Rabu, 02 Oktober 2024

Cadasnya Hidup di Desa

HALO Sobat Pikiran Positif? Adakah di antara kalian yang bercita-cita untuk tinggal di desa? Saat ini sudah punya rumah di daerah perkotaan, tetapi sedang berjuang menjualnya karena hendak pindah ke desa? 

Jika rumah itu belum ada yang menawar, stop dulu deh. Mari jawab pertanyaanku dulu, "Sudah mantap dan yakin untuk tinggal di desa atau belum?"

Jika jawaban kalian 'sudah', tolong jawab pertanyaan berikut, "Beneran sudah mantap? Sudah tahu konsekuensi tinggal di desa atau belum?"

Jika jawaban kalian 'sudah', silakan lanjut rencana jual rumah tadi. Berarti kalian memang sudah siap segalanya. Dalam arti, tidak bakalan mengeluh sedikit pun jika kelak menanggung konsekuensi yang terasa tidak asyik.

Waspadalah jika kalian malah merasa bingung. Alih-alih menjawab sudah atau belum, yang ada justru ganti bertanya, "Memangnya kenapa kalau tinggal di desa? Bukankah lebih nyaman daripada di kota? Suasana damai dan tentram. Tenang. Beda dengan kota yang bising dan berpolusi."

Iya, iya. Suasananya memang tentram dan tenang. Terlebih jika masih banyak pohon besar atau areal persawahan di pinggir kampung. Sungguh Instagramable. Pepotoan di kampung sendiri pun bisa serasa sedang tamasya.

Hanya saja berdasarkan pengalamanku sebagai anak desa alias wong ndeso, desa itu cuma indah kalau kita datang sebagai turis. Bukan sebagai warga setempat. 

Percayalah. Di balik panorama alamnya yang indah tersimpan beberapa hal rumit. Misalnya terkait interaksi sosial. Di desa biasa ada gotong royong dan kerja bakti. Durasinya bisa seharian. Dari pagi sampai sore. Yang kalau diitung-itung, itu lama sekali. Pun, lebih banyak mengobrolnya ketimbang kerja baktinya.

Terusterang aku tak cocok dengan gotong royong model bertele-tele begitu. Namun, apa boleh buat? Kalau tidak ikut bergotong royong nanti dipergunjingkan. Plus dilabeli antisosial. Sementara usai bergotong royong mereka bisa rehat/tidur, diriku mesti tancap gas buka laptop. Kerja. Kalau sering seperti itu tentu saja aku tak kuaaat. 

Makin ngeri kalau terkait iuran-iuran. Walah, walah. Selama tinggal di desa, tiap saat serasa ada iuran. Makin banyak kegiatan makin sering iuran. Kalau sampai tidak iuran atau iuran cuma sedikit, dipergunjingkan lagi tuh. 

Rumit 'kan? Katanya iuran seikhlasnya? Kok jadinya dipaksa sama dengan yang lainnya? Kesannya enggak boleh tak punya duit.

Sudahlah, ya. Intinya begini. Jika kalian lemah hati dan baperan, jangan pernah bercita-cita untuk tinggal di desa. Hidup di desa itu cadas. Sangat berpotensi merusak mentalmu. 

Terlebih kalau kalian adalah freelancer. Hari-hari cuma di rumah kok bisa sering belanja on line? Duit dari mana? Memelihara tuyul atau jadi simpanan orang? Halah banget pokoknya.

Mohon maaf. Aku tidak bermaksud mendiskreditkan desa. Ini cuma ngudarasa. Sekaligus pengingat buat kalian, jika ada yang bercita-cita hidup di desa. Think again. Bakalan kuat atau tidak kalau tinggal di desa?

Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI. 

17 komentar:

  1. Semua ada kelebihan dan kekurangan nya ya mbak, di desa ayem kelihatannya tapi sebagai turis.

    Memang kalo masalah iuran itu sepertinya wajib biarpun katanya seikhlasnya.😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai, Mas Aguuus. Apa kabar? Lama tak main ke blog ini, lho.

      Hapus
  2. Ngguyu aku kak...eling temenku baru pindah ke Jogja. Sebenernya dia balik ke kota asal sih...tapi tetep curhat...mbaaak biaya sosial di Jogja tinggiii

    BalasHapus
  3. Suamikuuu punya rencana pensiun balik kampung ke Kediri. Memang mesti bersiap diri dengan segala lebih kurangnya desa.
    Aku aja sering dicurhatin kakakku kalau hidup di desa banyak biaya tak terduga..apalagi jika sanak saudara kerabat tinggal juga di sekitar kita...walah mesti siap siap sedia waktu, tenaga, dana

    BalasHapus
  4. Kebanyakan orang perkotaan ingin menghabiskan masa tuanya di daerah pedesaan atau pinggiran kota gitu, jauh dari hiruk pikuk dan kesibukan yg biasa mereka temui di kota. Dan mungkin emang butuh penyesuaian dulu ya, saat baru tinggal di pedesaan gitu

    BalasHapus
  5. Hehee iya ya, selama ini kalau bayangin hidup di desa kebayangnya hidup tentram yang damai muluu, padahal bisa lebih riweh karena para tetangganya yang masih suka julid.

    BalasHapus
  6. hahaha betul sih. Meski hidup di desa biaya bisa lebih murah, tapi soal mental jangan ditanya. Aku pribadi better tinggal di kota daripada di desa sih mba

    BalasHapus
  7. Hal-hal rumit di balik panorama alam yang indah :) Hahaha gemes bacanya nih mbak. Oh, begitu ya ternyata....Guyub atau apalah katanya di desa itu menyenangkan, serba ngumpul2 penuh toleransi masyarakatnya. Urusan iuran bisa jadi sering walau kecil2 di desa ya. Kalau di kota mah langsung ditotal ekekekekek..... Mental kudu kuat kalau mau tinggal di desa. Tuyulnya dipelihara wkwkwkwk..bisa belanja online melulu dah haha.... Tulisan yang menarik!

    BalasHapus
  8. Pindah ke desa tuh emang kelihatannya indah, tapi kalau nggak siap mental, bisa kaget sendiri sama budaya dan sosialnya. Gimana, yakin udah siap?

    BalasHapus
  9. karena budaya desa itu dasarnya kebersamaan, susah senang ya dinikmati bareng gitu kalik ya hehehe jadi segala sesuatu harus dilakukan bebarengan. Tapi kalau desa sekarang bukannya ada wilayah yang sdh banyk perumahan macam kluster kecil gitu? jadi modelannya ya kayak tinggal dikota alias urusan dewe2 hehehe

    BalasHapus
  10. Setuju banget! Hidup di desa emang asyik, tapi jangan underestimate tantangannya. Banyak yang harus disiapkan, guys! 😊🌾 #ThinkBeforeMoving

    BalasHapus
  11. Saya sejak lahir hingga sekarang di kota besar. Pernah beberapa kali diketawain ketika bilang mau seterusnya di kota besar. Karena umumnya kan banyak yang ingin masa tua di desa. Tapi, ya, saya terbiasa dengan kota besar. Makanya gak tertarik pindah ke desa, kecuali sekadar liburan hehehe.

    Tapi jalan hidup kan gak ada yang tau. Kalau pun takdir membawa saya hidup di desa, semoga aja dapat lingkungan baik. Karena di kota besar pun suka banyak yang bilang gak enak kalau banyak tetangga yang kepo. Di lingkungan saya tinggal banyak sih yang gitu. Tapi, sejauh ini buat saya masih pada baik-baik aja :D

    BalasHapus
  12. Tinggal untuk hidup di desa itu memang ada kelebihan dan kekurangannya. Jadi memang harus siap lahir batin untuk pindah ke lingkungan baru dengan norma dan adat yang berlaku di sana yaa...

    BalasHapus
  13. Mbaaakk kyknya aku setuju ma kamu. Kalau orgnya introvert keknya kurang cucok tinggal di desa yang guyub yang semua org tahu urusan kita ngapain aja. Aku probadi gak bisaaa. Walau emang yaa ada sisi positive jd kyk punya banyak saudara ya dan kalau ada apa2 dibantuin ( kalau orgnua bener hehe). Aku pribadi gk kepikiran hidup di desa krn aku suka di jakarta coret di mana fasilitas kesehatan lengkap dan ada transportasi umum ynag memudahkan jalan ke mana2. Jd aku pensiunnya mungkin tetep milih di sini2 aja

    BalasHapus
  14. Jujur klo ditanya desa aku bingung. Apakah daerah pegunungan yg masih banyak pepohonan dibilang desa juga? Soalnya salah satu harapanku di masa tua nanti punya rumah di pegunungan yg masih asri, lalu punya kebun aneka hasil bumi untuk dikonsumsi sendiri. Hehe...

    BalasHapus
  15. Segala sesuatu memang ada kelebihan dan kekurangannya yang seimbang sebagai penyeimbang hidup sih ya. Kalau aku, mungkin tipe yang betahnya tinggal di komplek perumahan dari kecil. Ada kok kerja baktinya juga di sini. pi ya rasanya bisa lebih nyaman saja karena kalau mau ada kegiatan itu, diberitahunya jauh-jauh hari, nggak bisa dadakan sesederhana ujug-ujug dikabari lewat suara panggilan dari toa masjid. Benar sih, aku suka pedesaan untuk jadi wisatawan saja, sejauh ini.

    BalasHapus
  16. Samaan kak ini Depok juga awalnya begitu iuran2nya gak tanggung smp ratusan ribu..akhirnya kita mundur perlahan aja kalau ada yg ketok2 pintu gak dibukain, diminta sumbangan bilang uangnya dipake belanja smp akhir bosen minta

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!

 

PIKIRAN POSITIF Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template