Rabu, 11 Mei 2016

MEMARAHI ANAK ORANG









SUDAH lama aku ingin menulis di blog dengan judul "Memarahi Anak Orang". Alhamdulillah setelah tertunda sekian lama, gara-gara tergeser oleh judul-judul lain yang kupikir lebih urgen untuk segera dituliskan, hari ini keinginanku tersebut terpenuhi. Aku yakin, hal demikian tak lepas dari campur tangan Tuhan. Aku baru diperkenankan-Nya menulis dengan tema/judul tersebut hari ini dengan alasan tertentu.

Alasan tertentu apa? Menurut perkiraanku sih, supaya aku tak menuliskannya dengan emosi tinggi. Iya. Tulisanku ini memang terinspirasi kisah buruk Adiba. Yakni kisah buruk tatkala ia dimarahi oleh mama seorang temannya. Dimarahinya di depan seorang guru. Guru baru pula. Karena baru, sang guru pun belum paham bagaimana Adiba yang sebenarnya. 

Walhasil, sang guru sempat berpikiran bahwa Adiba memang biang kerok. Sangat bandel, tak perhatian pada pelajaran, suka mengajak temannya untuk berbuat buruk, dan ngelayap terus sepanjang hari. Pikiran sang guru mungkin dapat dimaklumi sebab faktanya, Adiba diomeli sebegitu rupa oleh mama temannya. Logikanya, bila diomeli dengan dahsyat maka kesalahan si anak memang dahsyat. 

Apa boleh buat? Usut punya usut, mama sang teman salah tuduh. Pas main sampai malam, sang anak tidak mengajak/mengikuti Adiba. Setelah waktu kejadiannya diklarifikasi, jelas terbukti kalau pada saat anaknya kelayapan sampai malam, Adiba justru pulang sekolah tepat waktu. Dan sore hingga malamnya, kuajak ke sebuah acara.

Tapi aku tak hendak memperpanjang masalah. Hanya saja, aku amat menyayangkan sikap bodoh mama teman anakku. Memarahi anak orang adalah tindakan salah. Menurutku begitu. Apalagi memarahinya di depan umum. Saat itu sedang bubaran sekolah, anak-anak masih banyak yang sedang menunggu jemputan. Yang tak dijemput pun banyak yang masih bermain-main di sekolah. 

Aku bukanlah ibu yang lemah lembut. Sesekali aku pun memarahi Adiba bila bandelnya keterlaluan. Namun, aku tidak mengomelinya di depan umum. Sebab aku tahu, memarahinya di depan umum jelas akan membuat hatinya terluka. Maka pada detik pertama aku tahu peristiwa buruk itu, rasa marahku sempat membuncah. Ya. Aku marah pada mama teman Adiba itu.

Syukurlah Tuhan meminjamiku kesabaran besar. Bahkan ketika ayah Adiba tersulut emosi hendak ganti melabrak, aku mampu untuk mencegahnya. Bukan malah memprovokasinya. Alhamdulillah, Alhamdulillah.

Aku pun tak bernada emosional ketika "menginterogasi" Adiba. Dengan nada bicara yang kubikin sesantai mungkin, aku bertanya, "Nak. Pas kamu dimarahi, apa X tidak bilang ke mamanya kalau dia mainnya tidak sama kamu?"

"Sudah, Bunda. Dia sampai teriak-teriak bilang ke mamanya. Tapi mamanya enggak mau dengerin...."
"Lalu?"
"Lalu, aku dipaksa bu guru untuk minta maaf. Padahal aku 'kan tidak salah? Aku tidak mengajak X  main, kok. Aku 'kan malu banget. Banyak yang melihat. Aku marah pada mama X. Makanya aku nangis keras waktu itu. Jahat banget. "

Mendengar jawaban Adiba, hatiku terasa  hancur. Aku tahu kalau anakku cenderung bandel dan berani berantem. Termasuk pula ke dalam golongan anak-anak pengikut gafatar. Tapi sisi positifnya, dia jenis anak yang sportif. Hanya akan berantem bila lawannya telah memulai. Kalau jelas-jelas merasa bersalah, ia rela menerima hukuman apa pun sebagai konsekuensinya; tanpa banyak cingcong. 

Akhirnya kubilang begini kepada Adiba, "Sudahlah. Maafkan saja mama si X. Bunda paham sih, kalau kamu marah banget kepadanya. Tapi mulai sekarang kalau main, tak usah ngajak-ngajak X."

Adiba spontan menjawab, "Iya. Aku tahu, Bunda. X sering dimarahi guru karena suka membentak-bentak. Tapi dia masih kalah kalau diomeli mamanya." Heh? Aku jadi tercengang mendengar jawaban Adiba. Duh, duh. Begitu ya, rupanya? Pantas saja.

Dan sesungguhnya hingga hari ini, aku setia menunggu panggilan dari sekolah. Tepatnya dari wali kelas Adiba. Jamaknya anak bermasalah, si orang tua anak yang bersangkutan akan diminta untuk menghadap. Tapi ini sudah berbulan-bulan. Panggilan buatku tak kunjung ada. Mungkin pula tak akan pernah ada. Sebab belakangan Adiba justru kerap bercerita, si X tetap sering bolos sekolah. Tetap telat datang. Tetap melalaikan PR. Hmm.

Ketika sekali waktu si X datang ke rumah, aku pun tak menyinggung perihal kemarahan mamanya kepada Adiba. Jika X sedang mampu berangkat sekolah awal dan ia ngampiri Adiba pakai sepeda, maka senyum manisku masih tersedia buat si X. Maka ia tak merasa takut kepadaku.

X dan Adiba tak lantas bermusuhan meskipun ada peristiwa buruk itu. Lihat saja foto-foto di atas. Mereka tampak akrab dan bahagia. Masak sih aku akan gantian memarahi X ketika kemarin Adiba pulang senja, sementara yang mengajak main adalah X?

Aku terluka ketika anakku dimarahi orang. Maka wajib bagiku untuk tak memarahi anak orang sembarangan. Terlebih Adiba sendiri sudah wanti-wanti kepadaku, "Bunda jangan ikut-ikutan seperti mama X. Nanti aku malu dianggap punya ibu yang galak."

#Peristiwa buruk ini tak akan pernah sampai ke telingaku bila penjaga sekolah tak melapor ke ayah Adiba
# Jelas ini merupakan sebuah curhatan
#Semoga curhatanku ini bisa menjadi bahan pembelajaran bagi siapa saja

MORAL CERITA:
Sebagai orang tua, kita wajib berpikir panjang sebelum melakukan apa pun yang terkait dengan anak-anak. Baik anak-anak kita sendiri maupun anak-anak orang lain.
 
 

4 komentar:

  1. Memarahi anak/teman anak kita itu tidak bijak. Ajak ngobrol saja atau pancing anak untuk bercerita.

    BalasHapus
    Balasan
    1. nah itulah Mbak.... lha ini ada seorang mama kok memarahi anak orang lain seenaknya

      Hapus
  2. Super sekali ibunda Adiba, lain ceritanya kalau bundanya Adiba itu saya, mungkin akan ketemu di ruang kepala sekolah,

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe...Alhamdulillah Mbak Tanti, detik itu saya dipinjami kesabaran berlimpah oleh-Nya

      Hapus

Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!

 

PIKIRAN POSITIF Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template