Jumat, 24 Februari 2023

Siapa Tan Jin Sing? (2)

0 komentar
#BagianKedua

HAI, hai. Apakah engkau sedang menunggu lanjutan tulisan tentang Tan Jin Sing? Baiklah. Silakan nikmati kisahnya berikut ini.

Bila belum baca #BagianPertama, silakan membacanya terlebih dulu melalui TAUTAN YANG INI. 

Wajibkah? Iya, dong. Supaya pemahaman kalian terhadap Tan Jin Sing utuh seutuh-utuhnya. Walaupun selepas membaca tulisan ini, idealnya tetap menambah bacaan dari referensi lain yang lebih detil pemaparannya.

Kapiten Cina Tan Jin Sing

Pada akhir #BagianPertama kusinggung mengenai karier Tan Jin Sing. Yang kemungkinan besar hanya berpuncak sebagai Kapiten Cina, andai kata dia tidak bermain politik praktis.

Mungkin ada di antara kalian yang bertanya-tanya, "Apakah Tan Jin Sing seorang tentara? Kapiten itu 'kan jabatan kemiliteran?"

Sesungguhnya Tan Jin Sing bukan anggota militer. Dia adalah seorang Kapiten Cina, yaitu pemimpin masyarakat Cina (Tionghoa). Tepatnya Kapiten Cina di Yogyakarta.

Perlu diketahui bahwa semua perkampungan orang Tionghoa (Pecinan) ada pemimpinnya. Oleh pemerintah kolonial Belanda, pemimpinnya itu diberi kepangkatan militer sesuai dengan kategori kota masing-masing.
 

Ruangan di Rumah Tan Jin Sing/Dokpri Agustina

Untuk kota besar seperti Batavia, Medan, Semarang, dan Surabaya diberi pangkat Mayor Cina. Untuk kota sedang atau medium seperti Yogyakarta diberi pangkat Kapiten Cina. Untuk kota kecil seperti Lasem dan Jepara diberi pangkat Letnan Cina.

Sampai di sini, perihal pangkat Kapiten Cina yang dimiliki Tan Jin Sing telah jelas, ya. Sekarang kita lanjutkan ke pembahasan berikutnya.

Cina Wurung, Londo Durung, Jawa Tanggung

Telah kusampaikan pula di #BagianPertama bahwa Tan Jin Sing berhasil menjadi Bupati Yogyakarta semasa Sultan HB III berkuasa. Namun, malang tak dapat ditolak dan mujur tak bisa diraih. Sebab beliau cuma sebentar bertahta, Tan Jin Sing sebentar pula menikmati kekuasaannya sebagai bupati.

Ketika Sultan HB III sakit dan kemudian wafat, tepat persis pada saat itulah keselamatan Tan Jin Sing terancam. Teman baik yang sekaligus pelindungnya dari kalangan Kraton Yogyakarta telah tiada. Sementara yang menjadi raja baru, yaitu Sultan HB IV, adalah musuh bebuyutannya.

Tak ayal lagi, Tan Jin Sing kemudian berdiri sendirian. Tak ada orang yang suka kepadanya. Raja baru yang notabene bermusuhan dengan raja sebelumnya pun berupaya menjatuhkannya. Dari referensi yang kubaca, dia bahkan sampai dikabarkan hendak merebut selir sang raja.

Bagaimana halnya dengan penguasa Inggris?

Jangan lupakan fakta bahwa pada dasarnya, hubungan baik Tan Jin Sing dan pihak Inggris adalah simbiosis mutualisme. Harus saling menguntungkan. Kalau Tan Jin Sing dianggap tak lagi menguntungkan, pastilah tak disapa-sapa.

Lalu, bagaimana halnya dengan orang-orang Tionghoa Peranakan? Yang notabene merupakan keluarga besar Tan Jin Sing?

Untuk tahu penjelasan tentang Tionghoa Peranakan, silakan baca di TAUTAN ini: "Ketandan Bukanlah Pecinan?"

Sebagaimana kujelaskan di #BagianPertama, mereka pun telah kecewa pada Tan Jin Sing. Nah, kalian tahu sendirilah. Tak semudah itu menerima kembali sosok yang telah bikin kecewa 'kan?

Tentu saja puncak kejatuhan Tan Jin Sing adalah ketika dicopot dari jabatan bupati. Bidang tanah senilai 800 cacah, yang merupakan gajinya sebagai bupati, ditarik lagi oleh pihak kraton. Kiranya itulah penanda resmi pencopotannya.

Tan Jin Sing pada akhirnya menjadi buronan hingga akhir hayat. Berkembang pula anekdot berdasarkan keapesannya tersebut. Inilah anekdotnya: Cina wurung, Londo durung, Jawa tanggung.

Arti harafiahnya 'batal jadi orang Cina, belum berhasil jadi orang Eropa, masih kurang fasih untuk jadi orang Jawa'.

Jadi, memang serba setengah-setengah. Apa boleh buat?

Semua yang terjadi pada diri Tan Jin Sing menyebabkan trauma sekaligus menjadi pelajaran bagi masyarakat Tionghoa (Peranakan). Setelah menyaksikan akhir tragis Tan Jin Sing, mereka tak ada lagi yang berani bermain di ranah politik praktis.

Menurutku, Tan Jin Sing beserta seluruh kisah hidupnya turut memperkuat terjadinya stereotipe dan stigma terhadap orang Tionghoa. Apa boleh buat?

Tentang Darah Tan Jin Sing

Banyak referensi yang menginformasikan bahwa Tan Jin Sing adalah seorang Tionghoa Peranakan. Salah satunya buku berjudul Tionghoa dalam Pusaran Politik karya Benny G. Setiono (Transmedia Pustaka, 2008).

Dalam buku itu disebutkan mengenai ayah Tan Jin Sing yang berdarah Tionghoa dan meninggal dunia kurang lebih enam bulan sebelum dia lahir pada tahun 1760. Sementara ibunya yang bernama R. A. Patrawijaya dinyatakan berdarah Jawa dan merupakan keturunan Sunan Mataram Mangkurat Agung. 

Namun jauh sebelumnya, T. S. Werdoyo dalam bukunya yang berjudul Tan Jin Sing: Dari Kapiten Cina Sampai Bupati Yogyakarta (Pustaka Utama Grafiti,1990), menyatakan bahwa orang tua Tan Jin Sing sama-sama priayi Jawa. Tidak ada yang berdarah Tionghoa.

Sejujurnya aku bingung menghadapi dua fakta yang disodorkan dua buku itu. Aku cenderung percaya bahwa Tan Jin Sing seorang Peranakan. Sesuai dengan yang dikemukakan Pak Benny G. Setiono. Selaras juga dengan informasi yang kuperoleh dari Mas Erwin dari Komunitas Malamuseum.
 
 
Mas Erwin dan referensi/Dokpri Agustina


Kuyakin bahwa keduanya tidak asal menyampaikan informasi. Masing-masing pasti telah melakukan telaah terhadap banyak fakta sejarah.

Sementara di sisi lain, T. S. Werdaya diketahui merupakan salah seorang keturunan Tan Jin Sing. Pastinya pula T. S. Werdaya tidak sembarangan mengungkapkan fakta.

Entahlah. Sepertinya aku mesti lanjut cari-cari referensi terkait hal ini, deh. 

Ngomong-ngomong, tulisan ini telah panjang sekali. Sementara kaitan Tan Jin Sing dengan Pangeran Diponegoro dan Candi Borobudur belum terkisahkan. Jadiii, tunggu #BagianTiga hehehe ....

Referensinya kusertakan nanti di bagian terakhir, ya. 




Minggu, 19 Februari 2023

Siapakah TAN JIN SING?

48 komentar
#BagianPertama

HALO Sobat PIKIRAN POSITIF? Semoga kalian sedang membaca tulisan ini dengan gembira. Segembira diriku yang akhirnya bisa menulis tentang Tan Jin Sing (mungkin ada pula yang menulis pakai "Djin"). Sesuai dengan janjiku tempo hari.

Tentang janjiku itu bisa dibaca di sini dan di sini, ya.

Sebelumnya aku perlu memberikan disclaimer, nih. Tulisan ini ternyata lumayan panjang. Jadi, mohon bersabar dalam membaca sehingga bisa menyimaknya dengan baik.

Namun, tenanglah. Walaupun panjang, kujamin tidak bakalan membosankan. Semua bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman kita terhadap peristiwa Geger Sepehi yang menimpa Kraton Yogyakarta.

Yang lebih menarik sekaligus penting, bakalan membuat kita paham mengapa sikap rasis terhadap orang Tionghoa (Peranakan) demikian pekat.

Sosok Lihai dan Oportunis

Siapakah sebenarnya Tan Jin Sing? Mengapa namanya tercatat dalam sejarah? Terkhusus dalam kaitannya dengan sejarah Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, terkhusus lagi semasa pemerintahan Sri Sultan HB II dan III?

Siapakah dia sebenarnya? Bahkan saat memperbincangkan peristiwa besar Geger Sepehi dan Perang Diponegoro (Perang Jawa), nama Tan Jin Sing juga muncul.

Baiklah. Sebelum kujelaskan lebih detil tentangnya, secara singkat ingin kunyatakan bahwa Tan Jin Sing adalah sosok yang pintar, terampil, dan supel. Plus lihai memanfaatkan ketiganya untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

Dia luwes menempatkan diri di kalangan pembesar Kraton Yogyakarta. Tetap percaya diri meskipun tidak disukai oleh sebagian dari mereka. Cuek menghadapi fakta bahwa sesungguhnya, orang-orang Cina dan Jawa banyak pula yang tidak menyukainya.

Orang-orang Jawa yang tidak menyukainya adalah golongan konservatif. Tidak rela melihat sepak terjang Tan Jin Sing di kraton, sedangkan dia berdarah Peranakan.

Adapun orang-orang Cina (Tionghoa) tidak menyukainya sebab merasa "dikhianati". Menurut mereka, Tan Jin Sing telah meninggalkan budaya leluhurnya. Secara politis pun mereka merasakan hal serupa.

Perlu diketahui bahwa Tan Jin Sing telah mereduksi penampilannya sebagai orang Tionghoa Peranakan. Kucir rambutnya dipotong. Dia pun menikahi seorang perempuan Jawa sebagai istri kedua. Terlebih dia kemudian memeluk Islam.

Mengapa Tan Jin Sing sepercaya diri itu? Karena dia merasa punya pelindung tangguh sehingga yakin tak bakalan tersentuh. Tak lain dan tak bukan, pelindungnya adalah para pembesar kolonial, baik yang dari Belanda maupun Inggris.

Pendek kata, nama Tan Jin Sing tatkala itu sangat direkomendasikan di kalangan penguasa Eropa di Yogyakarta. Faktanya, dia memang berkualitas. Punya koneksi sosial yang luas dan pandai memanfaatkan situasi.

Itulah sebabnya para penguasa Eropa senang bekerja sama dengan Tan Jin Sing dan berani mengandalkannya. Tentu demi kepentingan politik mereka. Sebaliknya, Tan Jin Sing juga mengambil keuntungan pribadi dari kerja sama dengan mereka. Prinsip yang berlaku bagi semua pihak tersebut adalah "tak ada makan siang yang gratis".

Sebuah sumber menginformasikan bahwa Tan Jin Sing mahir berbahasa Cina (Hokkian), Belanda, Inggris, Melayu, serta Jawa Krama Inggil dan Jawa Ngoko. Wow sekali 'kan? Hal itu pun menjadi sebuah keunggulan tersendiri baginya.

Tidak mengherankan kalau Tan Jin Sing dikenal sebagai sosok cerdas. Secara logika saja, dengan bekal sederet bahasa tersebut, Tan Jin Sing dapat mengakses sumber-sumber pengetahuan yang ditulis dalam berbagai bahasa.

Kemahiran berbahasa Inggrisnya antara lain terbukti dari kado istimewa yang diberikannya kepada Crawfurd. Kado itu berupa naskah Arjuna Wiwaha yang telah diterjemahkan Tan Jin Sing ke dalam bahasa Inggris. Sebagai kenang-kenangan untuk Crawfurd yang telah habis masa bertugasnya sebagai Residen Yogyakarta.

Dia tahu kalau Crawfurd gemar menonton pertunjukan wayang kulit. Kiranya itulah alasan utama Tan Jin Sing memberikan terjemahan naskah Arjuna Wiwaha kepada pembesar Inggris tersebut.

Crawfurd yang pada dasarnya mengagumi Tan Jin Sing amat gembira menerima kado spesial itu. Dia pun membalas dengan baik. Kepada Tan Jin Sing, dia menyerahkan sebuah karya sastra tenar berbahasa Inggris dari Shakespeare. Judulnya Romeo dan Juliet.

Luar biasa ya, mereka? Pilihan kado keduanya sama-sama keren. Menunjukkan selera baca yang istimewa.

Dan, lihatlah! Selain dapat menjadi andalan penguasa Eropa dalam bersiasat menghadapi penguasa Kraton Yogyakarta, Tan Jin Sing pun terbukti bisa menjadi teman yang baik. Dia bahkan paham seni kesukaan Crawfurd 'kan?

Menjadi K. R. T. Secodiningrat

Kita telah tahu bahwa Tan Jin Sing merupakan sosok yang lihai dan oportunis. Kasarannya dia tak segan bersikap licik demi mencapai tujuan. Namun, sisi baiknya dia mengimbangi semua itu dengan isi otak yang berkualitas.

Alhasil di kemudian hari, kepandaian dan kelihaian Tan Jin Sing sukses mengantarkannya ke puncak karier. Setelah sekian lama menjadi Kapiten Cina di Kota Yogyakarta, dia kemudian juga berhasil menjadi nayaka (pejabat kraton). Tepatnya ditunjuk sebagai Bupati Yogyakarta.

Yang menunjuk Sultan HB III atas persetujuan Raffles (penguasa Inggris). Tatkala itu Kraton Yogyakarta memang dalam cengkeraman penjajah Inggris.

Pencapaian tersebut membuatnya tercatat sebagai Bupati Yogyakarta pertama yang berdarah Peranakan. Nama Tan Jin Sing pun diubah menjadi Kanjeng Raden Tumenggung (K. R. T.) Secodiningrat.

Tentu saja jabatan sebagai Bupati Yogyakarta itu merupakan sebuah balas budi. Sultan HB III berterima kasih sebab Tan Jing Sing telah membantunya merebut tahta dari sang ayah.

Seorang anak merebut tahta ayahnya? Bagaimana bisa? Bisa, dong. Dalam hidup ini, apa pun bisa terjadi 'kan? Terlebih Pangeran Soerojo (yang menjadi Sultan HB III) bukanlah putra mahkota pilihan Sultan HB II.

Dalam posisi seperti itu, sudah pasti putra mahkota yang direstui Sultan Sepuh (Sultan HB II) tidak berdiam diri. Jadi Pangeran Soerojo mesti berebut tahta dengannya, bahkan dengan pangeran lain yang juga ngebet jadi raja. Tanpa bantuan Tan Jin Sing dan penjajah Inggris, belum tentu dia bisa menjadi raja.

Kalian mungkin pernah mendengar tentang peristiwa Geger Sepehi yang membuat Kraton Yogyakarta habis-habisan sebab diserbu pasukan Inggris. Nah! Tan Jin Sing punya keterlibatan besar dalam penyerbuan tersebut.

Dialah yang menyediakan ransum makanan untuk pasukan Inggris selama penyerbuan. Dia pula yang menyediakan tangga-tangga bambu yang dipergunakan pasukan Inggris untuk melompati Benteng Baluwarti dan jagang (parit dalam yang mengelilingi benteng kraton).

Pastilah sebelum membantu Tan Jin Sing sudah punya kesepakatan tertentu dengan pihak Inggris. Dia memastikan bahwa kawannya, yaitu sang putra mahkota, yang bakalan diangkat menjadi Sultan HB III jika Sultan HB II berhasil dilengserkan.

Pihak Inggris pun setuju dengan syarat, sultan baru nantinya bersedia tunduk kepadanya. Alhasil pada hari penyerbuan, Tan Jin Sing telah mengamankan sang putra mahkota di kediamannya yang berlokasi di Ketandan.

Bangunan tertutup mobil itu dulunya kediaman Tan Jin Sing/Dokpri


Demikianlah adanya. Tan Jin Sing telah menjadi "pahlawan" bagi dua pihak, yaitu Sultan HB III dan penjajah Inggris.

Andai kata tidak terlibat politik praktis serupa itu, sangat mungkin Tan Jin Sing tidak dijadikan bupati. Pencapaian tertingginya dalam karier bisa jadi cuma sebagai Kapiten Cina.

Baiklah. Kucukupkan #BagianPertama ini. Sudah terlampau panjang. Tunggu, ya. Nanti bakalan ada juga penjelasan mengenai anekdot Cina wurung, Londo durung, Jawa tanggung.

O, ya. Referensinya kusertakan nanti di bagian terakhir.





Jumat, 03 Februari 2023

Ketandan Yogyakarta Bukan Pecinan?

50 komentar
HALO Sobat PIKIRAN POSITIF? Aku mau memenuhi janji, nih. Janji untuk kembali menulis tentang Kampung Ketandan Yogyakarta. Kali ini aku hendak membahas hal-hal yang terkait dengan sebutannya sebagai Pecinan. 

Begini. Selama ini sebutanku terhadap Kampung Ketandan sama dengan orang-orang pada umumnya, yaitu Pecinan. Iya, Pecinan. Begitu saja. Tanpa ada embel-embelnya.

Akan tetapi, beberapa waktu lalu aku membaca sebuah hasil wawancara di portal berita daring. Temanya PBTY (Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta). Narasumbernya salah satu warga Kampung Ketandan. 

Si narasumber mengatakan bahwa Ketandan lebih cocok disebut Pecinan Peranakan. Alasannya, sudah tidak ada lagi orang Tionghoa (Cina) Totok di situ. Yang tersisa adalah orang Tionghoa Peranakan. 

O la la! Benar juga perkataannya. Sangat masuk akal. Secara logika memang begitu. Realitanya pun aku yakin begitu. 
 

Mural di sebuah toko di Ketandan (Dokpri Agustina)

Hari gini? Masih ada orang Tionghoa Totok? Rasanya sulit dipercaya. Faktanya, sejak awal berdiri pun Ketandan tidak dihuni oleh orang Tionghoa yang langsung datang dari daratan Tiongkok. 

Perlu diketahui bahwa Kampung Ketandan mulai eksis sejak didatangkannya orang-orang Tionghoa dari daerah pantura. Antara lain dari Jepara dan Surabaya. Ini terjadi semasa pemerintahan Sultan HB 1. Ketika Kota Yogyakarta, ibukota Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat baru berdiri.

Tentu orang-orang Tionghoa didatangkan ke Yogyakarta dengan tujuan tertentu. Lalu, apa tujuannya? Tak lain dan tak bukan untuk "menghidupkan" aktivitas perdagangan di Pasar Gedhe (kini bernama Pasar Beringharjo) yang baru dibangun. 

Saudara-saudara kita yang berdarah Tionghoa tersebut memang dikenal piawai berdagang. Itulah sebabnya mereka yang ditugasi menyemarakkan perdagangan di Yogyakarta, terkhusus di Pasar Gedhe.

Sampai di sini jelas ya, kalau para penghuni Kampung Ketandan generasi pertama tidak langsung datang dari daratan Tiongkok. Mereka didatangkan dari pesisir pantura. Itu pun kemungkinan besar sudah bukan Tionghoa Totok, melainkan sudah Tionghoa Peranakan. 

Kiranya itu bukan kesimpulan yang mengada-ada. Karena berdasarkan catatan sejarah yang telah dikaji para ahli, penduduk Nusantara mulai berinteraksi dengan orang-orang Tionghoa sejak 200 tahun SM


Salah satu spot berfoto favorit di Ketandan (Dokpri Agustina)

Kugarisbawahi, ya. Tercatat 200 tahun SM. SM = Sebelum Masehi. Berarti sudah lama sekali. Kata Mas Erwin dari JWT by Malamuseum tempo hari, itu sebelum Yesus Kristus hadir di Yerusalem. Berarti pula sebelum Rasulullah SAW lahir. Sudah lama sekali 'kan? Tatkala itu yang berkuasa di Cina adalah Dinasti Han.

Silakan baca juga:
JWT Istimewa Imlek 2023. 
 
 
 
Sebuah warung yamie di Ketandan (Dokpri Agustina)

Kalian yang beragama Islam tentu tak asing dengan kalimat penyemangat untuk belajar ini, "Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke Negeri Cina." 

Terlepas dari perdebatan apakah kalimat nasihat itu merupakan hadis atau bukan, yang jelas Negeri Cina disebut-sebut. Berarti orang-orang di Jazirah Arab telah familiar dengan Negeri Cina walaupun lokasinya sangat jauh dari negeri mereka. 

Tentu saja hal tersebut akan menjadi sebuah tulisan tersendiri kalau mau dibahas lebih detil. Dengan demikian, ruang lingkup pembahasannya bukan di tulisan ini. 

Sekarang mari kembali ke Ketandan. Jadi, bila mengingat proses panjang kehadiran orang-orang Tionghoa di Indonesia (Nusantara), aku cenderung setuju kalau Ketandan lebih tepat disebut sebagai Pecinan Peranakan. 

Tan Jin Sing* saja sudah Peranakan. Terlebih bila menilik para penghuni Ketandan terkini. Logikanya tentu makin Peranakan, dong. Makin terakulturasi.

Jelas mereka mayoritas lebih bisa berbahasa Jawa daripada berbahasa Mandarin. Jangan-jangan malah tak ada yang bisa berbahasa Mandarin sama sekali.

Kuperhatikan kalau bertemu orang dari luar Jawa, walaupun sesama Tionghoa Peranakan, dalam berkomunikasi tetaplah mempergunakan bahasa Indonesia. Bukan bahasa Cina. 

Ketandan ini dekat dengan Malioboro, dekat pula dengan tempat tinggalku saat ini. Dengan demikian, aku cukup bisa mengamati bahwa akulturasi itu nyata adanya. 'Kan aku lumayan sering ke situ. 

Pernah pula satu kegiatan PKK dengan warga Ketandan di kelurahan. Kampungku dan Kampung Ketandan memang sama-sama tergabung di Kelurahan Ngupasan. Lurah kami sama.

Akulturasinya pun dalam banyak hal. Bersifat fisik dan nonfisik. Secara fisik kita bisa melihat adanya akulturasi  pada model bangunan yang ada di Ketandan. Silakan cermati foto-foto yang tersebar di tulisan ini. Ada yang terlihat Jawa banget, ada yang bernuansa Tionghoa. Sentuhan Belanda (Eropa)-nya juga ada.


Toko roti legendaris (Dokpri Agustina)

 
Dua bangunan toko yang serupa (Dokpri Agustina)

Mungkin kalian bertanya-tanya. Sejak tadi kusebut-sebut adanya Tionghoa atau Cina Totok dan Peranakan. Apa artinya? Baiklah. Meskipun artinya sudah tersirat dari penjelasan-penjelasan di atas,  akan kusuratkan saja supaya kian jelas. 

Begini. Tionghoa (Cina) Totok adalah sebutan untuk WNI etnis Tionghoa yang kedua orang tuanya asli dari Tiongkok. Sementara Tionghoa Peranakan (atau biasa disebut Peranakan saja) berdarah campuran. Salah satu dari kedua orang tuanya penduduk lokal (penduduk Nusantara).

Sekarang kalian kian mengerti 'kan? Pastinya tambah paham juga, mengapa aku cenderung setuju kalau Kampung Ketandan Yogyakarta disebut Pecinan Peranakan. 
 
 
Sebetulnya ini sebuah toko bahan bangunan (Dokpri/Agustina)

Demikian ceritaku seputar sebutan Pecinan untuk Kampung Ketandan yang berlokasi di utara Pasar Beringharjo Kota Yogyakarta. Semoga ada manfaatnya. Minimal dapat menghibur.

Ternyata membahas ketepatan penyebutan saja bisa sepanjang ini, ya? Hahaha! Namun, wajarlah bila mengingat bahwa semua memang butuh penjelasan sejarah.

Ingat. Sejarah nyaris tak pernah pendek, bahkan mungkin benar-benar tak pernah pendek. Termasuk sejarah Ketandan yang dikenal sebagai salah satu Pecinan (Peranakan) di Yogyakarta. 

*Tunggu tulisan sekuel tentang Tan Jin Sing





 

PIKIRAN POSITIF Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template