Jumat, 28 April 2017

Sawah yang Teriris Pisau Konsumerisme

Sepenggal sawah yang masih tersisa di kampungku

KEMARIN sore dengan iseng aku berkeliling kampung. Mumpung ada waktu senggang. Senyampang ada jeda di sela-sela kegiatan yang tengah memadat. Dan, selagi ada kawan yang mau kuajak iseng berkeliling kampung. 

Apa hasil dari aktivitas berkeliling itu? Sudah pasti hasil fisiknya adalah lelah dan haus. Sementara hasil nonfisiknya adalah timbulnya keprihatinan yang mendalam. Why? Prihatin untuk apa? Yeah, untuk apa lagi kalau bukan untuk sawah-sawah yang menghilang. 

Seiring dengan bertambahnya penduduk, memang banyak rumah baru yang berdiri. Di ujung selatan dan ujung utara kampung kami, kini ada kompleks perumahan. Sebagai konsekuensinya, sebagian areal persawahan menghilang. Hamparan hijau yang biasa kami lalui pun berganti rupa. 

Sawah memang belum benar-benar musnah dari kehidupan kami. Namun, indikasinya kok mengarah ke sana? Duh, duh. Semoga ini hanya pikiran lebay-ku saja. Sekadar pikiran cemasku yang kurang beralasan. 

Aku membayangkan. Andai semua sawah di seluruh Indonesia berubah jadi bangunan, apa yang akan terjadi? Masak profesi petani tinggal kenangan? Tinggal menjadi cerita sejarah dalam bidang studi sejarah? Duh, duh. Kalau sampai begitu kejadiannya, apa kabar swasembada pangan Indonesia?

Apa boleh buat? Aku cuma rakyat jelata. Bukan camat yang berwenang mengambil keputusan. Jadi, tak bisa mengambil keputusan apa pun untuk menyelamatkan sawah-sawah itu. 

Jangankan mengambil keputusan. Memanggil kembali belibis-belibis putih, yang biasanya singgah di area persawahan itu, juga tak mampu kulakukan. Sekali lagi, apa boleh buat? Aku hanya bisa merasa kehilangan sebab belibis-belibis tersebut sudah jarang terlihat.

Sejauh pengamatanku, yang menjadi biang keladi adalah konsumerisme. Ya, itulah penyebab utama menghilangnya sebagian besar sawah di kampung kami. Sebab tergoda untuk segera memiliki sepeda motor, sepetak sawah warisan leluhur pun dijual. Ndilalah ada penguasaha properti yang butuh tanah. Ya, sudah. Klop. 

Tak menunggu lama, kurang dari satu dekade, kompleks perumahan telah menggantikan padi-padi yang menguning. Sebetulnya menyedihkan. Hanya karena tuntutan gaya hidup, semangat memelihara warisan leluhur pun menguap begitu saja. Alih-alih menambah luas sawah. Eh, malah mengurangi luasnya dengan brutal.

Meskipun bukan kerabat si pemilik sawah, aku turut berduka. Kok sebegitu mudahnya orang menjual tanah, ya? Padahal, demi membeli sepeda motor belaka. Padahal pula, sepeda motor itu sekadar dipakai untuk jalan-jalan. Bukan untuk kepentingan pekerjaan.

MORAL CERITA:
Sesekali tengoklah kondisi desa dan amatilah, apakah sawah-sawahnya masih ada?


  

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!

 

PIKIRAN POSITIF Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template