar ini terletak di depan ruangan pemujaan tadi (di belakang pos satpam/informasi)


Tiket Masuk Vihara Mendut

Tak usah menyiapkan uang untuk membeli tiket bila hendak masuk ke vihara. Simpan dulu deh, uang Anda itu. Beli tiketnya nanti saja. Kalau akan masuk ke kompleks candi. Asyik sekali 'kan? Yeah! Untuk wisatawan berdompet tipis-tipis macam daku, ini merupakan sesuatu yang membahagiakan. Berkunjung ke sebuah situs penting dan istimewa, gratis pula. Wow sekali, bukan?

Tahukah Anda? Syarat utama untuk memasuki Vihara Mendut--dan kukira semua vihara di mana pun--hanya satu. Yakni bersikap tenang. Baik tenang mulut maupun tenang tubuh (dalam arti tidak pethakilan dengan mulut terkunci). Apa gunanya mulut bungkam, tapi berlari-larian atau melakukan gerakan atraktif lainnya? Sama saja dusta, dong. 

Bersikaplah tenang seperti daun-daun teratai di air kolam yang keruh itu
(air kolam dan teratai itu punya makna filosofis juga, lho)

Selain wajib tenang, pengunjung juga wajib menjaga kebersihan. Tidak boleh nyampah ya, di dalam komplek vihara suci ini. Dan kupikir, sebaiknya di tempat apa pun dan mana pun, tak selayaknya kita nyampah. Sekecil dan sesedikit apa pun sampahnya. Pokoknya dilarang brang brung lempar sampah sembarangan. *Apalagi lempar bakiak ke mantan*


Menegaskan Keberadaan Candi Mendut

Tentu saja Vihara Budha Mendut makin menegaskan eksistensi Candi Mendut. Sebagaimana kita tahu, Candi Mendut merupakan candi yang bercorak Budha. Maka  keberadaan vihara tersebut sungguh selaras. Sangat nyambung dengan candinya.

Bahkan, Vihara Mendut ibarat sebuah pernyataan. Yakni pernyataan bahwa agama Budha yang dianut oleh dinasti pendiri Candi Mendut belumlah punah. Masih eksis hingga sekarang. Dan, eksistensi itu terwakili oleh Vihara Mendut.

Replika Candi Pawon yang terletak di dalam kompleks vihara

Terlebih di dalam kompleks vihara juga ada replika Candi Pawon. Yakni sebuah replika yang--menurut pengamatanku--tidaklah jauh berbeda ukurannya dari yang asli. Dengan demikian, terasa makin tegaslah keterkaitan itu.


Keunikan Vihara Mendut

Menurut informasi yang kudapat, patung-patung yang terdapat di Vihara Mendut tidak semuanya bercorak Budha asli. Konon ada pula yang sedikit bercorak Hindu. Hmmm. Padahal sesungguhnya, vihara ini merupakan bekas susteran Katolik. Logikanya 'kan malah ada ornamen-ornamen yang bernapaskan Katolik. Tapi faktanya, yang menonjol hanyalah ornamen-ornamen bercorak Budha. Seperti yang terdapat di jendela ini ....


Sebuah jendela yang indah dan filosofis

Bagaimana bisa tak ada sisa bangunan yang bercorak Katolik? Hmm. Semua bermula dari kekejaman penjajah Jepang yang menawan semua suster (biarawati) Mendut. Yang kemudian disusul oleh pembumihangusan kompleks susteran tersebut. Dan seiring berjalannya waktu, lokasi bekas susteran itu dibeli oleh yayasan Budha (tahun 1950-an).

Bermula dari situlah lokasi tersebut beranjak menjadi sebuah vihara. Menjadi tempat yang Budha banget. Yang dipenuhi aneka patung dan ornamen bercorak Budha.



Di kompleks Vihara Mendut ada banyak patung besar serupa ini

Supaya patung tingginya kelihatan utuh, aku narsisnya duduk saja ....

O, ya. Di halaman vihara bagian dalam terdapat sebuah gapura tinggi yang entah apa namanya aku lupa. Duh! Padahal sudah dijelaskan oleh sang pemandu wisata, lho. Maklum faktor U plus memang sulit namanya. Haha! *blogger parah ini mah ...*


Inilah gapura tinggi yang kumaksudkan itu


Sudah pasti ada banyak hal menarik di Vihara Mendut. Selain yang bisa Anda baca dan lihat di postingan ini. Jadi, ayolah buruan ke sana. Jangan lupa. Bisa sekalian mengeksplorasi Candi Mendut dan bergelantungan di Pohon Bodhi 'kan?


Aku yang Beruntung

Beruntunglah aku dan rombongan datang pada masa yang tepat. Maksudku, kami datang ketika Vihara Mendut telah dibuka untuk umum. Dahulunya 'kan tertutup untuk umum. Kalau tertutup berarti kami tidak bisa melihat-lihat isinya 'kan?

Keberuntunganku pun bertambah sebab bisa melihat langsung seorang biksu. Tidak semua orang punya kesempatan sepertiku itu, lho. Apalagi kalau bukan seorang penganut agama Budha dan tinggal jauh dari vihara. Sayang sekali aku tak mendokumentasikan sang biksu. Pekewuh diri ini untuk memotret beliau. Mau minta foto bareng juga sungkan. Takut ditolak. *Sebab ditolak itu perih!*

Adapun dua keberuntunganku itu bermula dari status fesbuk Mbak Nunuk Ambarwati. Kalau saja sang pemilik Tirana Art House & Kitchen tersebut tidak woro-woro tentang program Jelajah Kawasan Borobudur, pastilah aku tak bakalan piknik asyik di awal tahun 2018. Alhamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillah.

Jadi kalau Anda ingin pula mengikuti jejak keberuntunganku, silakan colek-colek Mbak Nunuk saja. Minta dibuatkan program piknik asyik juga. Bisa lewat WA di 0818-277-073. Atau, datang langsung ke Tirana Art House & Kitchen (dengan janjian terlebih dulu tentu).

MORAL CERITA:
Kerap kali ada fakta dan sejarah menarik yang tersimpan di balik sebuah lokasi. Maka kepo-lah selalu. Kepo  itu adakalanya sangat wajib dan amat perlu, lho.  


  

Jumat, 19 Januari 2018

Kutunggu di Bawah Pohon Bodhi

4 komentar

Kutunggu di bawah Pohon Bodhi, yaaa

DALAM postingan sebelumnya, yaitu "Belajar Sejarah di Candi Mendut", kusebutkan tentang adanya bonus ganda bila kita mengunjungi Candi Mendut. Nah! Salah satu bonus ganda yang kumaksudkan adalah ... bermain-main di bawah Pohon Bodhi. 

Yang menjadi pertanyaan, "Bermain-main apa?" Tak lain dan tak bukan ya bermain gelantungan di sulur-sulur Pohon Bodhi. Ala-ala tarzan auooow begitu, deh. Hmmm. Dengan malu-malu kucing, ini nih kuperlihatkan aksiku saat bergelantungan. Dasar MKKB, Masa Kecil Kurang Bahagia. Haha!
 


 

Ternyata tak mudah lho, untuk bergelantungan seperti itu. Terutama butuh kekuatan tangan dan lengan, plus keberanian untuk jatuh. Iya. Betul-betul harus berani untuk jatuh. Paling tidak, itulah kesimpulanku setelah terjerembab gara-gara sulur yang kugelantungi putus. *Nyengiiir*

Jujur saja. Sejak lahir ya baru pertama kali itu aku bermain-main gelantungan di pohon. Ternyata seru dan asyik sekali. Kusampaikan rasa terima kasih yang banyak kepada Mas EmKa, yang telah mengajariku ilmu menggelantung di sulur pohon. 

Tapi mohon maaf ya, Mas EmKa. Aku sungguh tak sanggup untuk mempraktikkan ilmu berpindah-pindah pegangan, dari satu sulur ke sulur lainnya. Itu beraaat. Tak kalah berat dari rindunya Dilan. Haha!


Sekelumit Tentang Pohon Bodhi

Tentu saja keberadaan Pohon Bodhi di situ tidaklah kosong makna-kosong cerita. Terutama makna dan cerita yang terkait dengan Sang Budha Gautama. Dikisahkan bahwa Sang Budha Gautama bertapa; mencari-menerima pencerahan di  Pohon Bodhi. Nah! Itulah sebabnya pohon tersebut dianggap suci oleh penganut agama Budha. Bahkan, penganut agama Hindu dan Jainisme juga menganggapnya begitu.

Pohon Bodhi di Pelataran Candi Mendut


Oleh para ahli botani (tanaman), Pohon Bodhi disebut sebagai Ficus Religiosa. Artinya, pohon fig yang suci. Mengapa suci? Karena digunakan sebagai tempat bernaung oleh Sang Budha Gautama bernaung 'kan? 

Pohon Bodhi termasuk ke dalam spesies pohon fig (beringin) dalam keluarga Moraceae. Maka tak mengherankan bila banyak kawan yang menebakku sedang duduk di bawah Pohon Beringin, saat melihat foto paling atas itu. 

O, ya. Pohon Bodhi yang ada sekarang sebenarnya bukanlah pohon asli tempat Sang Budha Gautama menerima pencerahan-Nya. Tapi merupakan keturunan langsung dari pohon asli tersebut. Jadinya yaaa tetap sah! Hmm. Sah apanya, coba? Tenang, tenang. Maksudku tetap sah ditahbiskan sebagai pohon tertua (pertama) yang ditanam manusia dengan tanggal yang pasti. Begituuuh.


Daun dan Souvenir

Di bawah Pohon Bodhi, yang tumbuh di pelataran Candi Mendut itu, berserakan dedaunannya. Maka sebelum beranjak ke bonus yang satunya, aku sempatkan untuk memilih tiga lembar sebagai kenang-kenangan. Ya Allah, betapa aku adalah seorang pemuja kenangan yang akut. Haha!

Mulanya, saat kuambil, masih agak hijau daunnya. Eh .... Setelah lebih dari seminggu, seperti di bawah inilah bentuk dan warnanya. Menjadi sangat layu dan mencokelat.

Tiga helai daun Bodhi yang mulai mengering

Yang menggembirakan, ternyata daun Bodhi itu bisa pula dibikin souvenir. Bentuknya bermacam-macam. Dan, banyak dijual di kios-kios yang berada di tepian kompleks Candi Mendut. Yang menurutku sebagai wisatawan berdompet tipis-tipisan, harganya lumayan terjangkau.

Maka rasanya souvenir daun Bodhi wajib Anda beli, jika berkunjung ke Candi Mendut. Sebelum membeli aneka souvenir yang lainnya. Sebelum mencicipi beberapa menu kuliner yang dijual di sekitar situ pula. Rugi lho, kalau sampai tidak membeli souvenir daun Bodhi. *Promosi bin provokasi, nih*



Daun Bodhi yang telah diproses menjadi souvenir cantik

Baiklah. Kukira sudah cukup ceritaku tentang Pohon Bodhi ini. Yuk, ah. Segera saja susul aku. Jangan berlama-lama bikin aku menunggu di bawah Pohon Bodhi ini, ya. Aku memang tak bisa mengajari bergelantungan di sulur-sulurnya. Tapi 'kan ada Mas EmKa yang mahir. Ajak kencan saja melalui kontak WA-nya di 081 5799 3933 (a.n. Dands Khudhori).

MORAL CERITA:
Berwisata sejarah, terkhusus candi, ternyata bisa seru juga. Tentu bila tahu cara menikmatinya ....




Selasa, 16 Januari 2018

Belajar Sejarah di Candi Mendut

0 komentar
TEMPO hari aku menulis tentang perjalananku ke objek-objek wisata di kawasan Borobudur. Sudah membacanya 'kan? Kalaupun belum, tak usah cemas. Silakan langsung meluncur saja ke "Jelajah Kawasan Borobudur". Hmmm. Meluncur ke situ hukumnya wajib lho, ya. Hehehe .... Maksudnya sih, supaya bisa dapetin benang merahnya dengan tulisan ini.

Baiklah, baiklah. Kali ini aku akan berkisah tentang destinasi pertama kami, yaitu Candi Mendut. Ngomong-ngomong aku sebenarnya bingung, nih. Mendhut atau Mendut, ya? Tapi sudahlah. Tulisan mana pun yang benar, aku memilih bersikap konsisten saja. Sebab sejak awal sudah menulis Mendut, tanpa "h", ya kuteruskan saja menulisnya seperti itu. Oke?


Candi Budha 

Setelah menempuh perjalanan sekitar 90 menit dari Jogja tercinta, kami tiba di lokasi dengan ceria. Alhamdulillah, perjalanan lancar jaya. Maklumlah. Jalanan sungguh sepi tatkala itu. Orang-orang masih tidur setelah pesta malam tahun baru. Alhasil kurang lebih pada pukul sembilan pagi, kami sudah bersiap mengelilingi kompleks Candi Mendut.

Sudah pasti kami tak sekadar berkeliling dan berpose-pose narsis di situ. 'Kan ada Mas EmKa, sang guide muda berbakat, yang setia menemani. Tentu tak sekadar menemani, dong. Tapi menemani, memandu, dan memberikan informasi-informasi seputar Candi Mendut. 

Salah satu dari tiga arca besar yang ada di dalam Candi Mendut

Dupa (hio) di dalam Candi Mendut ini disediakan bagi pengunjung

Duileee! Banyak nian informasi yang disampaikannya. Membuatku serasa menyimak penjelasan guru sejarah di kelas. Hehehe .... Namun, intinya begini. Candi Mendut merupakan candi bercorak Budha. Pendiriannya lebih duluan daripada Candi Pawon dan Candi Borobudur. Tapi dalam kurun waktu yang hampir bersamaan.

Konon, Candi Mendut berada dalam satu garis lurus dengan kedua candi tersebut. Mengapa kusebut 'konon'? Sebab belum ditemukan dokumentasi tertulis tentang hal itu. Jadi kalau Anda ingin mengetahuinya lebih detil dan akurat, silakan menggali informasi dari sumber-sumber sejarah yang valid. Tak sekadar mencari informasi dari internet.

O, ya. Candi Mendut yang berlokasi di sebelah timur Candi Borobudur itu didirikan oleh Wangsa (Dinasti) Syailendra. Sama halnya dengan Candi Borobudur. Tapi Candi Mendut dibangun lebih dulu.


Kondisi Fisik

Tinggi Candi Mendut kurang lebih 26,4 meter. Atapnya bertingkat tiga dan dihiasi dengan beberapa stupa kecil. Sementara tangga dan pintu masuknya menghadap ke arah barat daya; berbeda dengan kebanyakan candi di Jawa yang biasanya menghadap ke timur.

Oalaaah. Pantas saja pagi itu daku merasa silau melulu saat menaiki tangga candi. Lha wong aku menghadap ke timur, tepat saat sang surya cetar bersinar.

Sang surya yang cetar bikin kepalaku agak pusing (maka kupegangi hahaha ...)


Pohon kelapanya syahduuu


Setelah puas mengamati situasi di dalam candi, kami keluar. Kembali menghirup udara segar. Yeah .... Di dalam agak pengap, gaess. Sudahlah ruangannya tak lebar. Eh, masih ketambahan pula dengan bau dupa alias hio alias kemenyan. 

Iya. Di dalam bangunan Candi Mendut memang disediakan dupa bagi pengunjung yang ingin make a wish. Selain ada dupa, di dalam situ ada tiga arca besar yang memenuhi ruangan. Salah satunya dapat Anda lihat pada foto paling atas. 

Lalu, bagaimana dengan kondisi di luar candi? Hmmm. Situasinya aman dan terkendali, kok. Haha! Oke. Mari kujawab serius. Situasi di luar candi tatkala itu sangat panas. Untung ada Pohon Bodhi di pelatarannya. Jadi, lumayan bisa meneduhi. Sementara itu, situasi dinding luar candi penuh dengan relief. Mari kita lihat beberapa di antaranya. 


 

 


 

 

Reliefnya bagus-bagus 'kan? Tentunya juga penuh makna. Ada kisah dan hikmah yang disampaikan oleh relief-relief tersebut. Tapi mohon maaf, sesuai dengan kapasitas blog ini, kisah dan hikmah tersebut sengaja tidak dibahas detil di sini. Maka silakan Anda mengejar referensi validnya dari sumber lain, bila memang butuh tahu lebih detil. 




Sekali lagi, relief-relief tersebut memang bagus sekali. Sembari memasang kuping untuk mendengar penjelasan Mas EmKa tentangnya, pikiranku pun melayang-layang. Nenek moyangku memang hebat. Bisa menghasilkan karya-karya keren seperti itu pada zamannya dahulu. Yakni pada zaman baheula pakai banget. Ketika teknologi masihlah amat terbatas. Bangga deh, jadi orang Indonesia ....

O, ya. Bila berselancar di internet demi mencari foto Candi Mendut, mungkin Anda akan menemukan sedikit perbedaan bentuk pada candi tersebut. Lho! Kok bisa begitu? Bisa, dong. Sebab Candi Mendut telah mengalami dua kali pemugaran.  

Ngomong-ngomong, Candi Mendut pun memiliki peran penting dalam upacara perayaan Waisak. Pusat perayaan Waisak memang di Candi Borobudur. Tapi air suci dan obor Waisak justru disimpan di Candi Mendut ini.  
  

Reruntuhan di Sekitarnya

Ada lumayan banyak reruntuhan di sekitar Candi Mendut. Tapi ukurannya besar-besar dan terukur. Bukan reruntuhan yang berupa kepingan-kepingan ataupun serpihan-serpihan. Mari kita lihat.



Jangan berpikiran bahwa reruntuhan itu sudah tak berguna sama sekali. Oh, sama sekali tidak begitu. Kalau reruntuhan hatiku sih, bisa tak berguna sama sekali. *Halah* Tapi lain halnya dengan reruntuhan candi serupa itu. Adakalanya suatu saat nanti, bila pasangannya ditemukan, bakalan menjadi sebuah bangunan baru.

Bila pasangannya ditemukan? Iya, pasangannya. 'Kan reruntuhan itu ada yang berupa batu laki-laki dan batu perempuan? Dan sesungguhnya, dengan menyatukan kedua jenis batu itulah aneka rupa bangunan megah zaman baheula tercipta. Begituuuu. *Ampun deh, batu saja berpasangan*


Bonus Kunjungan ke Candi Mendhut

Tahukah Anda? Berkunjung ke Candi Mendut itu bonusnya ganda, lho. Selain mengeksplorasi Candi Mendhut sebagai destinasi utama, kita dapat pula mengeksplorasi dua destinasi tambahan di dekatnya. Sangat dekat malah.

Apa sih, destinasi tambahannya itu? Tak lain dan tak bukan, berasyik-masyuk dengan akar-akar Pohon Bodhi dan berkeliling Vihara Mendut. Ngomong-ngomong, seasyik apa kedua destinasi tambahan itu? Hmm. Sabar, ya. Tunggu postingan berikutnya. Haha!


Tambahan Informasi

Candi Mendut terletak di Desa Mendut, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Kurang lebih 38 km ke arah barat laut dari Jogja. Lokasinya dekat dengan Candi Borobudur. Sekitar 3 kilometer saja. 

Candi Mendut dibuka untuk wisatawan sejak pukul 06.00 WIB-17.00 WIB. Tiket masuknya amat murah. Hanya Rp5.000,00. Baik untuk wisatawan mancanegara maupun wisatawan lokal.  

O, ya. Satu hal yang ingin kusarankan. Sebaiknya Anda mempergunakan jasa guide alias pemandu wisata untuk mengekplorasi kompleks Candi Mendut ini. Supaya kunjungan Anda tidak zonk. Tidak asal melihat dan memotret tanpa tahu sejarah yang tersimpan di baliknya.

Tak usah khawatir soal biaya. Terjangkau sekali, kok,. Tapi agar lebih mantap, bisa menanyakannya terlebih dulu gimana-gimananya secara detil ke Mas EmKa. Silakan catat kontak WA-nya untuk nanyain info dan pemesanan. Ke nomor ini, ya: 081 5799 3933 (a.n. Dands Khudhori).


MORAL CERITA:
Berwisata sejarah seperti ini sangat bermanfaat. Terlebih bila mengajak anak-anak, ABG, atau remaja labil. Mereka bisa sekaligus belajar sejarah 'kan?





Jumat, 12 Januari 2018

Jelajah Kawasan Borobudur

8 komentar
PAGI yang cerah pada tanggal 1-1-2018 ....

Jalanan masihlah amat sepi. Maklum saja. Begitulah tabiat pagi awal tahun Masehi. Setelah pesta semalam demi menyambut datangnya tahun baru, orang-orang selalu saja bangun kesiangan. Sungguh! Itu tabiat pagi yang tak kusukai sama sekali. 

Mengapa? Sebab aku selalu curiga, menduga-duga cemas begitu deh .... Kiranya mereka (yang Muslim) tidur sebelum atau sesudah shalat Subuh? Kalau tidurnya tidak sekalian sesudah shalat Subuh 'kan pasti enggak shalat tuuuh. Itu amat menyedihkan, bukan?

Hmm. Baiklah. Mari balik ke jalanan yang sepi. Bagaimana kok aku sampai tahu kalau jalanan masih amat sepi tatkala itu? Tentu tahu, dong. Aku dan Adiba 'kan sudah bersiap di tepi jalan, demi menunggu jemputan pada kurang lebih pukul tujuh. 

Mau ke mana, Maaak? Mau piknik. Tepatnya hendak ikut program jelajah kawasan Borobudur. Yang disponsori oleh Unesco itu, lho. Yang bekerja sama dengan Tirana  Art House &Kitchen.

Ke Candi Borobudur, ya? Bukaaan. Enggak ke Candi Borobudurnya lho, ya. Tapi ke kawasan Borobudur. Rencananya yang kami kunjungi adalah Candi Mendut, Candi Pawon, salah satu balkondes yang ada di sekitar Candi Borobudur, plus sentra batik dan keramik.

Mengapa tidak ke Candi Borobudurnya? Nah! Justru itu. Program yang kami ikuti ini sengaja tidak berfokus pada Candi Borobudurnya. Tujuannya  memang hendak mengenalkan destinasi-destinasi lain di sekitar Candi Borobudur. Supaya para wisatawan tidak melulu ke situ, lalu pulang. 

Adapun yang terutama, demi menyelamatkan Candi Borobudurnya. Aturan per hari si candi beken itu hanya boleh dinaiki 500 orang. Eh, faktanya sekarang per hari dinaiki 3.000 orang. Itu 'kan amat berbahaya. Berpotensi cepat rusak. Sungguh berbahaya dan eman-eman kalau tidak diantisipasi sejak dini. Walaupun sebenarnya, dimulai sekarang pun itungannya sudah agak telat. 

Aha! Awal tahun dan piknik. Pastilah seru pakai banget. Apalagi rute yang kami tempuh melintasi areal persawahan dan perbukitan. Sejauh mata memandang, hamparan pepohonan hijau menghadang. Alhamdulillah. Bisa mengobati kerinduanku akan sebuah desa yang nempel banget di hati, nun jauh di sana. Hmmm ... *uhuks*

Berhubung ada banyak cerita dari tiap destinasi, rasanya tak mungkin dirangkum semua dalam satu postingan. Maka insya Allah bakalan kuurai dalam beberapa postingan ke depan. Oke? 

Dan kiranya, postingan yang ini merupakan prolog dari postingan-postingan terkait yang berikutnya nanti. Tapi sebagai pemanis, silakan nikmati dulu beberapa pose manisku di bawah ini. Hehehe .... 

  
Di sentra keramik

Di bawah pohon bodhi, di halaman Candi Mendut


Di depan Candi Mendut



Inilah salah satu balkondes yang berada di kawasan Borobudur


Bagaimana? Terlihat seru sekali 'kan? Iya, dong. Memang seru, kok. Tak hanya terlihat seru, tapi memang betul-betul seru. Pokoknya bikin hidupku lebih hepi. Yang jelas, piknik awal tahun ini menjadi semacam realisasi dari salah satu resolusi 2018-ku. Haha! 

MORAL CERITA:
Banyak piknik itu ternyata harus dijadikan resolusi juga. Haha!


Selasa, 09 Januari 2018

Reuni Sasindo UGM '92

2 komentar
30-12-2017 ...

ITULAH tanggal yang kami sepakati  untuk melakukan reuni perak. Yup! REUNI PERAK. Yang (mestinya) berarti pertemuan kembali setelah 25 tahun terpisahkan oleh jarak dan waktu. Hehehe ... Pakai kata "mestinya". Mengapa? Sebab sesungguhnya, kami tidak benar-benar telah berpisah selama itu.

Lhah? Kok? Tenang, tenang. Begini penjelasannya. Istilah REUNI PERAK itu kami pergunakan dengan perhitungan sejak perkenalan pertama. Jadi intinya, acara ngumpul-ngumpul pada tanggal 30-12-2017 lalu itu merupakan perayaan atas pertemanan kami, yang sudah terjalin selama seperempat abad. Seperempat abad, lho! Cateeet. Alhamdulillah.

Dan setelah 25 tahun berlalu, kegilaan kami rupanya tak berkurang. Tetap sadar kamera dengan sesadar-sadarnya. Malah sekarang makin kreatif bawa properti narsis segala. Ala kids zaman now.


Di depan FIB-UGM

Masih di depan FIB-UGM

Alhamdulillah sebagian besar dari kami bisa hadir. Padahal banyak yang berdomisili di luar kota dan luar pulau, lho. Sekali lagi, Alhamdulillah. Bila ada kemauan untuk hadir, memang akan selalu ada jalan untuk hadir. Bila ada rindu yang membuncah, niscaya akan ada dorongan semangat untuk menuntaskannya.


Lupa usia! Yang penting menuntaskan rindu yang membuncah ...

Hmm. Begitulah inti sebuah reuni. Menuntaskan rindu. Mengobrolkan masa lalu. Mengenai apa saja. Terutama yang hepi-hepi. Yang bikin keki pun dijadikan hepi. Tak lagi dipermasalahkan sebagai sebuah dendam kesumat lagi. Pokoknya reuni itu wow banget, deh. Bisa mengikis habis kebencian-kebencian di hati.

Sosok yang menjadi ikon angkatan kami (lagi pura-pura bisa memotret)

Sebelumnya ini belum siap untuk berfoto 

Nah, ini yang sudah siap ...

Jujur saja, aku kehabisan kata untuk menggambarkan perasaanku saat reuni tempo hari. Haha! Terkesan lebay, ya? Tapi enggak lebay juga, kok. Aku serius. Sangat serius. Penyebabnya, aku merasa bahwa mereka (kawan-kawanku) itu makin berumur makin baik hati. Alhamdulillah. Bikin aku terharuuu biru pokoknya.

Sudahlah sudah. Sebab kehabisan kata, biarlah foto-foto berikut saja yang mewakili cerita reuniku itu. Aku tak sanggup berkata-kata lagi dalam postingan ini. Haha! *lebay sekaliii*


Di GSP-UGM

Di GSP-UGM juga

Masih di GSP-UGM

Wuih, tertib nih yeee! Mungkin karena di Gedung Pusat? Haha!

Gaya cool masing-masing

Masih dalam gaya cool masing-masing

Formasi paling komplet


Dari semua yang terasa saat reuni tempo hari, menguatnya tali persahabatan kami adalah "rasa" yang paling mengemuka. Alhamdulillah. Maka kami sama-sama bertekad untuk lebih kerap menjalin silaturahmi. Sebisa-bisanya. Meskipun terkendala jarak dan waktu. Tak hanya antarkami, tapi juga antarkeluarga kami masing-masing.

MORAL CERITA:
Sungguh, silaturahmi itu menghadirkan rasa bahagia yang membuncah. Bikin hidup lebih terasa bermakna.




 

PIKIRAN POSITIF Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template