Jumat, 20 Mei 2016

TENTANG 20 MEI-ku

BILA tiba tanggal 20 Mei, sebagai seorang nasionalis tulen (aihh...) selalu saja aku terkenang pada dua hal. Pertama, Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Kedua,   Pisowanan Agung Rakyat  Yogyakarta 1998. Yup! Semula 20 Mei bagi bangsa Indonesia memang hanya tentang Harkitnas. Tapi sejak 20 Mei 1998, ada satu hal lagi yang wajib diingat. Yakni tentang reformasi negeri ini.

Sebagai mahasiswa UGM, kala itu tentu saja aku sedikit banyak terkontaminasi oleh demo-demo. Maksudnya demonstrasi mahasiswa dengan tema-tema politis, ya. Bukan demo-demo kecantikan ataupun demo panci ajaib serbaguna.

Aku bukanlah seorang orator. Bukan pula seorang provokator. Aku hanyalah mahasiswa biasa yang terbiasa di luar (baca: bolos kuliah). Dan, aku adalah mahasiswa yang telah terprovokasi oleh para orator itu. Tapi terprovokasi baik, lho. Perihal ada skripsi terbengkelai di balik provokasi baik, itu soal lain.... :D

Kala itu, 20 Mei 1998, pagi hari. Aku bersiap pergi ke kampus. Simbah yang punya tempat kos melarangku pergi. Beliau khawatir diriku kenapa-kenapa. Tapi kubilang dengan santun, "Enggak apa-apa, Mbah. Aman." Sebuah senyum manis kuuntai di bibir seraya beranjak keluar gerbang kos. Beranjak dengan penuh gegas, takut ditahan lagi oleh simbah. Haha!

Tentu saja kampusku telah ramai. Semua orang bersiap mengikuti long march. Ya, kami hendak ke alun-alun utara. Hendak menghadiri Pisowanan Agung Rakyat Yogyakarta. Hmmm. Long march yang seru kukira. Ini merupakan pengalaman yang hangat untuk diingat. Tak bikin kening terasa pening. Tak dingin ketika dikenang. Haha! #AADC2 bangeeeeet

Entahlah apa sebenarnya motivasi utamaku saat terlibat demonstrasi damai itu. Yang jelas aku merasa lelah sebab menempuh jarak dari UGM hingga alun-alun utara dengan berjalan kaki. Di bawah terik sang mentari, tanpa bawa air minum memadai, hanya kebagian jatah nasi bungkus yang akan amat merepotkan bila dimakan sembari berjalan, dalam kondisi perut keroncongan belum sarapan, dan dalam kondisi empet-empetan.

Berjalan dalam kondisi empet-empetan itu sungguh berat, Kawan. Enggak dapat melangkahkan kaki dengan leluasa. Bahkan kerap kali berhenti-henti. Sementara saat berhenti berjalan, mau berdiri tegak dengan santai saja tak bisa. Kiri, kanan, depan, dan belakang kita penuh orang! 

Walhasil saat tiba di perempatan kantor pos besar, aku tak tahan dengan pusing yang mendera. Aku akhirnya tergeletak di trotoar kantor Bank BNI. Rasa lelah tak jadi soal berat bagiku. Tapi kepala pusing akibat paparan terik matahari adalah soal beraaattt bagiku. Aku sungguh tak berdaya.

Etyastari meminta tim P3K untuk mengizinkanku numpang ambulance pas balik lagi ke kampus. Tapi ditolak mentah-mentah sebab aku enggak pingsan. OMG! Padahal kepalaku ini, sungguh amat ingin meledak rasanya. 

Mukjizat-Nya saja yang membuatku kuat kembali ke tempat kos di jauuuuh utara sana. Dengan jalan kaki? Tentu saja. Bahkan diselingi berlarian, mampir toko progo untuk mengambil jatah permen gratis, numpang mpbil pick up sebentar, lari lagi, jalan lagi...lagi...dan lagi.... Alhamdulillah aku tak sampai merepotkan Etyastari dan kakaknya. Andai tak ada mukjizat-Nya, mereka tentu akan bingung menggendongku/menyeretku hingga samapi ke tempat kos. Haha!

Ah, 20 Mei 1998! Ada terlampau banyak kisah yang telah menjadi sejarah sejak saat itu. Ada kisah indah, lucu, konyol, pilu, sendu. Dan aku, pada 20 Mei tahun ini makin merasa pilu sebab kian menyadari bahwa ada harga super mahal yang mesti dibayar untuk sebuah reformasi 1998. Sebuah reformasi berbayar mahal yang akhirnya --belakangan ini-- malah makin dikhianati tujuan mulianya.... Ah!

MORAL CERITA:
Di balik yang tersurat, selalu ada yang tersirat. Di balik fakta sejarah yang terangkat, selalu ada fakta yang kiranya sengaja tak diangkat.   

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!

 

PIKIRAN POSITIF Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template