Rabu, 06 April 2011

BOM BUKU, Siapa Penerbitnya?

KAPAN sih negeri ini bisa tenang? Selaluuu saja ada hal yang menghebohkan dalam artian negatif. Bentrokan aparat vs rakyat, kerusuhan massal, tawuran antarkampung, kongres PSSI yang ricuh, aliran sesat, kebrutalan orang-orang yang berdalih membela Tuhan (padahal Tuhan 'kan tak perlu dibela?) ... dan segudang kehebohan negatif lainnya.

Yap! Anda pasti mafhum bahwa kehebohan yang lagi nge-trend belakangan ini ya perihal bom buku. Waduh, brilian juga sih idenya. Membungkus kebrutalan dengan ikon intelektualisme. Kira-kira siapa ya perancang idenya? Saya akui ide itu memang kreatif; mungkin juga inovatif. Namun, tentunya ya kreatif-inovatif yang tidak pada tempatnya. Bukan sekadar tidak pada tempatnya, melainkan telah masuk kategori terorisme.

Tahu enggak? Selain mencelakakan jiwa orang, bom buku bisa pula mencabik-cabik harkat dan martabat buku. Hmm, Anda pasti sering mendengar ungkapan sebagai berikut: BUKU ADALAH GUDANG ILMU; BUKU ITU JENDELA DUNIA. Bagi orang yang gemar membaca-belajar, ungkapan itu sungguh terasa kebenarannya. Sebaliknya bagi orang yang tidak suka membaca, ungkapan itu bagai angin lalu. Apa boleh buat? Tak ada peristiwa bom buku saja dianggap angin lalu; apalagi ketika ada heboh-heboh bom buku. Wah, jangan-jangan orang yang tak gemar membaca makin punya pembenaran atas sikapnya yang antibuku deh. Tepatnya, makin punya alasan untuk menjauhi buku... hihihi... Benar, saya tidak bercanda, lho. Kan memang ada tipe orang yang BCA alias Banyak Cari Alasan gitu....

Di sisi lain, peristiwa bom buku juga melahirkan lelucon baru; olok-olokan baru seputar buku. Misalnya yang pernah saya temui nih. Tetangga saya, seorang anak TK, minta dibelikan buku gambar. Eh, bapaknya nyeletuk, "Gak usah beli-beli buku. Ada bomnya. Nanti meledak, lho." Tentu saja si bapak cuma bercanda. Namun, apa reaksi anaknya? Yeah... seperti anak-anak pada umumnya lah ya...
Dengan tatap mata penuh tanda tanya si anak berkata, "Ha? Bukunya meledak? Kayak kompor gas?"

Bapaknya dengan sembrono menjawab, "Iya. Kayak kompor gas. Makanya gak usah minta-minta dibelikan buku." Si anak pun melongo. Ia mengerutkan kening sedikit. Tampaknya sedang berpikir. Ya, berpikir tentang hubungan kompor gas yang meledak dengan buku gambar. Sayang bapaknya segera berlalu. Tinggallah si anak termangu bertanya-tanya sendiri.

Selesaikah dialog bapak-anak tersebut? Tampaknya memang selesai. Mereka tidak bercakap-cakap lagi toh? Namun, sebenarnya persoalan tak berhenti di situ. Jika bapaknya telah melupakan percakapan dengan anaknya, tidak demikian halnya dengan si anak. Benak si anak dipenuhi tanda tanya: buku gambarku nanti bisa meledak? Wah, menakutkan! Tetapi, benarkah buku itu bisa meledak?

Demikianlah. Lelucon ini, olok-olokan ini, sungguh tidak lucu jika dilontarkan kepada anak kecil. Apalagi tanpa penjelasan lebih lanjut seperti kejadian di atas. Bisa menyesatkan. Jangan salah lho, si anak yang bersangkutan bisa padam semangat belajarnya. Sebab ia takut; sebab ia was-was jika bukunya meledak. Tanpa diberi penjelasan memadai, si anak bisa salah paham terhadap buku. Akibatnya gawat, lho. Dia bisa takut pada buku. Waww, bagaimana bisa pintar kalau lihat buku saja alergi?

Mari berandai-andai. Bila ada sepuluh anak yang alergi buku, berarti Indonesia telah kehilangan sepuluh calon intelektual muda. Itu baru sepuluh. Bagaimana jika seratus, seribu, sejutaaa... Wah, wah, wah! Hancurlah negeri ini. Maka para orang dewasa, berhati-hatilah dalam berkata dan bercanda di hadapan anak-anak. Ingat kan? Mereka ibarat kertas putih yang siap kita tulisi apa saja. Mereka ibarat gelas yang siap kita tuangi minuman apa saja.

Jadi kalau ada bom buku, siapa penerbitnya? Ah, ah, ah... nyambung gak sih judul dan isi tulisanku ini? Yeah, nyambung gak nyambung semoga tetap jadi inspirasi ya...


0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!

 

PIKIRAN POSITIF Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template