HALO Sobat PIKIRAN POSITIF? Aku mau memenuhi janji, nih. Janji untuk kembali menulis tentang Kampung Ketandan Yogyakarta. Kali ini aku hendak membahas hal-hal yang terkait dengan sebutannya sebagai Pecinan.
Begini. Selama ini sebutanku terhadap Kampung Ketandan sama dengan orang-orang pada umumnya, yaitu Pecinan. Iya, Pecinan. Begitu saja. Tanpa ada embel-embelnya.
Akan tetapi, beberapa waktu lalu aku membaca sebuah hasil wawancara di portal berita daring. Temanya PBTY (Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta). Narasumbernya salah satu warga Kampung Ketandan.
Si narasumber mengatakan bahwa Ketandan lebih cocok disebut Pecinan Peranakan. Alasannya, sudah tidak ada lagi orang Tionghoa (Cina) Totok di situ. Yang tersisa adalah orang Tionghoa Peranakan.
O la la! Benar juga perkataannya. Sangat masuk akal. Secara logika memang begitu. Realitanya pun aku yakin begitu.
Hari gini? Masih ada orang Tionghoa Totok? Rasanya sulit dipercaya. Faktanya, sejak awal berdiri pun Ketandan tidak dihuni oleh orang Tionghoa yang langsung datang dari daratan Tiongkok.
Perlu diketahui bahwa Kampung Ketandan mulai eksis sejak didatangkannya orang-orang Tionghoa dari daerah pantura. Antara lain dari Jepara dan Surabaya. Ini terjadi semasa pemerintahan Sultan HB 1. Ketika Kota Yogyakarta, ibukota Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat baru berdiri.
Tentu orang-orang Tionghoa didatangkan ke Yogyakarta dengan tujuan tertentu. Lalu, apa tujuannya? Tak lain dan tak bukan untuk "menghidupkan" aktivitas perdagangan di Pasar Gedhe (kini bernama Pasar Beringharjo) yang baru dibangun.
Saudara-saudara kita yang berdarah Tionghoa tersebut memang dikenal piawai berdagang. Itulah sebabnya mereka yang ditugasi menyemarakkan perdagangan di Yogyakarta, terkhusus di Pasar Gedhe.
Sampai di sini jelas ya, kalau para penghuni Kampung Ketandan generasi pertama tidak langsung datang dari daratan Tiongkok. Mereka didatangkan dari pesisir pantura. Itu pun kemungkinan besar sudah bukan Tionghoa Totok, melainkan sudah Tionghoa Peranakan.
Kiranya itu bukan kesimpulan yang mengada-ada. Karena berdasarkan catatan sejarah yang telah dikaji para ahli, penduduk Nusantara mulai berinteraksi dengan orang-orang Tionghoa sejak 200 tahun SM.
Kugarisbawahi, ya. Tercatat 200 tahun SM. SM = Sebelum Masehi. Berarti sudah lama sekali. Kata Mas Erwin dari JWT by Malamuseum tempo hari, itu sebelum Yesus Kristus hadir di Yerusalem. Berarti pula sebelum Rasulullah SAW lahir. Sudah lama sekali 'kan? Tatkala itu yang berkuasa di Cina adalah Dinasti Han.
Silakan baca juga:
JWT Istimewa Imlek 2023.
Kalian yang beragama Islam tentu tak asing dengan kalimat penyemangat untuk belajar ini, "Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke Negeri Cina."
Terlepas dari perdebatan apakah kalimat nasihat itu merupakan hadis atau bukan, yang jelas Negeri Cina disebut-sebut. Berarti orang-orang di Jazirah Arab telah familiar dengan Negeri Cina walaupun lokasinya sangat jauh dari negeri mereka.
Tentu saja hal tersebut akan menjadi sebuah tulisan tersendiri kalau mau dibahas lebih detil. Dengan demikian, ruang lingkup pembahasannya bukan di tulisan ini.
Sekarang mari kembali ke Ketandan. Jadi, bila mengingat proses panjang kehadiran orang-orang Tionghoa di Indonesia (Nusantara), aku cenderung setuju kalau Ketandan lebih tepat disebut sebagai Pecinan Peranakan.
Tan Jin Sing* saja sudah Peranakan. Terlebih bila menilik para penghuni Ketandan terkini. Logikanya tentu makin Peranakan, dong. Makin terakulturasi.
Jelas mereka mayoritas lebih bisa berbahasa Jawa daripada berbahasa Mandarin. Jangan-jangan malah tak ada yang bisa berbahasa Mandarin sama sekali.
Kuperhatikan kalau bertemu orang dari luar Jawa, walaupun sesama Tionghoa Peranakan, dalam berkomunikasi tetaplah mempergunakan bahasa Indonesia. Bukan bahasa Cina.
Ketandan ini dekat dengan Malioboro, dekat pula dengan tempat tinggalku saat ini. Dengan demikian, aku cukup bisa mengamati bahwa akulturasi itu nyata adanya. 'Kan aku lumayan sering ke situ.
Pernah pula satu kegiatan PKK dengan warga Ketandan di kelurahan. Kampungku dan Kampung Ketandan memang sama-sama tergabung di Kelurahan Ngupasan. Lurah kami sama.
Akulturasinya pun dalam banyak hal. Bersifat fisik dan nonfisik. Secara fisik kita bisa melihat adanya akulturasi pada model bangunan yang ada di Ketandan. Silakan cermati foto-foto yang tersebar di tulisan ini. Ada yang terlihat Jawa banget, ada yang bernuansa Tionghoa. Sentuhan Belanda (Eropa)-nya juga ada.
Mungkin kalian bertanya-tanya. Sejak tadi kusebut-sebut adanya Tionghoa atau Cina Totok dan Peranakan. Apa artinya? Baiklah. Meskipun artinya sudah tersirat dari penjelasan-penjelasan di atas, akan kusuratkan saja supaya kian jelas.
Begini. Tionghoa (Cina) Totok adalah sebutan untuk WNI etnis Tionghoa yang kedua orang tuanya asli dari Tiongkok. Sementara Tionghoa Peranakan (atau biasa disebut Peranakan saja) berdarah campuran. Salah satu dari kedua orang tuanya penduduk lokal (penduduk Nusantara).
Sekarang kalian kian mengerti 'kan? Pastinya tambah paham juga, mengapa aku cenderung setuju kalau Kampung Ketandan Yogyakarta disebut Pecinan Peranakan.
Demikian ceritaku seputar sebutan Pecinan untuk Kampung Ketandan yang berlokasi di utara Pasar Beringharjo Kota Yogyakarta. Semoga ada manfaatnya. Minimal dapat menghibur.
Ternyata membahas ketepatan penyebutan saja bisa sepanjang ini, ya? Hahaha! Namun, wajarlah bila mengingat bahwa semua memang butuh penjelasan sejarah.
Ingat. Sejarah nyaris tak pernah pendek, bahkan mungkin benar-benar tak pernah pendek. Termasuk sejarah Ketandan yang dikenal sebagai salah satu Pecinan (Peranakan) di Yogyakarta.
*Tunggu tulisan sekuel tentang Tan Jin Sing
Keren kali ulasan ya, kakak....
BalasHapusTerima kasih telah singgah
Hapusjokja, spot foto untuk ngenang ngenang masa lampau itu masih ada ya mbak
BalasHapusMasih ada
Hapusternyata Jogya juga ada Kampung Pecinan ya. Seneng kalau bisa explore suatu tempat baru seperti mengunjungi kampung ketandan ini, sekaligus belajar sejarah juga
BalasHapusAda, Mbak, kalau setahuku malah ada empat.
Hapus