Sabtu, 08 Oktober 2016

Oh, Adik Monyet


APA yang tebersit di benak Anda demi membaca judul di atas? Mendadak teringat monyet di bonbin? Mendadak baper sebab monyet peliharaan tetangga pernah merampas pisang yang Anda makan? Jadi ingat bahwa monyet pun memiliki keluarga; punya kakak dan adik? Jadi geli sebab membayangkan adik Anda menjadi monyet? Wuahduh! 

Begini saja, deh. Sebaiknya segera singkirkan segala macam bersitan pikiran Anda itu. Sebab adik monyet yang kumaksud adalah… monyet imut dalam topeng monyet. Alias si pemeran utama dalam ledhek munyuk (istilah dalam bahasa Jawa). Alias si bintang pementasan dalam kethek ogleng (istilah lain dalam bahasa Jawa).

Eit, hati-hati. Sebutan “imut” itu bukan berarti cakep dan kiyut, ya. Bukan berarti secakep dan sekiyut Nicholas Saputra. Tapi lebih cenderung bermakna “kecil dan bertingkah kocak”. Hehehe…. #Maaf ya Om NichSap, kubawa-bawa namamu dalam urusan monyet ini

Lalu, mengapa kupanggil si dia dengan sebutan adik? Adik monyet? Aih. Aku ‘kan cuma menirukan Adiba, putri semata wayangku. Dahulu tatkala masih berusia batita, Adiba selalu memanggil si dia dengan panggilan sayang begitu. Cateeet. Panggilan sayang, lho!

Mengapa Adiba menyebut si dia adik monyet? Tidak monyet begitu saja? Penyebabnya, si monyet imut itu berpakaian. Tidak telanjang seperti monyet di bonbin. Nah, nah. Di mata Adiba batita, monyet imut yang bercelana monyet itu mirip adik-adik.

Namun syukurlah makin bertambah usia, Adiba jadi ogah memanggilnya adik. Sekarang kalau menyebut monyet dalam topeng monyet ya “monyet” begitu saja. Tanpa embel-embel “adik”. Alhamdulillah. 

Tapi sayang sekali, aku justru yang susah move on. Begitu melihat rombongan topeng monyet di mana pun dan kapan pun, seketika aku berdesis, “Ada adik monyet!” Parah.

Yoi! Kukira siapa pun akan tersenyum bilamana menonton pementasan topeng monyet. Si (adik) monyet memang lucu, sih. Monyet kok berpakaian. Mana aksinya bermacam-macam pula. Sok-sokan bergaya menirukan gaya manusia. 

Tak sekadar gaya mau ke pasar, komplet dengan payung dan tas belanjanya. Tapi kadang kala juga bergaya kebut-kebutan pakai sepeda motor supermini. Atau bergaya bak fotomodel, lengkap dengan jaket dan kacamata ribennya. Wow! Dan… senyum mrengesnya itu, lho. Selalu bikin keki.

Mengingat kekocakan dan kekonyolan si (adik) monyet, maka wajar kalau banyak orang suka menonton topeng monyet. Tapi mayoritas suka menonton saja, sih. Tidak suka menanggapnya. 

Kalau menanggap, berarti mengundangnya untuk pentas. Setelah pentas/pertunjukan selesai,lalu membayarnya. Di sini ini yang rerata orang tidak mau. Maunya 'kan menonton saja. Ckckck. Termasuk aku juga, sih.

Maka ketika serombongan topeng monyet lewat dan seseorang menghentikannya, bersukarialah orang sekampung. Maksudnya menghentikan dan menanggapnya lho, ya. Bukan sekadar menghentikan lalu kabur. Itu sih namanya hit and run

Hmmm. Begitulah fakta kehidupan. Ternyata banyak orang suka hal/barang gretongan alias G-R-A-T-I-S-A-N. Lagi-lagi, termasuk saya juga.

Oke. Mari balik ke soal (adik) monyet. Sebetulnya tiap kali menonton pertunjukan topeng monyet, aku disergap kegalauan. Aku terjebak di antara rasa pilu dan perasaan terhibur. 

Memang sih, aku banyak tersenyum ketika menonton ulah kocak si (adik) monyet. Bahkan sesekali ikut tergelak-gelak, bila tingkahnya cenderung gila-gilaan. Akan tetapi, senyum dan gelak tawaku itu beraroma getir.

Bagiku, ada banyak hal kontradiktif di balik sebuah pertunjukan topeng monyet. Yeah, bagaimana ya? Hatiku bimbang untuk menentukan. Apakah harus tegas berpihak pada aturan yang melarang topeng monyet, ataukah mesti kekeuh berdiri di pihak yang tidak melarangnya? Sungguh, aku betul-betul disergap kebimbangan akut saat berada di titik ini.

Bila tak ada lagi orang yang menanggap topeng monyet, berarti tukang topeng monyetnya tak bakalan berpenghasilan. Padahal, ia butuh uang untuk menafkahi keluarganya. Ia juga mesti membiayai hidup si (adik) monyet. 

Bisa saja kita bilang, solusinya ‘kan mudah. Tinggalkan profesi sebagai tukang topeng monyet. Cari pekerjaan lain. Iya, sih. Tapi masalahnya, tidak semua tukang topeng monyet mampu langsung move on.

Sementara di sisi lain, jika rombongan topeng monyet ditanggap,berarti si (adik) monyet dieksploitasi. Duh! Kasihan, bukan? Walaupun sebagai kompensasinya, ada sejumlah duit buat rombongan topeng mnonyet tersebut.

Maka aku sepakat dengan Pak Jokowi, yang dulu sempat meminta para (adik) monyet dibebaskan dari ikatan profesi mereka. Tidak lagi disuruh mengamen. Dipensiunkan dari rombongan topeng monyet. 

Ngomong-ngomong, Anda masih ingat kebijakan Pak Jokowi yang itu ‘kan? Itu, lho. Sebelum beliau menjadi RI-1.

Sejujurnya aku susah menempatkan rasa dalam persoalan ini. Mengeksploitasi monyet berarti tidak sesuai dengan perikebinatangan. Akan tetapi, serta-merta menghentikan pekerjaan tukang topeng monyet pun kurasa lumayan kejam. 

Terlebih bila kita sekadar melarang tanpa mau mencarikan solusinya. Baik solusi jangka pendek maupun solusi jangka panjang.

Sementara di sisi lain, uang yang didapat dari pertunjukan topeng monyet amat dibutuhkan oleh si tukang topeng monyet. Bahkan, diperlukan juga oleh keluarganya dan si (adik) monyet sendiri. Hadeuh! Betul-betul pusing deh, jika mikirin topeng monyet secara serius begini.

Ya, sudahlah. Hidup toh merupakan deretan perkara yang acap kali bikin pusing. Dan kali ini, giliran perkara monyetlah yang memusingkanku. Huft!

MORAL CERITA:
Dalam hidup ini, kita kerap kali berhadapan dengan hal-hal yang kontradiktif.  



#Tanpa foto sebab rombongan keburu lenyap di tikungan sana



2 komentar:

  1. iya mbak, sama... rasanya nyesek lihat "hiburan" topeng monyet, tapi masih saja ada warga yang nyewa mereka untuk ditonton anak - anak kecil :(((

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!

 

PIKIRAN POSITIF Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template