Sabtu, 30 April 2016

TEBU MANTEN

8 komentar
KETIKA Kamis malam Sang Fika nge-BBM, sebetulnya aku dalam kondisi lemas. Habis minum obat kimiawi. Hal mana yang tak pernah kulakukan, bilamana sakit yang kuderita masih tertahankan. Huft! Asal tahu saja, ya. Pengalaman membuktikan, ternyata aku lebih mudah menelan pahitnya pil kehidupan daripada menelan  pil pahit pemberian dokter. Eeeaaaa.... #Lebay dimulai

Tapi isi BBM Sang Fika begitu menggoda. Sebuah ajakan untuk menonton sesuatu yang belum pernah kutahu. Dia menawariku nonton prosesi Tebu Manten. Woww? Apa pula itu? Bikin aku kepo. Dan, bikin aku berkeputusan untuk menyembunyikan sakitku. Kalau kubilang aku lagi gak enak bodi, bisa-bisa dibatalkannya ajakan itu. Haha!

Walhasil pada Jumat siang yang cetar, aku bersiap menunggu jemputan Sang Fika. Tak kusangka, yang muncul duluan malah Sang Ety. Semula kukira, Sang Ety adalah pengganti Sang Fika. Tapi rupanya, Sang Ety juga bermaksud menunggu Sang Fika. Hehehe.... Aku tak paham, Hayati.

Sebab ada dua motor, akhirnya aku mengajak Adiba ikut-serta. Nah, lho. Ini sisi baik dan berkah tersamar dari kedatangan mendadak Sang Ety. Tak berencana mengajak Adiba, tapi malah bisa mengajaknya. Apalagi si bocah setuju kuajak. Jarang-jarang lho, aku sukses mengajak Adiba. 

Meskipun dengan tanda tanya besar di benak, aku tak banyak omong. Lagi agak pusing juga. Dan kebiasaanku kalau lagi kurang fit, mendadak jadi kalem. Namun setibanya di lokasi, yakni di seputaran PG Madukismo, aku mulai ngeh. Ngeh bahwa Tebu Manten itu terkait dengan pasar malam cembengan. 

Ahaiii.... Kalau pasar malam cembengan sih aku sudah tahu lama sekali. Sejak aku mulai kuliah di Jogja. Tapi hingga bertahuuuun-tahuuun kemudian, kok gak ada yang menceritakan kepadaku soal Tebu Manten? Padahal nih, tempat tinggalku dengan PG Madukismo hanya sepelemparan bom molotov.

Singkat cerita, Jumat siang hingga Jumat magrib kami berempat ngider di seputaran PG Madukismo. Iya, sampai magrib. Kami 'kan mampir pula di tempat Mbak Vivi, salah seorang IIDNers Jogja. Dari Mbak Vivi inilah sesungguhnya info perihal Tebu Manten bermula....

Dari rumah Mbak Vivi, kami masih butuh berjalan jauh untuk menuju tempat parkir motor. Kami perlu melintasi lapangan terlebih dulu. Melewati lokasi pasar malam dulu. Tentu saja lewatnya tak sekadar lewat. Tapi kami memutuskan masuk ke lokasi.

Sebab kami datang jelang malam, pasar malam pun belum begitu semarak. Para pedagang baru mulai buka. Wahana permainan juga begitu. Belum begitu ramai pengunjung. Hmm. Dan, kami terinspirasi untuk mencoba dremolen. Ah! Sebuah keputusan yang salah, deh.

Kukira hanya lima putaran. Ternyata sepuluh putaran. Kepalaku yang sudah pusing ya malah jadi bertambah pusing. Kukira tiga oknum lainnya enjoy-enjoy saja. Ternyata hanya Adiba yang enjoy. Sang Fika dan Sang Ety, uh sya la la.... gak jauh beda dengan eikehh. Haha! Dasar yaaa emak-emak sok gaul.

Sudah, ya. Kuakhiri saja tulisan ini. Terima kasih untuk para tante yang telah mengajakku dan Adiba jalan-jalan nonton Tebu Manten. Ih, tebu aja jadi manten. Kenapa kamu enggak? Qiqiqi...:D  

MORAL CERITA:
Jangan lewatkan tiap kesempatan emas yang menghampiri Anda, sekalipun risiko sedikit sakit menjadi taruhannya. Haha!


 Kereta kuda yang mengangkut sepasang pengantin, yaitu Kyai Tumpak dan Nyai Kasih. Tiap tahun tebu yang jadi manten berganti-ganti, lho. Namanya tidak monoton, tidak sama melulu. O, ya. Ketika Sang Fika memotret kereta kuda berikut pasangan pengantinnya, aku dan Sang Ety malah asyik memperbincangkan sang kuda. Kami iba dengan nasib sang kuda. Demi prosesi yang menyenangkan banyak manusia, dua kuda itu harus menahan keperihan di mulutnya. Mulutnya dikerangkeng, lho....



 Kami berdua terduduk kepanasan dan kehausan di halaman masjid, di mana prosesi ijab kabul dilaksanakan. Kami duduk menunggu ijab kabul dimulai. Oh la la! Kayak yang jadi manten itu orang, lho. Adiba saja senyam-senyum terus. Disambung nada suara tawa yang agak ekstrem. Ia merasa geli. Sama geli dengan ketika ia menyaksikan Sang Fika pose-pose di tengah lapangan Madukismo untuk dipotret Sang Ety.
Nahhh! Kalau yang ini sih kami belum merasa kecapekan (Tapi aku tentu sudah merasa kurang fit). Kami berdua berpose tatkala kirab belum jauh dari parkiran motor....




Jumat, 29 April 2016

KLAPPETAART PEREKAT

2 komentar
ANDA suka klappetaart? Hmm. Belum tahu klappetaart? Atau sudah sering dengar namanya, tapi belum pernah mencicipinya? Wah! Anda gimana, sih? Kudapan selezat itu kok dilalaikan lhoooo.... Haha!

Baiklaaah. Suka tidak suka, Anda mesti tahu perihal klappetaart ini. Apalagi kalau mengaku sebagai orang Indonesia. Eh! Aku serius, lho. 'Kan klappetaart merupakan salah satu khazanah kuliner Indonesia. Kalau masih menganggapku tidak serius, silakan cek di Wikipedia tentang si klappetaart ini. Daripada galau. Hehehe ....

Sebenarnya sudah sejak lama, seingatku bahkan sejak masih berusia sepuluh atau sebelas tahun, aku tahu  klappetaart. Biasalah. Aku tahunya dari membaca. Seingatku kala itu aku tahu klappetaart dari Femina koleksi ibuku.

Berhubung kami tinggal di desa yang jauuuh dari ibukota kabupaten, tentu tak mudah untuk membelinya. Mungkin saat itu ibuku tidak praktik membuatnya sebab caranya rumit. Atau, sebab bahan-bahannya susah didapat. Entahlah. Yang jelas takdir-Nya adalah "aku baru bisa mencicipi klappetaart ketika sudah melewati berbagai badai dalam kehidupanku". Ketika usiaku tak lagi anak-anak.

Mulanya, saat sudah tinggal di kota, aku tahu beberapa toko yang menjual klappetaart. Tapi komposisi di dalam klappetaart membuatku tertahan langkah untuk segera membelinya. Ternyata ada rumnya. Demi keamanan dan kenyamanan iman, aku bersabar dulu. 

Hingga akhirnya Sang Fika Faila Sufa, seorang teman dari IIDN Jogja, mendirikan Phicatering.  Dan, salah satu jualannya adalah klappetaart. Pucuk dicinta ulam tiba. Aku paham kalau Sang Fika Faila Sufa itu cantik salehah. Jadi, klappetaartnya pasti tanpa rum.

Maka pengalaman pertamaku mencecap klappetaart adalah bersama Phicatering. Hehehe.... Dan ternyata, klappetaart memang yummy. I love it. Adiba pun ternyata love it. You know laahhh.... seleraku dan selera Adiba memang senada, kok. Maka pas ultahnya, aku order banyak klappetaart.

Tentu saja order banyak berarti melibatkan si ayah. Maksudnya, aku yang menentukan seberapa banyak jumlah orderannya, sementara ayah Adiba yang melunasi pembayarannya. Haha! Tapi aku adalah orang yang sportif. Maka aku persilakan si penyandang dana untuk mencicipi si klappy itu....

Seperti yang telah kuduga, ayah Adiba hanya sanggup mengonsumsinya satu cup kecil. Maklum saja. Selera lidahnya memang tergolong katrok akut. Sebagai wong Jogja asli, patron selera lidahnya jelas gudheg... yang entah bagaimana tak pernah bisa kucintai hingga saat ini. Hmmm.

Demikianlah ceritaku tentang klappetaart. Karena kerap kali order, otomatis aku kerap ketemu Sang Fika Faila Sufa. Di titik inilah klappetaart mendekatkan hubungan kami. Sementara itu Adiba yang bahagia sebab bisa kerap menikmati klappetaart, kurasa tambah sediiikiiit mencintaiku. 

Dan tentu saja, hubungan Adiba dan ayahnya pun bisa dekat. Dekat gegara klappetaart. Maksudnya, Adiba akan dengan rela hati berbaik-baik kepada si ayah, lalu meminta uang jajan lebih untuk order klappetaart. Huaduuh. Kalau yang beginian sih aku enggak ikut-ikut sebetulnya. Wah, wah, wah. 

MORAL CERITA:
Kadang kala kita mesti menunggu lama sekali demi mendapatkan sesuatu yang kita ingini. Hmmm.... :D 

Itu lho, penampakan klappetaart by Phicatering. Dan, Adiba adalah konsumen fanatiknya...
    



Kamis, 28 April 2016

MEMBACA-MENULIS

15 komentar
 
 Rak buku di satu sisi ruang depan rumahku; maksudku rumah yang kutempati....

 Memanfaatkan tempat lowong di bawah TV yang jarang ditonton. Tujuannya, bila Adiba sedang berniat nonton TV niat itu bisa terbelokkan oleh aneka judul buku yang menarik di bawahnya. Haha!

ALHAMDULILLAH aku termasuk orang yang doyan membaca. Apalagi ketika akhirnya bekerja di dunia penerbitan, yang kerap kali berintim-intim dengan buku. Kedoyanan itu makin pekat adanya. Pekat merekat rapat tak bersekat! Hmmm.... :D

Sepertinya sih sebuah lingkaran setan, ya. Aku doyan membaca dulu, baru memilih kerja di penerbitan. Atau, aku kerja di penerbitan sehingga wajib mendoyankan diri untuk membaca. Haha! Entahlah. Tapi yang jelas begini. Sejak kecil aku dan kedua adikku memang terbiasa dengan buku. Asal tahu saja, bapak kami memang kolektor buku. Tak sekadar kolektor, tapi memang pembaca yang akut.

Buku apa saja, majalah apa saja, koran apa saja; serasa ada di rumah kami. Alhamdulillah. Mau fiksi, ada. Mau nonfiksi, ada. Mau yang ejaannya sudah ber-EYD, ada (amat melimpah ruah malah). Mau yang ejaannya masih ejaan lama (yang pakai "oe" = u, "tj" = c, dst), juga tak kalah banyak. Mau yang berbau politik, ada. Mau yang beraroma sastra, ada. Mau baca karya STA, ada. Mau baca karya Pram, juga ada.

O, ya. Ada catatan tersendiri perihal karya Pram. Kala itu, karya-karya Pram adalah barang terlarang. Kalau ketahuan mengoleksi karya Pram, koleksi itu bisa dirampas oleh pihak berwajib. Sementara... 100 meter saja dari rumah kami adalah kantor polisi. Kata bapak, "Kalau saja polisi-polisi itu tahu, bisa diambil nih buku-buku Pram. Untung mereka cuma tahu kalau Bapak suka baca. Enggak sampai detil berpikir, apa Bapak suka baca karya Pram atau tidak. Hehehe...."

Dan, Alhamdulillah sampai sekarang koleksi karya Pram milik bapak baik-baik saja. Andai saja aku mau, bisa kujual mahal tuh pas booming dan belum ada yang mencetak ulang. Tapi pikiran materialistis ini dipangkas tuntas oleh adikku. Adik bungsuku melarang mati-matian niat nistaku itu. Dia ambil alih pemeliharaan koleksi Pram dari bapak. Agar tak kujamah. Ih! Memang segitunyakah daku deeek? :(

Oke. Cukup sekian kisah koleksi Pram. Kita balik ke soal keintimanku dengan buku. Begitulah adanya. Kalau boleh dibilang, keintiman tersebut merupakan jejak terbaik dari pengasuhan-pendidikan yang telah diberikan bapak kepada kami bertiga. Hidup bapak! Semoga seluruh usia bapak selalu penuh barokah. Dan, sisa usianya tak sia-sia dengan penyesalan atas pencapaian hidup anak-anaknya.... #Aku serius minta doa-doa terbaik buat bapak dari Anda yang membaca postingan ini

Kala itu, pada masa lalu itu, saat aku masih berstatus sebagai pelajar TK hingga pelajar sekolah menengah, bapak kerap bercerita tentang orang-orang pintar. Tentu maksudnya bukan dukun, ya. Tapi orang-orang pintar yang menulis buku. Sudah pasti berikut orang-orang  pintar yang kisah hidupnya dijadikan buku.

Sudah pasti aku terpukau dengan semua hal yang diceritakan bapak. Dan aku tak ingat, apakah saat itu aku lalu berkeinginan jadi penulis atau tidak. Tapi yang jelas, bapak tak memintaku jadi penulis. Bahkan seingatku, sampai aku kuliah dan sampai sekarang bapak tak pernah memintaku (setidaknya menyatakan keinginan beliau) agar aku jadi penulis. Yang bapak inginkan hanyalah diriku ini suka membaca. Sudah. Tanpa alasan penjelasan yang manis-manis di belakangnya.

Entahlah. Mengapa bapak sesederhana itu, ya? Mungkin sebetulnya bapak ingin aku jadi penulis, tapi sengaja tak diverbalkan. Mungkin saat itu aku keterlaluan kurang ilmunya sehingga diminta banyak membaca. Ah, entahlah. Yang jelas hari ini, membaca sudah menjadi kebutuhanku. Alhamdulillah. Dan bapak, sudah pasti merupakan mentor terbaikku dalam hal membaca.

Walhasil, membaca-menulis adalah duniaku sekarang. Yang insya Allah akan kuwariskan pula pada anak-anakku kelak (gubraks... memang anakku ada berapa?). Oke, bapak. Aku akan berjuang. Meskipun saat ini, koleksi buku aku masih terbatas sekali. Hmmm. Aku mau lebih rajin menulis juga. Supaya punya banyak uang buat menambah koleksi buku. Hehehe.... :D

Rasanya tulisan ini sudah panjang. Aku akhiri saja, ya. Sebagai penutup, aku kutipkan salah satu status fesbuk dari Bang Arafat Nur deh. Sebuah status yang kukira sempat mengkhianati asa bapak terhadapku dalam hal jodoh. Hihihi.... Aku kutip di sini sebab aku tahu pasti inspirasi status tersebut dari kisah siapa. 

Aku diberi-tahu seorang perempuan bahwa ada lelaki yang tidak menyukainya karena dia suka membaca dan menulis. Menulis dianggapnya hanya pekerjaan mengkhayal dan sia-sia saja. Maka, aku sarankan segera jauhi lelaki itu bila jalan hidupmu tak ingin sesat. Lelaki semacam itu tak akan membuat perempuan maju dan akan selalu memandang rendah kaum hawa... ~ARAFAT NUR


MORAL CERITA:
Warisan terbaik dari orang tua adalah ilmu dan kebiasaan baik.



Rabu, 27 April 2016

DUA KEPING PUISI JEDA

0 komentar
udara sejuk menggoda mata
supaya tak kuat lagi untuk membuka
tapi mataku mesti tetap terbuka
tahan, tahan, tahan!
jangan terpejam, jangan terpejam!
tetaplah terbuka walau tak sempurna
kerja belum selesai....
#demikian kata Chairil Anwar
dan aku mengamininya
("Sajak Apa Ini?")

 

PUISI (kalau boleh dibilang sebagai puisi, sih...) di atas begitu saja tersusun di benakku. Yeah! Gara-gara diserang kantuk hebat saat suntuk menekuni naskah, aku putuskan untuk rehat sejenak. Tepatnya rehat sejenak dari naskah utama yang mesti kubereskan. Adapun bentuk rehatnya ya masih munyer-munyer di seputar naskah juga sebetulnya. Hehehe.... Hidup naskah!

Rehat dari naskah utama, dengan cara bikin naskah sampingan. Tentunya agar ada penyegaran otak, naskah sampingannya mesti berbeda genre dari naskah utamanya. Wuah! Genre, bok! Makanan apa itu? Haha.... :D

Hmmm. Berkah dari kantukku yang akut, yang kemudian menyebabkanku rehat sebentar, adalah dua puisi. Sekali lagi, kalau boleh dibilang sebagai puisi lho yaa.... Lho? Kok dua? Yang satunya mana? Tenang, tenang. Tengok saja terus postingan ini. Ntar yang satunya pastilah tertemukan.

Oke. Selamat menikmati dua keping puisi jedaku, ya. Siapa tahu Anda bisa tertawa-tawa sebab merasa terhibur? Siapa tahu pula malah bisa terinspirasi, bahkan termotivasi untuk tidak terkantuk-kantuk lagi. Yeah, siapa tahu?


bila memang perlu
lakukan dulu jedamu
tak mengapa abai sejenak waktu
tinggalkan deretan rencana dan agenda
yang selalunya nyaris tak berjeda
bila memang kau butuh berjeda,
lakukan saja segera
--sebelum kamu mati
tertikam pisau rutinitasmu--
("Abai Sejenak")


MORAL CERITA:
Jeda itu perlu, rehat itu perlu. Apa pun bentuknya itu. Tapi kalau jedamu-rehatmu bisa diisi dengan sesuatu yang produktif, mengapa tidak?  





Selasa, 26 April 2016

HIDUP YANG TAK DATAR

4 komentar
HIDUP adalah serangkaian peristiwa yang dinamis, bahkan sangat dinamis. Bukan merupakan deretan hal-hal yang statis dan monoton. Bohong kalau Anda menyatakan bahwa hidup Anda tak berwarna. 

Jika Anda merasakan bahwa hidup Anda monoton dengan satu warna dan satu rasa saja, berarti ada yang “salah”. Hidup itu sungguh kaya warna dan kaya rasa, lho. Yeah… kiranya sebelas-dua belas dengan permen nano-nano lah. Permen yang rasanya manis-asam-pedas itu. Maaf, terpaksa menyebutkan merek supaya gamblang metaforanya. Haha!

Percayalah. Hidup tak selalu terasa manis ataupun tak selalu terasa pahit. Susah dan senang, duka dan bahagia, pasti akan silih berganti menghampiri diri kita. Selama kita hidup di dunia yang fana ini. Sebagaimana ungkapan "hidup itu seperti roda yang berputar". 

Posisi roda akan statis, tak berpindah-pindah, manakala roda dihentikan perputarannya. Dihentikan perputarannya ya berarti tidak bergerak. Adapun tidak bergerak = berhenti = mati = tidak hidup. Jadi, hidup yang statis merupakan hidup yang kurang --bahkan tidak-- hidup. 

Orang yang statis hidupnya berarti orang yang hidupnya berjalan dengan dataaar saja.  Sebab tak mengandung satu episode menantang apa pun, hidup yang dataaar itu cocok disebut sebagai hidup yang “enggak asyik, enggak keren”. Demikian kiranya menurut istilah anak-anak muda zaman sekarang. 

Dan faktanya, hidup memang tak pernah statis. Tidak pernah senantiasa berjalan secara datar-datar saja. Tidak mengherankan pula kalau ada yang bilang bahwa perjalanan hidup itu serupa dengan orang naik roller coaster. Naik roller coaster juga mendebarkan dan dinamis toh? Naik-turun, melingkar-berputar, secara mengejutkan.    

Yup! Tepat persis seperti itulah hidup yang kita jalani sebagai manusia di dunia kita yang fana ini. Selalu penuh gerakan ritmis, bahkan akrobatis. Sebagaimana orang yang melakukan akrobat, bila kurang berhati-hati dalam melakukannya maka dapat terpeleset. 

Hidup yang kita jalani pun seperti itu. Jika kita kurang perencanaan dan tidak hati-hati dalam melangkah, maka akan ada akibat buruknya. Yeah…. Life is never flat! #Cuplikan dari buku Jangan Bersedih 

MORAL CERITA:
Sebab hidup serba tak terduga, kesiapan mental kita dalam menghadapinya menjadi sebuah keniscayaan. 


Kalau ingin aku kirimi sepucuk surat istimewa (bukan email) plus buku kuning manis antigalau itu, jawil aku segera eeaa....



 

Senin, 25 April 2016

TENTANG CINTA

1 komentar
Bagus ya, si Doraemon di atas? Tampaknya pusing-pusing tujuh keliling gegara kebanyakan cinta. Haha! Too much love will kill you.... (Gambar diambil dari internet)


BAIKLAAAH. Ayolah sesekali kita bicara tentang cinta. Cinta apa saja. Cinta terhadap sesama. Cinta terhadap sesuatu. Cintaku kepadamu.... Haha! Tapi sepertinya, yang paling asyik ya perihal cintaku kepadamu. Iya toh? 

Jadi? Oke. Berarti kita deal, ya? Deal bahwa postingan ODOP-ku kali ini membahas perihal cintaku kepadamu. Dududu.... Syalala.... :D

Yup! Siapa berani menyangkal bahwa cinta merupakan sesuatu yang tak penting? Yang tak menarik? Aih! Hanya mereka yang patah hati melulu yang enggak berminat bicara perihal cinta. Cek deh. Tak perlu jauh-jauh mengecek orang lain. Cek saja diri Anda sendiri. Instropeksi diri begitu, lho. Haha!

Nah. Sudah mengeceknya? Kalau Anda antipati terhadap rasa cintaku kepadamu, woww... aku berani memastikan bahwa Anda sedang terserang patah hati akut. Huft. Sudahlah. Tak usah lebay sulebay. Jatuh cinta, menjalin cinta, putus cinta. Tanggapi saja dengan biasa-biasa saja. Jalani dengan proporsional saja. Apa salahnya mencari cinta yang lain setelah cinta yang lama terkoyakkan tiada ampun? Qiqiqiqi....

Mungkin Anda penasaran, mengapa tetiba aku menuliskan perihal cinta. Hmm. Mau tahu atau mau tahu banget? Haha! Begini, lho. Yang menginspirasiku untuk bikin postingan beraroma cinta ini sebetulnya status seorang teman. Teman FB yang masih kuliah. Yang belum pernah aku temui di dunia nyata. Begini dia menulis, "Cinta adalah sederhana, seperti cinta ibu untuk ayah yang tidak pernah diungkapkan kepada kami. Mereka tidak saling membersamai hingga tua, dan ibu masih setia."

Sungguh status yang tak biasa. Aku tahu itu tak biasa. Sebab aku tahu, statusnya itu lahir dari lubuk hatinya yang terdalam. Ya, bagaimanapun sedikit banyak aku tahu anak ini. Kemandiriannya (ia kuliah sembari jualan buku online), kesungguhannya belajar, dan kedalaman rasa terima kasihnya kepada sang ibu. Sungguh, mataku perlahan membasah gegara mengingat teman FB-ku ini.

Hmm. Daripada malah nangis-nangis bombay, aku batalkan saja ya tulisan tentang cintaku kepadamu ini. Tapi mohon digarisbawahi, aku nangis-nangis bukan sebab putus cinta, lho. Namun sebab terhanyut dalam keperihan rasa yang dibawa oleh status teman FB-ku tadi. Hmm.... :D

Duh, cinta. Bicara tentang cinta selalu melibatkan rasa. Bisa rasa kesal, rasa bahagia, rasa kecewa.... Tapi sudahlah. Mari kita tersenyum saja. Senyum itu akan melipat semua kekesalan yang tersisa, lho. Termasuk kekesalan terhadap mantan. Percayalah. Haha!

MORAL CERITA:
Hati-hati bila membaca status fesbuk seorang teman. Bila tak tangguh hati, bisa baper melulu kalau ndilalah statusnya mengharu biru....


Minggu, 24 April 2016

DANGDUT SEMALAM

0 komentar
 
Enggak tahu kenapa aku tertarik untuk menjadikan gambar di atas sebagai pelengkap postinganku kali ini. Hmm. Entahlah? Itu juga hasil nemu di HP-ku. Yang bikin sih Adiba.... :D


DANGDUT semalam bikin aku kepayahan pagi ini. Dan pasti, seharian nanti. Kepayahan sebab didera kantuk berat. Ya, tentu saja begitu. Semalam dangdut berakhir lewat tengah malam. Itu berarti aku tak bisa tidur awal. Padahal, sejak pagi aku sudah lelah ikut mempersiapkan ini-itu dan membereskan pekerjaanku sendiri.  Padahal pula, kepalaku sedikit pusing gegara cuaca panas yang amat cetar.

Jelas bahwa aku kurang tidur. Bagaimana bisa tidur awal kalau dentuman musik dangdut merobek-robek gendang telingaku? Berkali-kali aku mencoba abai pada suara. Berkali-kali membaca doa sebelum tidur. Sekuat tenaga berupaya memejamkan mata. Hasilnya? Justru suara kurang merdu yang diseksi-seksikan itu menerorku.

Iya, biduan dangdutnya kurang oke. Aku awam dangdut. Tapi merasakannya demikian. Sang biduan hanya menang centil dan genit saja. Kosa lagu dangdutnya tampak terbatas. Lha piye? Masak satu lagu rerata diulang sampai tiga kali?

Yang menjengkelkan, tema lagunya enggak banget semua. Itu... soal perselingkuhan dan pengkhianatan cinta. Seperti tak ada lagu lain yang lebih berkualitas. Sungguh! Lagu-lagu yang semalam dinyanyikan tak kukenal semua. 

Ih, ih. Apalagi kata Adiba, yang sempat melihat sebentar, baju sang biduan terlampau mini plus atasan you can see. Aihh! Kok si mbak biduan enggak sadar lingkungan banget? Manggung di kampung gitu, lho. Mbokyao pilihan busana manggungnya yang lebih netralan. Pentas di kampung 'kan penontonnya heterogen. Mulai dari para orok hingga eyang-eyang. Haiyyah!

Ah, sudahlah. Malah keterusan jengkel gegara dangdut ini. Haha! Tapi, apa boleh buat? Kantuk ini sungguh-sungguh membunuhku. Apalagi pagi ini tadi, aku tak punya waktu buat bermalasan di tempat tidur. Ada acara jalan santai dalam rangka Hari Kartini. Mulainya pukul enam pagi.

Duh! Setelah semalam begadangan, bangun pagi dan langsung beraktivitas di pagi buta adalah tantangan tersendiri. Loyo. Mata pedas. Mau cuek enggak ikut, enggak mungkin juga. Tempat start di sebelah rumah juga. Musik sudah disetel keras-keras. Panitia memanggil-manggil warga melulu. Warga se-RT sudah banyak berkumpul di sekeliling rumah. Sempurna! Maksudnya, sempurna untuk segera membangkitkanku dari kubur... eh, tempat tidur.

Oahemm... zzzz.... Sudahlah. Apa pun itu, tulisan ini jelas merupakan curhatan pribadiku. Toh banyak tetangga yang hepi-hepi saja dengan dangdut semalam. Bisa jadi, aku saja yang rempong sendiri. Ya, begitu saja.  Tepatnya anggap begitu saja.

Adapun dampak dari dangdut semalam, selain kantuk beratku, adalah... "aku makin mencintai Rhoma Irama". Haha! Ini betulan, lho. Seawam-awamnya aku terhadap dangdut, aku toh sedikit tahu lagu-lagu Bang Rhoma. Dan itu, jauuuhhh lebih berkualitas daripada lagu-lagu dangdut semalam.

MORAL CERITA:
Demi kemaslahatan bersama, tak ada salahnya kita sedikit mengalah. Asalkan mengalahnya dengan ikhlas dan memakai cara yang tak lebay. 
 

Sabtu, 23 April 2016

Pada Tanggal 23 April 2016

0 komentar
ALHAMDULILLAH, Alhamdulillah. Nikmat manakah yang akan aku dustakan? Sungguh, jalan hidupku tak indah dan tak mudah. Tapi amat tak beralasan jika aku mengeluh. Apalagi jika sampai menggugat-Nya. Enggak banget, deh. Aku tak mau menjadi pecundang kehidupan.

Sekali lagi, nikmat manakah yang akan aku dustakan? Bukankah sepagi ini saja, sederet hal baik sudah kupeluk? Bisa membuka mata kembali setelah rehat semalam. Dalam kondisi bugar, tak kurang suatu apa. Penglihatanku masih terhitung normal. Masih bisa melihat embun pagi, matahari, dan kijing manis depan rumah.

Telingaku masih dimampukan untuk mendengar desir angin. Lidahku masih sempurna mencecap rasa kopi dan roti. Kepalaku pun enggak pusing meskipun barusan terpapar sepotong hati bersianida.... :D

Ingatanku juga masih berfungsi baik. Buktinya, hanya hutang yang kulupakan. Sementara untuk hal-hal lain, aku sangat ingat. Salah dua di antaranya, aku ingat bahwa hari ini merupakan Hari Buku Internasional; juga merupakan hari lahir seorang kawan lama banget.

Ngomong-ngomong, si kawan lama bangetku itu pun sebuah nikmat yang patut kusyukuri. Coba bayangkan. Sudah dua puluh tahunan kami tak pernah kopdar. Tak mesti setahun sekali dia meneleponku. Sementara aku, sama sekali tak pernah meneleponnya. Eh, lha kok aku selalu terdeteksi olehnya? Padahal, aku beberapa kali ganti nomor HP. Rasanya semesta selalu punya logika untuk menghubungkan kami.

Dia SWT memang Mahatahu. Termasuk tahu bahwa aku sedang butuh sebuah jeda. Maka pagi ini, dibuat-Nya aku kepagian ke kantor pos. Dengan begitu pagiku yang biasanya rempong dengan aneka cucian, hari ini menjadi berbeda. Aku diberi-Nya waktu untuk sejenak kongkow cantik di tepi jalan raya. Sembari fesbukan pula. Haha! Kekinian syekalee....

Dan, aku lagi-lagi mesti bersyukur. Ternyata ada efek domino yang indah dari aktivitas fesbukanku itu. Melalui cara yang tak terduga, semesta mendadak membuatku bertemu seorang teman SMP yang kini mukim di Malaysia. Alhamdulillah. Tersambung lagi satu tali silaturahmi.

Rasa syukurku masih berlanjut dari tepi jalan itu. Sekonyong-konyong, seseorang mendekatiku. Lalu bla-bla-bla, basa-basi obrolan pembuka disambung sedikit diskusi tentang hot issue. Hmmm. Sebuah pertemuan singkat, tak lebih dari sepuluh menit, tapi menghasilkan satu kesimpulan yang bernas dan bermakna. Alhamdulillah. Lega dada ini bisa mengungkapkan ide tentang hot issue tersebut.  Kiranya pertemuan singkat kami adalah salah satu hikmah dari "kepagianku ke kantor pos".

Demikianlah sebagian kisahku pada 23 April 2016. Tepatnya sebagian. Bukankah 23 April ini masih akan berlangsung hingga pukul 24.00 WIB nanti? Dan nanti malam, ada panggung dangdut di sebelah rumah. Sudah pasti malamku bakalan tergubraks karenanya. Entahlah.... Untuk yang satu ini aku mesti bersyukur atau tidak?

MORAL CERITA:
Bersyukurlah untuk tiap hal yang kita genggam. Sepahit dan seburuk apa pun. Percayalah. Syukur itulah yang akan menetralkan rasa pahit dan buruk tersebut. Yang bisa bikin kita senantiasa bahagia.




Jumat, 22 April 2016

HARI KARTINI (2)

2 komentar
SESUAI dengan janjiku kemarin, hari ini aku akan menuntaskan bagian kedua dari dua tulisan. Hehehe. Serasa jadi kolumnis beken deh diriku. Pakai sambung-menyambung segala tulisannya. Obsesi, obsesi. Ini memang sebuah obsesi. Eh! Kalau belum tahu tulisan bagian 1-nya, ini nih silakan baca dulu Hari Kartini (1).

Baiklah.  Aku ceritakan di sini, ya. Acara pertama di sekolah, tentu saja upacara bendera dalam rangka memperingati Hari Kartini. Semua petugasnya anak perempuan. Adiba ketiban sampur sebagai Pembaca Teks UUD. Selesai upacara, rehat dan makan snack berat. Iya, berat. Soalnya arem-aremnya super duper besar.   

Selanjutnya ada aneka lomba. Salah satunya lomba menulis tentang Kartini. Adiba ikut lomba yang ini, dong. Tentu saja. Daripada ikut lomba membaca puisi, berpidato, atau fesyen so (hihi...ejaannya); dia milih yang agak memeras otak. Pemalu anaknya. Seperti emaknya gitu, deh.

Hasilnya? Alhamdulillah Adiba keluar sebagai juara 1 untuk lomba menulis tentang Kartini. Hadiahnya? Sebuah botol minum merk beken (aman kesehatan) plus sebuah celengan plastik berbentuk ikan. Dan, ada hal yang mengagumkan terkait hadiah lomba.  

Hal mengagumkan apakah? Begini. Ketika aku tengah mengamati celengan ikannya, Adiba bilang, "Besok aku diingatkan untuk bawa celengan itu, ya?" Aku memandangnya dengan tatap mata tak paham. "Celengan itu mau kukasihkan Rico. Tadi dia sudah memintanya. Tapi kubawa pulang dulu. Supaya Bunda melihatnya dulu." #Ya Allah, dia ingin berbagi kebahagiaan denganku rupanya; menyuruh Rico menunggu demi sang bunda.... wuahh, aku terharuuuuu....

Kembali aku terpana. "Ini hadiah... kamu, tidak apa-apa diminta? Rico itu ketua kelasmu? Yang tadi pagi BBM minta dibarengi berangkat sebab malu pakai surjan dan blangkon?" Tanyaku beruntun dengan semangat kepo maksimal.

Adiba menggeleng. Katanya, "Tidak, Bunda. Rico itu yang ibunya meninggal. Yang bapaknya seperti kakeknya. Yang tadi pagi itu Rio, yang ayahnya dipenjara. Eh, Rico tahu kok kalau aku tak suka celengan. Enggak suka nabung aku. Enggak apa-apa celenganku itu dimintanya. Mungkin dia mau nabung untuk beli apa-apaan gitu?"

Ya, Tuhan. Percakapanku dengan Adiba singkat saja. Tapi sudah membuatku tercekam pikiran. Huft! Rico, Rio, Adiba. Tiga anak dengan jalan takdir masing-masing. Ya, Allah. Apa pun itu, semoga di masa depan ketiganya menjadi orang dewasa yang total mencintai-Nya. Aamiin.

Percakapan singkat itu, juga membuatku bahagia. Aku mesti bersyukur Adiba lumayan care kepada teman-temannya. Namun, aku juga heran. Dua hari belakangan ini kok Adiba menjadi demikian manis sikapnya? Hmmm. Aku jadi bingung untuk menentukan sikap.... #Ckckck kesongongan dimulai

Sudah, ah. Daripada mellow-mellow, mari kita lihat foto-foto Adiba berkebaya saja. Iya. Dalam postingan ini memang kuunggah beberapa foto. Nah, nah. Bisa terlihat deh hasil dandan mandiri Adiba kemarin. Enggak mau dijepret emaknya, tapi kalau sama teman-temannya malah paling narsis. Padahal, dia narsis pakai HP temannya. Ckckck.... 

MORAL CERITA:
Hidup itu penuh ketakterdugaan. Demikian pula anak-anak Anda. Sikap, ide, dan pikiran mereka acap kali menjungkirbalikkan estimasi Anda terhadap mereka.


Dia yang megang tongsis....

Wuahh, ini dia tokoh utamanya!

Ya ampyuun, bibirnyaahhh!

Dikerubuti penggemar.... Hahaha!

Masih dikerubuti penggemar

Hmmm....

Dibikin pinky....

Woww, tampak remaja....

Kali ini Adiba tidak megang tongsis. Sesekali, Bok!

Nah! Kembali megang kendali tongsis. Yeayy... :D



Kamis, 21 April 2016

HARI KARTINI (1)

2 komentar
HARI ini, tanggal 21 April 2016. Hari Kartini, coy! Di mana-mana terlihat kerumunan orang berpakaian kebaya dan busana adat daerah lain. Dewasa-remaja-anak. Pria-wanita. Pegawai-pelajar. Pokoknya meriah lah yauw....

Salon-salon penuh orderan. Baik yang order busana komplet sekalian riasan wajah maupun yang sekadar sewa busana. Nah, lho. Kukira, inilah hikmah pertama Hari Kartini. Para pemilik salon itu tentu diam-diam berkata, "Matur nuwun Ibu Kartini, tiap tanggal 21 April begini omzet kami meningkat." Hehehe... :D

Hmmm. Kiranya bagiku, Hari Kartini tahun 2016 ini berbeda nuansa. Saat Adiba kelas 1-2-3-4, tak sekalipun dia ikut euforia berkebaya pada Hari Kartini. Alasan tepatnya entah apa? Aku tak tahu sama sekali hingga kini. Pokoknya enggak jelas, deh. 

Maka tatkala kemarin siang sepulang sekolah, dia mengeluarkan seperangkat alat shalat....eh, seperangkat kain berikut kebaya dan manset dalamannya, aku terpana. "Aku ditunjuk sebagai pembaca teks Pembukaan UUD, Bunda. Jadi besok, terpaksa ikut kartinian. Nih, aku sudah nyewa baju dari salon. Barengan Viola dan Qiessa tadi. Bayarnya lima puluh ribu, " kata Adiba panjang lebar.

Mendengar perkataannya itu, lagi-lagi aku terpana. Makin terpana sebab dia sudah langsung meminta uang sewa baju kepada sang ayah. Asli, ini saaangaaat kereeen. Kamu Kartini beneran, Nak. Mandiri. Bisikku dalam hati, sesyahdu mungkin. Namun, siapa sangka?  Ternyata malamnya, aku kembali dibikin terpana olehnya. 

"Bunda. Yang namanya alas bedak itu mana?" Tanya Adiba seraya mendekatiku. Ditentengnya pouch Oriflame yang berisi beberapa peralatan make up. Kutunjukkan. Lalu, dia menanyakan beberapa hal lain terkait make up wajah. Kujawab semampuku. Jelek-jelek begini eike 'kan konsultan Oriflame. Jadi, enggak buta-buta amatlah dengan riasan sederhana yang mendasar. Hihi.... :D

"Besok aku mau dandan sendiri. Enggak usah didandani Bunda," kata Adiba mantap. Aku tersenyum lebaaaar. Penyebabnya? Hmmm. Tentu saja sebab aku merasa takjub dengan kepedeannya. Tapi kayaknya lebih sebagai ekspresi rasa lega deh... sebab esok hari tak perlu repot mendandani anak. Aih! Dasar bunda songong.

"Tapi enggak usah pakai bulu mata palsu dan pensil alis," saranku.
"Memangnya kenapa?"
"Sebab Bunda enggak punya keduanya." 
"Halah, Bundaaa...."

Dan tarrraaaa...!!! Barusan satu jam yang lalu, Adiba berangkat ke sekolah. Dia memang mempersiapkan segalanya sendiri. Mulai dari merias wajah hingga berkebaya komplet dengan jilbabnya, semua betul-betul dilakukannya tanpa bantuanku. Hasilnya? Rapi kok. Paling tidak, enggak kayak badut. Nah, lho. Dia betul-betul Kartini masa kini 'kan? Anak pintar tiada tara. Haha! 

Tapiii..... Berhubung Adiba tadi ogah kupotret, maka yang kupasang kali ini fotonya tatkala ia masih imyuuut. Tatkala ia baru saja masuk SD. Berkebaya juga, sih. Tapi bukan dalam rangka Hari Kartini, melainkan saat peringatan Hari Jogja pada Oktober 2011.

#Ini bagian pertama dari dua tulisan, ya
#Insya Allah besok aku akan menulis tentang aktivitas Adiba di sekolah, saat merayakan Hari Kartini

MORAL CERITA:
Semenyebelin apa pun seorang anak, pada saat-saat tertentu dia toh akan memperlihatkan sisi ciamiknya. Haha!


Rabu, 20 April 2016

Jejak Digitalmu

2 komentar
SUATU ketika pada masa yang belum terlalu lama, aku ditakdirkan berurusan dengan seorang teman lama. Tepatnya sih teman lama yang pada masa lampaunya tak aku kenal. Hmmm. Tak begitu aku kenal.... Hanya sering mendengar tentangnya. Kala itu namanya kerap disebut-sebut oleh teman-temanku yang lain. Ckckck. Ribet amat nih kedengarannya? Sudahlah. Pokoknya begitu. Anda paham maksudku toh? Oke. Kuanggap saja paham. Haha!

Nah! Tentu saja kategorinya, dia itu makhluk asing yang berasal dari negeri masa silamku yang jauuuhhh di belakang sanaaaahhh. Tapi ndilalah kok dia ditakdirkan-Nya mampir di beranda kehidupanku masa kini. Wuahhh! Apalagi mampirnya sangat tiba-tiba. Lalu bla-bla-bla, sebagaimana laiknya sepasang sahabat lama, saling curhat-sharing-sekadar berbincang banyak hal ringan.

Kalau dahulu aku tak begitu kenal, sekarang malah bisa mengobrol secara lebih intim. Hmm. Kelihatannya kami akan selamanya menjadi sepasang kawan baik. Bahkan tatkala tahu rekam kelam jejak masa silamnya, aku tak serta-merta mengambil jarak darinya. Sekadar berteman, apa salahnya? Siapa tahu aku yang baik hati ini (uhuks) kelak mampu membuatnya jadi baik? Hmmm. 

Lagi pula, kupikir kini dia telah berubah jadi lebih baik. Sudah makin berumur gitu, lho. Masak enggak segera mau bertobat? Dan semuanya, tampak berjalan normal hingga beberapa lama. Namun, siapa sangka? Ternyata kemudian ada satu titik peristiwa yang merenggangkan kedekatan kami. Renggang hingga kemudian dia menghilang sama sekali. Dan demi Allah, titik peristiwa itu menyadarkanku akan sesuatu!

Yeah.... Aku jadi sadar bahwa kekelaman masa lalunya memang telah merusak hidupnya. Bahkan, hingga sekarang. Dia --sang teman lamaku itu-- ternyata belum bisa move on dari kekacauan hidupnya. Tepatnya kekacauan hidup yang dibuatnya sendiri. Ya, Allah. Dan aku tahu, itulah penyebab banyak orang dari masa lalunya enggan berhubungan lagi dengannya. 

Sang teman lamaku pun sadar betul akan hal ini. Maka kumaklumi bila dia sedikit banyak kulihat agak minder bila berkomunikasi dengan mereka yang memandangnya sebelah mata. Bagus sebetulnya. Bisa menjadi motivasi baginya untuk bersegera dalam memperbaiki diri. Tapi sayangnya, yang bersangkutan sendiri malah memilih sekadar minder. Tak kunjung menindaklanjutinya dengan upaya move on... to be a better man. 

Apa boleh buat? Didorong oleh rasa penasaran akan suatu kebenaran, pada akhirnya aku mampu menerka bagaimana warna dirinya setelah... STALKING! Ya, aku terpaksa jadi stalker-nya. Ah, padahal stalking dan stalker bukanlah hal-hal yang kusuka. Baca deh postinganku terdahulu di sini. Tapi sungguh, kali ini kuterpaksa melakukannya. Sekali lagi, demi suatu kebenaran. 

Oh la la! Apa fakta yang kudapat dari hasil stalking? Ternyata, oh, ternyata! Beberapa jejak digitalnya, yang tersebar di berbagai akun medsosnya, merujuk pada satu hal: ia "sakit"! Duh, duh. Sebagian dari perkataannya memperlihatkan inkonsistensi. Rumit. Ribet.

Melihat fakta hasil stalking tersebut, ada dua hal yang kulakukan. Pertama, bersyukur sebab terhindar dari teman yang berenergi negatif. Kedua, bersyukur sebab bisa belajar banyak dari kisah pahit hidupnya. Hmm. Kiranya inilah hikmah yang hendak disampaikan kepadaku oleh Sang Maha Mendekatkan. 

#Ini kisahmu, Kawan. Maaf, aku telah lancang merunut jejak digitalmu....
#Bagaimanapun warna dirimu, tak ada alasan bagiku untuk menghakimimu. Kita sama-sama makhluk yang tak tahu apa-apa 'kan? 
   
MORAL CERITA:
Berhati-hatilah dalam pergaulan di dunia maya, dalam menuangkan pikiran dan perasaan di medsos, sebab semua akan menjadi jejak digital yang tak terhapuskan.

 



 

Selasa, 19 April 2016

STATUS FESBUK

0 komentar
SEJAK punya akun fesbuk, aku sudah banyak bikin status. Tema statusku apa saja. Mulai dari status jualan hingga status yang ngegaya sok-sokan supaya terlihat pintar. Kebanyakan kutulis tatkala senja dan pagi hari. O ya. Status fesbukku bisa terinspirasi dari apa saja dan siapa saja. Baik inspirasi yang memunculkan hal baik maupun buruk. Hehe...

Alhamdulillah aku antistatus galau bin risau bin keluhan. Kalaupun sedang bete dan ingin menstatuskannya, sudah barang tentu akan kususun sedemikian rupa indahnya... sehingga tak vulgar sebagai curhatan. Kalaupun yang muncul adalah inspirasi buruk, aku toh tak akan mengumbarnya begitu saja. Hasilnya? Malah dipuji sebagai tulisan yang bagus. Haha! Ya bagus laaahh, 'kan menulisnya pakai hati bangeett.

Suatu ketika, seseorang berkomentar begini, "Enak ya, jadi penulis. Statusnya jadi susah dibedain. Itu petikan novel atau curhatan pribadi?" Woww! Daaan, aku pun tertawa geli membaca komentar tersebut. Telak menohokku, sih. Hadeuwwh!

Yang paling ajib dan ajaib, tentu saja respons seseorang belakangan ini. Duhhh, bikin aku merasa gimanaaaa gitu? Betapa tidak gimana? Seseorang itu merasa banget (alias ke-GR-an) kalau status-status fesbukku menyindirnya. Duhai, kamuuuuhhh! GR tingkat dewa, deh. Mungkin ada satu sisi yang mirip dengan situasi-kondisimu, Kawan. Tapi teliti lagi, dong. Bukan tentangmu seluruhnya 'kan? Eh??? Berarti memang sedikit menyerempetmu.... :D

Ah, sudahlah. Abaikan saja dia yang GR itu. Yang penting, aku menulis sebuah status --terutama pada waktu belakangan ini--  adalah sebagai test case. Yakni test case apakah "kisah" yang kutulis cukup menarik minat pembaca atau tidak? Ceritanya aku tuh lagi belajar menulis fiksi. Hmmm. Tapi kadang kala, juga terselip sedikit upaya curcol, sih. Haha! Sami mawoooon.

Baiklah. Mari kita simak beberapa status fesbukku ini. Silakan baca, pahami, dan komentari. Boleh pedas level paling atas, kok. Aku tak bakalan melaporkannya kepada pihak berwajib.
     
(1)
"Hatiku bukan mawar. Hatiku sianida...."
Demikian katamu sebelum melenyapkan diri. Menghapus segala jejak yang mungkin bisa aku telusuri. Iya, itulah perkataanmu pada perjumpaan kita yang terakhir. Dan kini, aku hanya bisa masygul mengenangnya.... ‪#‎aku‬ dan senja ini

(2)
Bagiku, kunang-kunang tak pernah kehilangan pendaran pesonanya. Selalu bercahaya di gelap malam. Makin gelap makin berpendarlah cahayanya. Masalahnya, aku kini tak pernah lagi menjumpai kunang-kunang. Pelan namun pasti, pesonanya pun tak lagi membelengguku. Ternyata.... Pesona itu hilang begitu kunang-kunangnya hilang. Sama halnya dengan kamu. Seiring dengan waktu, hilangmu pun berarti terbebaskannya aku dari jerat pesonamu... ‪#‎aku‬, kunang-kunang, dan senja ini

(3)
Mengganti arah hidup itu mungkin. Anggap saja seperti mengganti warna tinta pena, tatkala kita tengah menulis sepucuk surat cinta. Terasa agak gimana pada mulanya, tapi lama-lama terasa biasa saja. Haha...! Zadoel amat metaforanya....

(4)
Mungkin kita pernah membaca cerpen yang sama. Atau, mengalami kisah nyata yang serupa. Ah! Mungkin...??? Sebab kurasa, kosakata kita tak jauh berbeda. Kusadari ini. Sekarang ini. Pada senja yang temaram kelam ini... ‪#‎aku‬ dan senja

(5)
 Sungguh, sore ini hujan demikian liar!

(6)
Pinginnya, aku letakkan semiliar asa di awan senja. Tapi apa daya? Hujan yang menderas musnahkan semua asa itu....

(7)
 Hujan yang menggila dan senja yang tak merona!

(8)
Sungguh, saat ini hujan. Mendung menggantung hitam, sehitam hati yang naik pitam. Tak peduli bahwa ada jemuran-jemuran yang merana....

(9)
Tiba-tiba saja hujan menderas. Tegas dan lugas menyatakan bahwa hari ini senjaku kelabu adanya....

(10)
Senja dan hal-hal yang seperlunya!

(11)
Senja yang kelam oleh awan hitam ‪#‎edisisenjaterakhirdi2015‬

(12)
Senja yang kekinian adalah senja yang diwarnai rinai hujan....

(13)

Hujan tanpa jeda
Dan teleponmu yang tiba-tiba ‪#‎senjaini‬

(14)
 Ah, masih ada yang tersesat di labirin hatiku! ‪#‎sedikitcatatandisenjanantemaramini‬

(15)
 Nyalakan selalu kompor hidupmu; seterbatas apa pun bahan bakarnya! ‪#‎hikmah‬-di-senja-ini #‪#‎JANGANBERSEDIH‬

Bagaimana menurut Anda? Menarikkah kelima belas kutipan status fesbukku itu? Atau jangan-jangan, Anda merasa sebagai tokoh utama dari status yang kutulis itu? Alias merasa ke-GR-an? Hehehe.... Boleh banget kok merasa GR. Silakaann.

MORAL CERITA:
Bikinlah status-status yang ciamik di fesbuk. Lalu, arsipkan. Ini menjadi semacam tabungan tulisan. Suatu saat kelak, Anda bisa mengembangkannya menjadi sebuah cerpen atau malah novel.

     Tentu saja gambar di bawah ini diambil dari internet; bukan eternit.... :D
 

PIKIRAN POSITIF Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template