Jumat, 03 Februari 2023

Ketandan Yogyakarta Bukan Pecinan?

HALO Sobat PIKIRAN POSITIF? Aku mau memenuhi janji, nih. Janji untuk kembali menulis tentang Kampung Ketandan Yogyakarta. Kali ini aku hendak membahas hal-hal yang terkait dengan sebutannya sebagai Pecinan. 

Begini. Selama ini sebutanku terhadap Kampung Ketandan sama dengan orang-orang pada umumnya, yaitu Pecinan. Iya, Pecinan. Begitu saja. Tanpa ada embel-embelnya.

Akan tetapi, beberapa waktu lalu aku membaca sebuah hasil wawancara di portal berita daring. Temanya PBTY (Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta). Narasumbernya salah satu warga Kampung Ketandan. 

Si narasumber mengatakan bahwa Ketandan lebih cocok disebut Pecinan Peranakan. Alasannya, sudah tidak ada lagi orang Tionghoa (Cina) Totok di situ. Yang tersisa adalah orang Tionghoa Peranakan. 

O la la! Benar juga perkataannya. Sangat masuk akal. Secara logika memang begitu. Realitanya pun aku yakin begitu. 
 

Mural di sebuah toko di Ketandan (Dokpri Agustina)

Hari gini? Masih ada orang Tionghoa Totok? Rasanya sulit dipercaya. Faktanya, sejak awal berdiri pun Ketandan tidak dihuni oleh orang Tionghoa yang langsung datang dari daratan Tiongkok. 

Perlu diketahui bahwa Kampung Ketandan mulai eksis sejak didatangkannya orang-orang Tionghoa dari daerah pantura. Antara lain dari Jepara dan Surabaya. Ini terjadi semasa pemerintahan Sultan HB 1. Ketika Kota Yogyakarta, ibukota Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat baru berdiri.

Tentu orang-orang Tionghoa didatangkan ke Yogyakarta dengan tujuan tertentu. Lalu, apa tujuannya? Tak lain dan tak bukan untuk "menghidupkan" aktivitas perdagangan di Pasar Gedhe (kini bernama Pasar Beringharjo) yang baru dibangun. 

Saudara-saudara kita yang berdarah Tionghoa tersebut memang dikenal piawai berdagang. Itulah sebabnya mereka yang ditugasi menyemarakkan perdagangan di Yogyakarta, terkhusus di Pasar Gedhe.

Sampai di sini jelas ya, kalau para penghuni Kampung Ketandan generasi pertama tidak langsung datang dari daratan Tiongkok. Mereka didatangkan dari pesisir pantura. Itu pun kemungkinan besar sudah bukan Tionghoa Totok, melainkan sudah Tionghoa Peranakan. 

Kiranya itu bukan kesimpulan yang mengada-ada. Karena berdasarkan catatan sejarah yang telah dikaji para ahli, penduduk Nusantara mulai berinteraksi dengan orang-orang Tionghoa sejak 200 tahun SM


Salah satu spot berfoto favorit di Ketandan (Dokpri Agustina)

Kugarisbawahi, ya. Tercatat 200 tahun SM. SM = Sebelum Masehi. Berarti sudah lama sekali. Kata Mas Erwin dari JWT by Malamuseum tempo hari, itu sebelum Yesus Kristus hadir di Yerusalem. Berarti pula sebelum Rasulullah SAW lahir. Sudah lama sekali 'kan? Tatkala itu yang berkuasa di Cina adalah Dinasti Han.

Silakan baca juga:
JWT Istimewa Imlek 2023. 
 
 
 
Sebuah warung yamie di Ketandan (Dokpri Agustina)

Kalian yang beragama Islam tentu tak asing dengan kalimat penyemangat untuk belajar ini, "Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke Negeri Cina." 

Terlepas dari perdebatan apakah kalimat nasihat itu merupakan hadis atau bukan, yang jelas Negeri Cina disebut-sebut. Berarti orang-orang di Jazirah Arab telah familiar dengan Negeri Cina walaupun lokasinya sangat jauh dari negeri mereka. 

Tentu saja hal tersebut akan menjadi sebuah tulisan tersendiri kalau mau dibahas lebih detil. Dengan demikian, ruang lingkup pembahasannya bukan di tulisan ini. 

Sekarang mari kembali ke Ketandan. Jadi, bila mengingat proses panjang kehadiran orang-orang Tionghoa di Indonesia (Nusantara), aku cenderung setuju kalau Ketandan lebih tepat disebut sebagai Pecinan Peranakan. 

Tan Jin Sing* saja sudah Peranakan. Terlebih bila menilik para penghuni Ketandan terkini. Logikanya tentu makin Peranakan, dong. Makin terakulturasi.

Jelas mereka mayoritas lebih bisa berbahasa Jawa daripada berbahasa Mandarin. Jangan-jangan malah tak ada yang bisa berbahasa Mandarin sama sekali.

Kuperhatikan kalau bertemu orang dari luar Jawa, walaupun sesama Tionghoa Peranakan, dalam berkomunikasi tetaplah mempergunakan bahasa Indonesia. Bukan bahasa Cina. 

Ketandan ini dekat dengan Malioboro, dekat pula dengan tempat tinggalku saat ini. Dengan demikian, aku cukup bisa mengamati bahwa akulturasi itu nyata adanya. 'Kan aku lumayan sering ke situ. 

Pernah pula satu kegiatan PKK dengan warga Ketandan di kelurahan. Kampungku dan Kampung Ketandan memang sama-sama tergabung di Kelurahan Ngupasan. Lurah kami sama.

Akulturasinya pun dalam banyak hal. Bersifat fisik dan nonfisik. Secara fisik kita bisa melihat adanya akulturasi  pada model bangunan yang ada di Ketandan. Silakan cermati foto-foto yang tersebar di tulisan ini. Ada yang terlihat Jawa banget, ada yang bernuansa Tionghoa. Sentuhan Belanda (Eropa)-nya juga ada.


Toko roti legendaris (Dokpri Agustina)

 
Dua bangunan toko yang serupa (Dokpri Agustina)

Mungkin kalian bertanya-tanya. Sejak tadi kusebut-sebut adanya Tionghoa atau Cina Totok dan Peranakan. Apa artinya? Baiklah. Meskipun artinya sudah tersirat dari penjelasan-penjelasan di atas,  akan kusuratkan saja supaya kian jelas. 

Begini. Tionghoa (Cina) Totok adalah sebutan untuk WNI etnis Tionghoa yang kedua orang tuanya asli dari Tiongkok. Sementara Tionghoa Peranakan (atau biasa disebut Peranakan saja) berdarah campuran. Salah satu dari kedua orang tuanya penduduk lokal (penduduk Nusantara).

Sekarang kalian kian mengerti 'kan? Pastinya tambah paham juga, mengapa aku cenderung setuju kalau Kampung Ketandan Yogyakarta disebut Pecinan Peranakan. 
 
 
Sebetulnya ini sebuah toko bahan bangunan (Dokpri/Agustina)

Demikian ceritaku seputar sebutan Pecinan untuk Kampung Ketandan yang berlokasi di utara Pasar Beringharjo Kota Yogyakarta. Semoga ada manfaatnya. Minimal dapat menghibur.

Ternyata membahas ketepatan penyebutan saja bisa sepanjang ini, ya? Hahaha! Namun, wajarlah bila mengingat bahwa semua memang butuh penjelasan sejarah.

Ingat. Sejarah nyaris tak pernah pendek, bahkan mungkin benar-benar tak pernah pendek. Termasuk sejarah Ketandan yang dikenal sebagai salah satu Pecinan (Peranakan) di Yogyakarta. 

*Tunggu tulisan sekuel tentang Tan Jin Sing





50 komentar:

  1. Keren kali ulasan ya, kakak....

    BalasHapus
  2. jokja, spot foto untuk ngenang ngenang masa lampau itu masih ada ya mbak

    BalasHapus
  3. ternyata Jogya juga ada Kampung Pecinan ya. Seneng kalau bisa explore suatu tempat baru seperti mengunjungi kampung ketandan ini, sekaligus belajar sejarah juga

    BalasHapus
  4. Bakmi Ketandan enak banget, btw kak ke pecinan Ketandan ini ikut tour yah? aku udah 2 tahun di Jogja ga pernah ikut tour2 gituu ke pelosok2 kampung jogja

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, aku ikutan tur yg diselenggarakan JWT by Malamuseum agar tahu sejarahnya.

      Hapus
  5. Nama " kampung ketandan" ternyata ada di banyak kota. Dengan ciri yang sama dan berada di tengah kota. Di Surabaya juga ada kampung tua bernama ketandan dengan cerita yg hampir sama.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, karena ketandan itu asal mula katanya dari "tanda" (bahasa Jawa), yg berarti penghuni Kampung Ketandan adalah orang-orang yg berprofesi sbg pemberi tanda, yakni tanda klo seseorang telah membayar pajak.

      Hapus
  6. Makasih ulasannya, saya pribadi pasti suka dengan hal-hal dari kebudayaan lain. Suka karena keunikannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama, Kak. Yup. Budaya lain memang selalu menarik.

      Hapus
  7. Jadi kebanyakan Tionghoa di Kampung Ketandan sudah peranakan ya mba? sudah ga adakah generasi Tionghoa Totoknya? Artikelnya menarik,, rasanya kampung pecinan ini terlokalisasi di beberapa kota besar di Indonesia ya.. termasuk di tempat asal saya di Tangerang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bahkan di seantero Indonesia sudah peranakan mayoritasnya, atau malah sudah tak ada sama sekali.

      Benar, Mbak. Ada banyak sekali pecinan di Indonesia, bahkan di dunia.

      Hapus
  8. Baca sejarah ini bukan cuma jadi tau soal sejarah kampung ketandan tapi juga mengenai perbedaan cina totok dan cina peranakan, walaupun sama-sama Pecinan tapi tentunya perbedaan ini berpengaruh pula terhadap sejarah di tempat tersebut

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pada akhirnya memang menyebabkan pergeseran/perbedaan, Kak.

      Hapus
  9. Asyik nih pembahasannya, ngomongin sejarah, toponimi, nama nama tempat memang menarik, termasuk sebutan Cina Totok dan Cina Peranakan. Tionhoa, atau sebutan lainnya...

    BalasHapus
  10. yayaya....ketandan yogyakarta bukan kampung pecinan.
    okelah kalau beg...beg...beg...begitu.... ahahahaha.....
    senuah ulasan yang runtut dan gamblang.
    like this article.

    yang jelas kita tidak boleh membenci sebuah ethnis hanya karena ulah segelintir orang.

    salam rahayu

    BalasHapus
  11. Saya baru pertama kali berkunjung ke blog ini. Unik ya karena artikelnya seputar Jogja. Apalagi artikel ini yang mengulas Kampung Ketandan Yogyakarta. Semoga nanti saya bisa pergi ke sana juga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal, Bang. Semoga ketagihan buat main ke sini.

      Hapus
  12. Kalo dulu tuh suka lucu sendiri, loh cina tapi kok totok, hehe.. ternyata memang ada peranakannya ya.

    BalasHapus
  13. Menarik sekali melihat masih berdiri tegaknya bukti akulturasi yang hadir di Yogyakarta. Jadi ingat daerah pecinan di kota kelahiran saya di Banten yang menjajakan berbagai macam makanan khas yang membuat berliur hehe

    BalasHapus
  14. Artikel ini memberikan wawasan yang menarik mengenai sebutan "Kampung Ketandan" di Yogyakarta. Diskusi tentang apakah sebutannya seharusnya "Pecinan" atau "Pecinan Peranakan" adalah pertanyaan menarik, karena melibatkan elemen sejarah dan budaya yang kompleks.

    Penjelasan tentang perbedaan antara "Tionghoa Totok" dan "Tionghoa Peranakan" memberi pemahaman yang lebih dalam tentang komunitas Tionghoa di Indonesia. Melalui artikel ini, kita dapat memahami bahwa sebutan "Pecinan Peranakan" tampaknya lebih akurat menggambarkan komposisi dan akulturasi budaya di Kampung Ketandan saat ini.

    Artikel ini juga mengilustrasikan bagaimana sejarah, budaya, dan bahasa memengaruhi identitas suatu komunitas, dan bagaimana akulturasi budaya dapat menghasilkan keselarasan yang unik.

    Selain itu, tulisan ini memberikan gambaran visual melalui foto-foto yang menyertai artikel, yang menunjukkan keragaman arsitektur dan budaya di Kampung Ketandan. Dengan begitu, pembaca bisa mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang kampung ini.

    Terima kasih atas artikel yang menggugah pemikiran ini. Ini adalah contoh bagus tentang bagaimana sejarah, identitas, dan bahasa berinteraksi dalam membentuk sebutan suatu komunitas. Semoga tulisan tentang "Tan Jin Sing" yang dijanjikan menjadi lanjutan yang menarik.

    BalasHapus
  15. Saya sering main ke Jogja baru tau ada Kampung Ketandan ini, bisa jadi salah satu destinasi buat dikunjungi nih Kampung Ketandan buat liat-liat sejarah yang ada di sana.

    BalasHapus
  16. Seru banget bacanya, tulisannya lumayan detail. Aku baru tau sama Kampung Ketandan karena ke Jogja pun selama ini pas ikut study tour aja XD ke Malioboro taunya sama jalan ikonik dan belanja aja ckck. Makasih infonya Kak!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yoiii, sama-sama.Next klo ke Yigyakarta lagi mampirlah ke Ketandan.

      Hapus
  17. Aku kalau ke Yogya belum pernah kesini, boleh nih next trip ke sini, kebetulan aku suka banget dengan suasana pecinan tempo dulu gitu....

    BalasHapus
  18. Beberapa kali berkunjung ke Jogja tapi saya belum pernah ke kampung Ketandan ini. Terima kasih ulasannya kak, jadi tertarik untuk kesana, melihat foto-foto bangunannya juga unik dan menarik.

    BalasHapus
  19. Spot dengan suasana lawas alias jadul emang lagi banyak diminati. Dulu kalau ke jogja, pasti nyari info terkait tempat-tempat dengan suasana seperti ini. Btw, aku juga baru tahu tempat ini ada di Jogja. Next time kalau kesana lagi, mungkin disempetin mampir dah!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayo, Kak, beneran diagendakan. Ini sangat dekat dengan Malioboro, kok.

      Hapus
  20. Melihat foto fotonya beneran seperti ditarik ke masa lampau dan terlihat sangat berciri khas banget. Pecinan ini menyenangkan kalau terawat baik dan gejolak kehidupannya masih ada seperti petak sembilan atau kya kya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, soal gejolak kehidupannya itu, Bang, yg sekarang kayaknya mulai meredup.

      Hapus
  21. Mbak saya orang Yogya, tapi kok saya baru tahu kalau ada kampung pecinan di Yogya. Kudet banget aku, mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe ... ini yang kutulis Pecinan yang berlokasi di utara Pasar Beringharjo. Yang banyak orang jual emas itu, lho. Mungkin Mbak pernah ke situ, tapi enggak ngeh saja.

      Hapus
  22. Wwkwkwk..dulu sering banget nih mampir ke kota gedhe, pasar beringharjo. Memang di sana banyak banget bangunan dengan arsitekturnya yang keren keren. Ada juga kalau gak salah yang jadi lokasi syutingnya acara hantunya Mister Tukul dulu..lupa namanya apa, tapi bangunannya warna ijo

    BalasHapus
  23. Saya asli lombok kak tapi dengan melihat artikel ini jadi pengen mengenal lebih dekat istilah2 dari daerah2 lain hehe. kapan2 bahas yang di lombok kak

    BalasHapus
  24. Ulasan yg amat sangat menarik πŸ‘πŸΌDari dulu ingiin mengulik ttg Ketandan yg kukenal sbg Pecinannya Jogja. Kpn2 kurepotin deh dikau Kakak syantik 😊 πŸ‘πŸΌ makaciiiiiih ya.

    BalasHapus
  25. Suka banget baca artikel ini...runut diulas tentang Kampung Ketandan. Menambah wawasan begitu banyak kawasan Pecinan yang ada di Indonesia dan salah satunya Kampung Ketandan. Pernah dengar pun baca namanya, karena letaknya dekat dengan Malioboro tapi dari artikel ini baru ngeh sejarah dan keunikannya.

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!

 

PIKIRAN POSITIF Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template