TERINSPIRASI postingan seorang teman di blognya, kali ini aku mau berbagi kisah sedih. Hehehe.... Maksudku, kisah sedih sebab naskah gado-gadoku ditolak Femina. Daripada jaim kusimpan-simpan malah tak bermanfaat, lebih baik ditaruh di blog ini saja. Lumayan untuk ODOP, lumayan pula bila malah bisa memotivasi Anda untuk tetap tegar dalam menghadapi penolakan naskah. Yuk, langsung cap cus. Semoga apa pun yang terjadi, naskah gado-gadoku yang gagal ini tetap bisa memberikan nutrisi jiwa. Halahh.... 
========================
Gado-Gado
DI BALIK Rp5.000,00
Oleh Agustina Soebachman
TIAP sore, baik sedang bokek maupun tengah punya 
uang lebih, saya merasa wajib menyiapkan uang Rp5.000,00. Sebenarnya 
sih tak ada orang lain yang mewajibkannya. Hanya saja atas nama penghargaan 
terhadap sesama, saya merasa perlu untuk mewajibkan diri saya sendiri. 
Sebenarnya untuk apa uang itu? Jawabnya, untuk jajan dua bungkus mi 
lethek (mi khas Bantul, Yogyakarta) dan sebungkus pecel. 
Sejujurnya menyisihkan uang segitu buat jajan tiap 
sore lumayan berat bagi saya. Apalagi kalau sedari pagi saya sudah keluar 
banyak uang untuk membayar ini-itu. Wah! Pengeluaran Rp5.000,00 di sore 
hari pun kian terasa beraaat. Andaikata Rp5.000,00 itu saya kumpulkan, 
dalam sebulan saya sudah punya tabungan sebesar Rp150.000,00. Sudah 
bisa untuk membayar rekening listrik, air, dan pulsa modem untuk internetan.
Maaf. Semua kalkulasi biaya di atas menurut hitungan 
kebutuhan saya pribadi, lho. Tentu saja bagi Anda yang punya strata 
ekonomi tinggi, uang segitu rupiah tidak besar nilainya. Bagi Anda yang 
terbiasa ngopi di warkop mahal, 
Rp5.000,00 itu pun belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan harga 
secangkir kopi yang Anda nikmati. 
Apalagi sebenarnya saya bukanlah penggemar mi lethek 
dan pecel. Saya sekadar doyan. Bahkan lama-kelamaan sebab tiap hari 
mengonsumsinya, saya beranjak bosan. Namun, saya bertahan untuk selalu 
membelinya. Saya tidak tega bila berhenti membelinya. Saya tak ingin 
bikin kecewa penjualnya, yang sudah bela-belain mengetuk pintu 
rumah saya, lalu menawarkan dagangan dengan senyum manisnya.  Ya, ya. 
Sesungguhnya faktor penjualnyalah yang menyebabkan saya bersikeras mewajibkan 
diri untuk menyediakan Rp5.000,00 pada tiap sore.
Siapakah penjualnya? Ia adalah seorang nenek yang 
berusia sekitar 60 tahun. Ia merupakan tipikal perempuan desa pekerja 
keras, yang tak pernah tunduk pada kesulitan hidup. Buktinya, ia gigih 
bertani (mengerjakan sawah orang) dan berjualan dengan laba tak seberapa 
demi mencukupi kebutuhan keluarga. Tak peduli hari hujan atau cerah, 
ia rutin berkeliling dengan sepeda tuanya dari dusun ke dusun. Padahal 
ia berkebaya dan berkain, lho. Dan, beban di boncengan sepedanya tidaklah 
ringan. Adapun karena usia renta dan sakit, suaminya tak lagi mampu 
bekerja. Yup! Si nenek merupakan tulang punggung keluarga. 
Begitulah adanya. Jadi, saya bela-belain menyisihkan 
Rp5.000,00 tiap sore sebab bersimpati kepada nenek penjaja aneka gorengan, 
mi lethek, dan pecel itu. Terlebih tak sekadar bertransaksi jual-beli, 
kami juga kerap kali bertukar cerita layaknya saudara. Tema ceritanya 
apa saja. Termasuk sebab-musabab dirinya menjadi penjual jajanan keliling. 
Ia berkisah, dulunya menjadi tukang cuci piring di sebuah warung sate 
dan tongseng kambing. Dengan jam kerja singkat (09.30-15.00 WIB), upah 
bulanannya Rp700.000,00 plus makan dan bonus. Sangat lumayan jika dibandingkan 
dengan jam kerja dan penghasilannya kini.
Namun, ia dan 4 karyawan lainnya terpaksa di-PHK 
sebab warung besar dan laris itu tutup. Yang menutup putri tunggal mendiang 
pasangan suami istri pemilik warung. Bukan karena bangkrut melainkan 
sebab gengsi tinggi yang salah kaprah si calon mertua. Iya, saya sebut 
gengsi tinggi salah kaprah karena memang salah kaprah dan paraaah kaprahnya. 
Hehehe…. 
Ceritanya begini. Si putri semata wayang itu selulusnya 
kuliah berniat mengembangkan bisnis warung mendiang orang tuanya sembari 
berkarier di kantor. Tapi orang tua calon suaminya berkeberatan. Mereka 
malu kalau bermenantukan seorang penjual sate dan tongseng; sekalipun 
jualannya dalam skala besar alias juragan.  Apa boleh buat? Di 
mata calon mertua, menjadi pegawai kantor lebih terhormat dan bergengsi 
jika dibandingkan dengan menjadi juragan sate dan tongseng kambing. 
Walhasil demi cinta, bisnis warisan orang tua pun dihabisi. 
Saya pribadi yang bercita-cita punya bisnis apa saja 
dan sukses, tentu saja merasa gemas mendengar cerita tersebut. Gemas 
pada calon mertua yang salah kaprah gengsinya. Gemas pada si putri yang 
tak berpikiran jauh; bahwa dengan ditutupnya warung itu berarti ada 
5 manusia yang kelimpungan kehilangan penghasilan; bahwa mendiang orang 
tuanya mungkin kecewa sebab toh dari hasil warung itulah si putri bisa 
bersekolah hingga sarjana. Gemas pada diri sendiri yang tak kunjung 
berani membuka bisnis apa pun padahal sudah punya sederet perencanaan…. 
Saya pun berandai-andai. Coba kalau saya yang diwarisi 
bisnis warung sate dan tongseng laris. Tentu saya amat senang ibarat 
mendapatkan durian runtuh. Eh, malah warung laris yang prospektif itu 
ditutup begitu saja. Hmm. Inilah kiranya yang disebut kehidupan. Kalau 
menurut falsafah Jawa, wang sinawang (= saling 
memandang). 
Gara-gara Rp5.000,00 yang kadang kala saya sisihkan 
dengan berat, saya nambah saudara dan kisah 
tentang lika-liku kehidupan manusia. Saya pun jadi belajar untuk berpikir 
dan bersikap bijak; tak menyalahkan si putri walaupun gemas dengan keputusannya 
menutup warung. Saya juga merasa diberi-Nya teladan nyata plus semangat 
melalui diri si nenek yang tak tunduk pada kesulitan hidup. Iya. Di 
balik Rp5.000,00 yang mungkin tak seberapa nilainya bagi Anda, ternyata 
tersimpan banyak makna dan peristiwa tentang hidup!
=================
MORAL CERITA:
Aku butuh masukan alias kritikan alias pemberitahuan nih. Mengapa naskahku tak layak sebagai "gado-gado"? Mohon bantu ya teman-teman yang sudah berhasil lolos....
 
 
 
 

Mb tinbe aq ikutan gemes sama si tuan putri. Aq baca postingan ini sampe dua kali. Serius
BalasHapusMbak Irul....hahaha....makasih sdh mampir..
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusEh aku tadi dah komen trus kuhapus. anu mbak mungkin karena seperti ada dua kisah. kisah si nenek dan kisah si putri pemilik RM. Memang berhubungan sih tapi sepertinya tidak fokus (komen sok tau bin nggaya)
BalasHapusbtw, tengok blogku ya ada postingan gado-gadoku yang baru dimuat minggu kemaren.
oke mn Indah, makasihh...
Hapus