Selasa, 26 Mei 2020

Lebaran Covid-19

14 komentar
APA kabar Sobat Pikiran Positif?

Selamat Hari Raya Idulfitri 1441 Hijriah. Mohon maaf lahir dan batin. Taqobalallahu minna waminkum.

Tak terasa, ya?  Deretan hari-hari dalam Ramadan telah tuntas. Lebaran pun, pada hari ini, telah menginjak hari ketiga.  Alangkah cepat waktu melaju!

Yeah ....

Sebagaimana kita mafhum, Ramadan dan Lebaran kali ini sungguh berbeda nuansa. Jauh dari ingar-bingar keduniawian. *Semoga saja memang begitu. *

Biasanya selama Ramadan, masjid-masjid semarak. Sejak lepas Asar hingga jelang Subuh. Ada pengajian jelang buka puasa, yang tentunya dilanjutkan dengan buka bersama. Ada tarawih bersama di mushala-mushala dan masjid-masjid. Ada tadarusan beramai-ramai.

Lalu, ada takbiran di mana-mana. Baik di masjid dan mushala maupun takbir keliling. Pagi harinya umat Islam ramai-ramai pergi ke lapangan atau masjid, untuk melakukan shalat Id bersama.

Hmm. Namun tahun ini, semua kesemarakan tersebut nyaris tak ada. Ada imbauan  untuk beribadah dari rumah. Tarawih di rumah. Shalat Id pun di rumah. Bahkan, aku pun tak mudik dan tak makan ketupat opor. Hehehe .... *Malah curhat. *

Iya. Begitulah Lebaran Covid-19 yang mesti kita jalani pada tahun 1441 Hijriah. Bertepatan dengan tahun 2020 Masehi. Lumayan menerbitkan kesan dan perasaan yang nano-nano, sih. Ada sedihnya, ada hikmahnya. Pokoknya komplet.

Baiklah.  Apa pun itu, semoga kita senantiasa ikhlas, sehat, dan bahagia. Biarlah si Covid-19 terus menghantui hari-hari kita. Tetap tenanglah. Kita senyumin dan kedipin aja. Ajak berdamai sajalah.

Eit, eit, eit! Jangan buru-buru salah paham. Berdamai dengan Covid-19 itu tidak berarti menyerah kalah kepadanya, lho. BIG NO!

Lalu berarti apa, dong? Begini. Berdamai dengan Covid-19 = beradaptasi dengan pola hidup baru. Yakni pola hidup baru terkait dengan eksistensi si Covid-19 tersebut. Dengan kata lain, kita mesti mempertangguh kesehatan diri supaya tidak diintimidasi olehnya. Tidak kalah eksis darinya. Begituuuh.

Kiranya sekian saja ocehanku tentang Lebaran Covid-19 ini. Semoga bisa menghibur dan ada faedahnya dunia akhirat. Stay safe, stay healthy. 

MORAL CERITA:
Mari bersiap menyambut era new normal.



Sebelum si Covid-19 eksis, kampung Kauman ini selalu meriah saat jelang berbuka puasa 





Selasa, 19 Mei 2020

SMPN 6 Yogyakarta

24 komentar
Bangunan heritage SMPN 6 Yogyakarta

HAI Sobat Pikiran Positif ....

Di tengah kesibukan kalian dalam menyambut Lebaran, izinkan aku untuk mengajak berjeda. Sebentaaar saja. *Weih!  Mengajaknya sambil bawa golok, nih.*

Baik. Kali ini aku mengajak kalian berjeda dari kesibukan, dengan berpiknik ke bangunan heritage SMPN 6 Yogyakarta. Yang lokasinya di kawasan Jetis.

Ancar-ancarnya, dari Tugu Pal Putih ke utara. Setiba di perempatan lampu merah, tengoklah ke kiri. Tepatnya ke bangunan yang berada di pojokan barat perempatan itu. Nah, di situlah lokasi SMPN 6 Yogyakarta. Strategis banget 'kan? Jadi, mudah sekali dicari. 

Kakak dari Malamuseum in action

Bangunannya menghadap ke utara. Akses pintu gerbangnya pun dari utara. Pokoknya tak usah khawatir bakalan nyasar. Ada tulisan besar di atas pintu gerbangnya, kok.

Bagi yang tak paham bahwa bangunan SMPN 6 Yogyakarta merupakan Cagar Budaya, niscaya membatin, "Kenapa bangunannya dibiarkan usang bergaya zadoel begitu? Apa tidak lebih baik, kalau arsitekturnya dipermodern? Masak sih, tidak ada dananya?"

Hehehe .... Enggak boleh diganti-ganti, dong. Bangunan Cagar Budaya 'kan wajib dilestarikan. Ada UU yang melindungi dan mengaturnya. Adapun bangunan SMPN 6 Yogyakarta, yang merupakan eks Hollandsch-Inlandsche School, dilindungi oleh UU RI Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.


Selasar agar siswa tak kehujanan-kepanasan

Kondisi bangunan SMPN 6 Yogyakarta sekarang memang tak sama persis dengan dahulu. Seiring berjalannya waktu, ada penambahan kebutuhan ruang dan sarana lainnya. Namun, pastilah dengan tidak mengusik sedikit pun bagian Cagar Budayanya. Maklumlah. Makin ke sini, siswanya 'kan makin banyak.

Misalnya aula yang dahulu tanpa dinding sama sekali, kini justru berdinding. Adapun dinding tersebut sebenarnya merupakan dinding dari ruangan-ruangan yang ada di sekeliling aula. Kubayangkan, dahulunya kompleks sekolah tersebut punya halaman dalam yang luas. Namun fakta yang kulihat sekarang, tak ada lagi halaman luas itu. 


Aula yang aslinya tanpa dinding sama sekali

Imajinasiku pun terbang melayang ke masa silam. Saat pemerintah kolonial Belanda bercokol di Indonesia. Saat bangunan SMPN 6 Yogyakarta masih menjadi bangunan De Eerste School (Sekolah Kelas Pertama) bagi anak-anak bumiputera golongan atas. Bukan yang berasal dari rakyat biasa/golongan rendahan.

Hmm. Pastilah tatkala itu suasananya syahdu. Para siswa bisa berjalan dengan santai dan aman di selasar, yang menghubungkan antarbangunan. Tak peduli sedang panas terik atau sedang hujan. 'Kan selasarnya sengaja diberi atap. Tujuannya agar para siswa tidak jatuh sakit sebab kepanasan atau kehujanan, ketika hendak mencapai satu bangunan ke bangunan lainnya. Misalnya dari ruangan kelas ke kamar mandi.

Harus kuakui, perhatian pemerintah kolonial Belanda tersebut keren. Sampai dipikirkan segala lho, keamanan perjalanan siswa ke kamar mandi. Hehehe .... Perhatian untuk siswa pribumi saja sudah keren. Apalagi perhatian yang untuk siswa Belanda. Pastilah jauuuh lebih baguuus.


Salah satu sudut halaman yang terasa kekinian


Bagian dalam sebuah ruangan kelas

Beruntunglah kalian yang pernah bersekolah di SMPN 6 Yogyakarta. Berarti kalian punya pengalaman berkarib dengan bangunan Cagar Budaya. Apalagi kalau kalian sempat berfoto-foto di semua sudutnya. Wah, wah, wah. Kenangan berharga banget itu.


Pintu kelas 

Jendela kelas 

Di teras kelas (perhatikan lapisan atapnya) 

Arsitektur bangunan sekolah ini memang khas. Dalam sekali lirik, kita bakalan langsung tahu kalau model bangunannya lawasan. Yang menarik dan menonjol, ruangan-ruangan di situ memiliki ventilasi yang bagus. Silakan cermatilah foto jendela dan pintu di atas.

Bagaimana dengan lantai atau tegelnya? Seperti yang bisa kita saksikan pada foto selasar, tegelnya ya polosan begitu. Yup! Memang bikin aura kekunoannya terasa kuat. Apalagi kalau kita melongok ke deretan toilet di bagian belakang bangunan.

Mari cermati dua foto berikut. Model bangunan, warna cat, dan motif lantainya sungguh menegaskan kezadoelannya. Hmm. Namun, begini .... Meskipun kondisi semua toilet bersih dan tidak berbau, entah mengapa rasaku tergetar hebat manakala berada di situ. Iya. Aku dilanda perasaan seram. *Dasar penakuuut.*


Deretan toilet perempuan

Deretan toilet laki-laki

Tutup terowongan atau tutup penampungan toilet?

Di dekat deretan toilet laki-laki ada segundukan besi. Warnanya hitam. Silakan lihat foto di atas. Kakak dari Komunitas Malamuseum menjelaskan bahwa diduga, itu mulut terowongan yang menuju keraton atau menuju ke bangunan SMKN 2 Yogyakarta.

Akan tetapi ketika foto tersebut kutayangkan di akun FB, seorang kawan mengutarakan dugaan yang berbeda. Katanya, "Jangan-jangan itu tutup saluran pembuangan air saja?" Wah, iya! Benar juga. Bisa jadi sebenarnya penutup saluran pembuangan air saja. Who knows?

Nah. Sekarang terserah kalian. Hendak condong pada pendapat yang mana? Namun ketimbang saling bermusuhan gara-gara berlainan pendapat, bukankah lebih baik kalau kalian sama-sama menelaah salinan rapor zadoel berikut?


Keterangan di rapor, tentang hasil belajar dan perilaku siswa 

Nilai yang berupa angka 


Cermatilah tahun ajarannya. Dimulai pada Juli, diakhiri pada Juni. Seperti sistem yang kita pakai saat ini 'kan? Aha!?? Jadi kepikiran nih, jadinya. Apakah pandemi COVID-19 akan membuat sistem tahun ajaran baru berubah atau tidak? Hehehe ....

Ngomong-ngomong ketika berada di penghujung kunjungan, aku terhenyak. Campuran antara merasa ingin ngakak dengan surprise. Yoiii. Ketika melewati telepon koin ini, aku langsung berseru "Wow". Hahaha! Seketika, aku pun merasa terseret arus nostalgia.

Ketahuilah. Dahulu saat masih menuntut ilmu, aku pernah menelepon pakai benda ini. Memasukkan koin seratus rupiahan, lanjut mengobrol dengan seseorang di ujung sana. Cukup lima menit. Waktu maksimalnya memang segitu.

Namun, alangkah kagetnya aku. Begitu gagang telepon kugantungkan kembali pada tempatnya, eee .... Kok koin-koin berhamburan keluar tanpa terkendali. Total usai membayar Rp100,00, aku malah membawa pulang tiga genggam koin seratusan. Hahaha!


Telepon koin 

Demikian ceritaku tentang bangunan Cagar Budaya SMPN 6 Yogyakarta. Semoga bermanfaat dan menginspirasi. Kalau ingin main-main ke situ, silakan colek daku saja. Bisa lewat Twitter @TinaFajarina IG @agustinapurwantini FB Agustina Purwantini atau melalui blog ini.



Selasa, 12 Mei 2020

Bangunan STIENUS Yogyakarta

10 komentar
STIENUS Yogyakarta
HAI .... 

Sobat Pikiran Positif sehat-sehat saja 'kan ya? Semoga. Semoga pula sehatnya pun sehat jasmani dan rohani. Yeah! Apalah artinya sehat badan kalau kejiwaan terganggu? Iya toh? 

Baik. Kalau begitu, mari kita kembali berpiknik heritage keliling Jogja. Kali ini destinasi kita (seperti termaktub dalam judul dan foto di atas) adalah bangunan STIENUS Yogyakarta. 

Ngomong-ngomong, STIENUS itu apa? Tak lain dan tak bukan, STIENUS = Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Nusa Megarkencana. Lokasinya di Jalan A. M. Sangaji Yogyakarta. Kawasan Jetis. 

Dari Tugu Pal Putih ke utara, setelah nemu perempatan (yaitu perempatan Jetis),  tetap ke utara kurang lebih 200 meter, kiri jalan. Bangunannya menghadap ke timur. Berhalaman luas. Jangan takut nyasar. Ada papan nama besar kok, di depannya. Lihatlah foto di atas. 


Penampakan bagian depan bangunan

Selain itu,  bangunan STIENUS memang mudah dikenali.  Coraknya berbeda dengan bangunan kekinian pada umumnya. Iya, tentu saja. Bangunan STIENUS merupakan Cagar Budaya. Bangunannya bergaya Indis yang bercampur dengan gaya tradisional Jawa. Atapnya berbentuk limasan. Di bagian depannya ada pendopo.


Jendela (1)

Jendela (2)

Perhatikanlah detil jendela di atas. Perhatikan pula asesoris biru berlekuk-lekuk yang terdapat di atas jendela. Cantik dan unik 'kan? Semua tampak bersahaja, tapi berkarakter kuat. Enggak beda dengan diriku lah ya .... *Halah bangeeet!*


Penampakan pinggir-pinggir atap

Model tepian atap bangunannya juga menarik. Seperti yang terdapat di bagian atas jendela tadi itu, lho. Gaya kekunoannya pun cukup artistik dan unik.


Kak Sandy Malamuseum in action

Serius menyimak "orasi" Kak Sandy di bagian depan bangunan 

Kak Sandy dari Komunitas Malamuseum menceritakan pelbagai hal terkait bangunan STIENUS. Ternyata sejauh ini, sepanjang penelitian yang dilakukan Kak Sandy dan kawan-kawan, belum ditemukan fakta sejarah terkait bangunan STIENUS. Dahulunya bangunan ini diketahui hanya berfungsi sebagai tempat tinggal pribadi. Oleh sebab itu, yang diceritakan Kak Sandy sebatas arsitektur bangunannya saja. 

O, ya. Ia menginformasikan pula bahwa bangunan STIENUS mirip dengan bangunan yang kini difungsikan sebagai Museum Jendral Sudirman, yang berlokasi di Bintaran. Hanya saja, yang bangunan STIENUS lebih berukuran kecil dan kalah megah. 


Motif tegel bagian tengah (dalam)

Perhatikan cara pemasangannya

Motif tegel polosan (diletakkan di bagian pinggir)

Satu hal lagi yang perlu diperhatikan. Yakni tentang lantai. Yup! Ketahuilah. Motif-motif tegel yang dipergunakan di bangunan-bangunan heritage memang selalu menarik. Tentu termasuk yang dipergunakan di STIENUS ini. 

Akan tetapi sejauh yang kujumpai dalam kunjungan tempo hari, hanya ada dua motif tegel di situ. Keduanya terdapat di bagian luar. Berhubung bagian dalamnya tatkala itu tidak bisa diakses, aku pun tak tahu motif tegel di ruangan dalam. 

Demikian cerita singkatku tentang piknik kami ke bangunan Cagar Budaya STIE Nusa Megarkencana. Semoga bermanfaat dan bisa menginspirasi. 

MORAL CERITA: 
Mari kenali tiap bangunan unik bersejarah di kota kita! 








Selasa, 05 Mei 2020

Solo+Imlek+Hujan = Syahdu

6 komentar
Lampion Imlek di seputaran Pasar Gede Solo

... dan kami berteduh di Kedai Kopi Pak Agus ...


SELASA ini, tanggal 5 Mei 2020, para sobat ambyar  benar-benar merasakan keambyaran massal. Iya. Sang Maestro musik campursari, Didi Kempot, kembali ke pangkuan-Nya pagi tadi. Linimasa medsos pun penuh dengan ungkapan bela sungkawa. Mau tidak mau, diriku yang sejatinya juga mengidap keambyaran akut (tapi enggan memproklamasikan diri sebagai sobat ambyar), ikut terbawa suasana. 

Alhasil terjadilah pembelokan tema, untuk up date –an blog yang tayang hari ini. Semula akan menayangkan tulisan bertema bangunan heritage di Yogyakarta, lalu berbelok arah menjadi tulisan beraroma baper semacam ini. Yang sedang kalian baca ini. 

Hmm. Apa hubungan antara kabar duka tersebut dengan pembelokan tema? Lho, lho, lho. Jangan lupa. Solo ‘kan kota asal Lord Didi Kempot? Itulah benang merahnya. Hehehe .... 

Pokoknya apa pun istilahnya, yang jelas kabar duka hari ini bikin aku terkenang pada Solo. Terkhusus saat perayaan Imlek, Januari 2020 lalu. Yang rasanya demikian romantis dan syahduuu.

Jalanan depan pasar selepas hujan

Mereka di sana ....

Entah apa yang membuatku belakangan ini, demikian antusias pada Solo. Kalau sebab kangen pada makanannya, jelas tidak. Kalau sebab pekerjaan, sangat jelas tidak sama sekali. Please, deh. Tolong jangan paksa aku untuk menjawabnya secara tepat. Lhah wong aku sendiri tak tahu. 

Bisa jadi penyebabnya adalah kenangan. Namun, entah kenangan yang mana dan yang seperti apa? Aku bahkan ragu, benarkah aku punya kenangan di Solo atau terhadap Solo? Wah, mbulet.

Sudahlah. Tak penting semua itu. Intinya di sini, aku cuma hendak berbagi perasaan saja. Yakni perasaanku tatkala berkunjung ke Solo tempo hari. Terkhusus di seputaran Pasar gede. Tepatnya ketika perayaan Imlek berlangsung.   


Di depan klenteng bersejarah

Ada apa dengan Imlek dan Solo? Hmm. Ada lampion-lampion dan hujan yang menerbitkan kesyahduan, dong. Plus kisah-kisah unik dan konyol yang kami alami. Salah satunya keterkejutanku saat beli nasi kucing di HIK (di Solo angkringan disebut HIK). Lhah?! Kok ukuran nasinya beneran sedikiiit? Lebih kecil ketimbang nasi kucing di angkringan Jogja.



....

....

Selain cerita tentang nasi kucing, ada pula cerita tentang kami yang nyaris ketinggalan kereta saat hendak pulang ke Jogja. Apa penyebabnya? Tak lain dan tak bukan, penyebabnya adalah kemacetan dan keengganan kami meninggalkan Solo. 

Parah memang. Sebab makin malam suasananya makin syahdu, kami merasa sangaaat berat untuk pulang. Padahal, sudah sejak pagi kami muter-muter di seputar Pasar Gede itu. Ah, Solo. Mengapa perasaanku mesti begini ini terhadapmu? Muehehe ....        


Sebenarnya dua ABG itu yang berfoto, tapi aku iseng nimbrung



Kiranya begini saja celotehan ke-baper-anku kali ini. Semoga (walaupun sedikit dan entah bagaimanapun bentuknya) ada manfaatnya bagi kalian. Semoga pula bisa menginspirasi kalian untuk pergi ke Solo juga. Kelak. Saat pandemi COVID-19 sudah berakhir. Ketika perayaan Imlek tahun depan kembali diselenggarakan.

MORAL CERITA: 
Ternyata hujan tetap menjadi komponen sangat penting untuk menyusun perasaanku!









 

PIKIRAN POSITIF Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template