Selasa, 08 Januari 2019

Film Keluarga Cemara



SEJAK jelang akhir 2018 lalu, soundtrack film Keluarga Cemara kerap wara-wiri di radio. Kebetulan saat berlibur ke Semarang dan Pati, aku pun sempat melihat posternya. Hmm. Melihatnya sih, di gedung bioskop. Haha! 

Tapi jangan salah. Ketika balik ke Jogja, aku malah melihatnya di kantor pos besar. Wow! Sebuah poster film di kantor pos! Seingatku, baru kali ini aku melihatnya. Maka wajar bila aku lumayan terkesan. Dan akhirnya, ingin sekali menonton. 

Pucuk dicinta ulam tiba. Sedang ingin nonton film Keluarga Cemara malah ada tawaran untuk menontonnya. Nobar. Nonton bareng. Alias nonton ramai-ramai. Yang artinya, aku tak perlu cari-cari orang untuk menemaniku nonton. Alhamdulillah banget 'kan? 

Alhasil pada sebuah sore yang temaram usai hujan, aku sudah bersiap di pintu bioskop. Bahkan di antara peserta nobar, akulah yang datang pertama. Haha! Bukan sebab terlalu bersemangat, lho. Hanya saja aku sudah dikasih ancaman agar tak terlambat. Karena sudah diancam, takutlah akuuuh. 



Singkat cerita, kurang lebih selama dua jam kami berkonsentrasi. Menikmati adegan demi adegan dalam film inspiratif tersebut. Iya. Aku menilai bahwa Keluarga Cemara merupakan sebuah film yang inspiratif. Bisa memotivasi dan menginspirasi para penontonnya untuk makin mencintai keluarga. 

Kalau jalinan ceritanya sih, lumayan mengaduk-aduk emosi. Banyak dialog dan adegan yang mengharukan. Dalam dialog dan adegan yang tampak kocak, kadangkala ada pula keharuan yang ikut menyeruak. Bahkan kurasakan, keharuan berbungkus kekocakan itulah yang acap kali lebih terasa menghunjam. Dih!

Apa boleh buat? Bila kalian baperan, mudah menangis, niscaya butuh handuk untuk mengusap air mata. Eit! Jangan pakai banyak tisu, ya. Lebih baik sekalian bawa handuk kecil, deh.  Go green style, dooong ....

Huft! Adegan pada menit-menit pertama saja sudah mengharukan. Betapa tidak mengharukan? Cerita dibuka dengan peristiwa jatuhnya bisnis Abah. Benar-benar jatuh yang sejatuh-jatuhnya. Sampai-sampai kolega dan kerabat mereka pun menjauh. Alih-alih menolong. 

Tak pelak lagi. Seluruh anggota keluarga Abah ikut menanggung konsekuensinya. Kehidupan mereka berubah 180 derajat. Kesulitan demi kesulitan mesti mereka hadapi. Terutama yang terkait langsung dengan finansial. Sungguh, itu merupakan sebuah situasi yang tak mudah. Terlebih bagi Euis yang masih ABG. Maka tak mengherankan, di antara mereka kemudian ada konflik-konflik. 

Syukurlah setelah sekian waktu, perlahan-lahan keluarga Abah berusaha bangkit. Meskipun tetap di bawah kondisi semula, kehidupan mereka mulai membaik. Seiring dengan itu, mereka jadi terbiasa saling memahami. Situasi dan kondisi itulah yang akhirnya menguatkan ikatan cinta di antara mereka.

Iya. Cinta itulah senjata mereka untuk melawan kejamnya kehidupan. Sebuah senjata yang sekaligus harta yang tak ternilai harganya. Duh, duh. Dalam hal ini, film Keluarga Cemara memang sukses bikin baper orang-orang yang tak punya keluarga. Hehe  ....

N. B.
Ulasan lain mengenai film Keluarga Cemara pun telah kutulis di  Adonan Aneka Rasa dalam Hidup di Film Keluarga Cemara



4 komentar:

  1. Banyak pesan dalam film ini.
    Dan endingnya tidak seperti pakem2 film2 lain. Klo susah endingnya jadi kaya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, di akhir cerita Keluarga Cemara tak kembali pada kondisi ekonomi semula. Mereka memang mulai bangkit, tapi tetap hidup sederhana, seperti realita hidup laah...

      Hapus
  2. penasaran eu, pingin ngajakin anak anak nonton. Tapi Bapake anak anak masih sibuk terus. Masa iya, nungguin filmnya nongol di tipi?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... Lebih syahdu nonton di bioskop, Mbak...

      Hapus

Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!

 

PIKIRAN POSITIF Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template