Selasa, 17 Maret 2015

TULISAN ADIBA

2 komentar


LIHAT dua foto di atas. Itu adalah dua dari sekian hasil tulisan anak semata wayangku, Adiba. Foto atas tulisan berbentuk prosa, sementara yang bawah berupa puisi. Sederhana memang. Dan, dibuat dalam rangka memenuhi tugas sekolah. Tapi aku terharu karenanya. Halah.... sinetronis bingiiittzz.... hihihi....

Mengapa daku sebagai ibu yang tidak melankolis kok sampai merasa terharu biru begitu? Begini alasannya. Ketika memamerkan tulisan itu kepadaku, ia bilang, "Bunda, teman-temanku tuh payah. Kalau disuruh bikin karangan malah pada mikir keras. Eh, kalau dikasih soal Matematika malah pada mengarang jawabannya? Ini tugasku bahasa Indonesia. Gimana menurut, Bunda?" 

Aih! OMG! Demi mendengar segala perkataannya, daku dirasuki setan, eh, keharuan yang membuncah. Bukan sebab tulisannya sudah bagus selangit, melainkan karena pendapatnya tentang teman-teman sekelasnya. Disuruh mengarang malah mikir, disuruh mikir malah mengarang. Hehehe.... 

**Ini ceritaku tentang tulisan anakku kali ini. Bagaimana ceritamu, Kawan? Hmm, aku sih iri berat pada Bu Gurunda Marul P dari IIDN Jogja. Anak beliau sudah nerbitin buku, lho. Padahal usia anakku lebih tua dari anak beliau....
 

Minggu, 15 Maret 2015

Full Time Mother

0 komentar
FULL Time Mother, FTM! Ibu rumah tangga penuh waktu! Hmm.... Kiranya inilah sebuah profesi yang acap kali dipandang sebelah mata di negaraku tercinta (Mungkin juga di banyak negara lain). Dianggap enggak keren, terlebih jika yang menjadi FTM adalah lulusan perguruan tinggi alias sarjana. Padahal, profesi yang satu ini sungguh tak terhingga mulianya. Tak bergaji, sementara tugas yang mesti dilakukan tak henti-henti. Rentan stres. Rentan diremehkan oleh orang-orang yang "memuja" wanita karier, yang bekerja di kantor seharian. Ahh....

Sementara kalau diteliti baik-baik, memilih menjadi FTM berarti siap bekerja keras 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu. Tanpa jeda, tanpa honor pula. Belum lagi jika sang FTM juga berkarier alias mencari duit dari rumah. Wah, bisa makin bertambah-tambah tuh beban kerja kerasnya. 

Entahlah. Mengapa saya tergelitik untuk menulis tentang FTM? Mungkin karena saya sedang jengkel gegara seorang tetangga nyeletuk (yang ditujukan ke saya), "Sarjana kok enggak kerja? Sayang banget sudah capek-capek kuliah. Sudah bayar mahal pula."

Hehehe. Saya tahu, saya tahu. Mereka yang negative thinking dan nyinyir pada profesi FTM adalah mereka yang tak paham. Sungguh, mereka tak paham bahwa untuk menjadi FTM itu butuh ilmu yang banyak. Mulai dari ilmu ekonomi hingga ilmu mendidik anak. 

Ah, sudahlah. Biarkan saja anjing menggonggong. Yang penting kafilah tetap berlalu. Biarkan saja orang-orang yang tak paham menyepelekan seorang FTM. Yang penting karya nyata seorang FTM jelas-jelas dapat dilihat dalam hidup kesehariannya. Prestasi dan perilaku anaknya seperti apa, caranya bergaul bagaimana, pola pikirnya bagaimana, dan sebagainya.

#hidup-Full-Time-Mother!

      

  

Jumat, 13 Maret 2015

Menulis Itu Butuh Keberanian

0 komentar
MENULIS itu butuh keberanian. Bahkan, keberanian yang besar dan berlebih. Walaupun menulis dengan sebuah nama pena alias nama samaran, keberanian tetaplah menjadi hal yang amat krusial bagi seorang penulis. Ketika terjadi komplain terhadap tulisannya, maka dia tak semestinya menjadi seorang pengecut dengan berlindung di balik nama pena tersebut.

Bagaimanapun, seorang penulis harus berani mempertanggungjawabkan tulisannya. Apa maksudnya? Begini. Ketika menulis, seorang penulis tentunya mengungkapkan hal-hal yang sesuai dengan isi pemikiran dan pemahamannya kepada publik. Sementara publik itu sangat majemuk. Kemajemukan tersebut tentunya berpotensi menimbulkan pro dan kontra ketika mereka membaca tulisannya. Terlebih jika yang ditulis berkaitan dengan sejarah, yakni sesuatu yang memang rawan multiversi. Jangankan sebuah tulisan yang bernuansa sejarah. Sebuah tulisan opini pun bisa menimbulkan polemik berkepanjangan.

Nah! Ketika tulisannya menuai kontroversi, tepat pada saat itulah seorang penulis merasa hidupnya tidak tenang. Kalau mentalnya tidak kuat, komentar-komentar terhadap tulisannya itu akan dirasakannya sebagai momok yang mengintimidasi. Kalau menurut istilah Vicky, dia akan mengalami kontroversi hati akibat kontroversi tulisannya. Ujung-ujungnya, dia akan menyesal sebab telah menulis hal yang menimbulkan huru-hara.

Apa boleh buat? Kalau nasi telah menjadi bubur, terima saja. Toh semenyesal apa pun, tulisan telah menjadi kontroversi. Itulah kenyataan. Tak layak diratapi dan tak mungkin dihindari. Jadi, pilihannya hanya satu: hadapi saja dengan berani. Berani tak berani, ya harus diberanikan. Ah, Anda sekalian tahu maksud saya 'kan?

Oleh sebab itu, jangan sepelekan seorang penulis. Anda tidak tahu 'kan kalau sebelum menulis dia sudah berkelahi dengan rasa takutnya? Takut tulisannya jelek dan dianggap tidak bermutu; takut tulisannya menyinggung perasaan pihak lain; dan aneka rasa takut yang lainnya. Begitu pula ketika tulisannya sudah terpublikasikan. Hahhh.... Ternyata menjadi seorang penulis pun mesti setangguh ksatria baja hitam!

#sekadar-curhat-dan-berbagi-cerita-tentang-profesi-penulis


     

Selasa, 10 Maret 2015

Dilema Ibu Rumah Tangga yang Penulis

0 komentar
APA yang terbersit di benak Anda jika seorang wanita mengatakan "ibu rumah tangga" sebagai jawaban atas pertanyaan "Apa profesi Anda?" Apakah Anda akan meremehkannya sebab menganggap menjadi ibu rumah tangga penuh waktu bukanlah merupakan sesuatu? Atau sebaliknya, Anda amat menghargainya sebab ia telah mengambil keputusan besar untuk mendedikasikan hidupnya bagi keluarga?

Sekarang begini. Jika Anda seorang wanita dan mendapatkan pertanyaan serupa itu, apakah ekspresi yang akan Anda munculkan ketika menjawab "ibu rumah tangga"? Apakah Anda merasa malu karena sebenarnya jauh di lubuk hati ingin menjadi wanita karier yang mandiri secara finansial? Atau Anda justru bangga sebab pilihan sebagai ibu rumah tangga merupakan pilihan paling mulia bagi seorang wanita yang telah menikah, terlebih bila sudah punya anak? 

Baiklah. Apa pun yang terbersit di benak Anda, apa pun reaksi Anda, dan apa pun perasaan yang hadir di hati Anda tatkala menyebut/mendengar  "ibu rumah tangga" sebagai jawaban atas pertanyaan profesi seorang wanita, pasti akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan-strata sosial-pola pikir-pengalaman-situasi dan kondisi hidup yang Anda miliki. Maka di sini saya tak hendak menyalahkan ataupun memengaruhi Anda untuk setuju dengan pendapat pribadi saya terkait hal tersebut.

Hanya saja, saya hendak menyampaikan jika sebenarnya saya ini bercita-cita menjadi ibu rumah tangga yang baik dan benar. Dalam arti, saya lebih suka melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik ke rumahtanggaan daripada mesti berkarier di luaran. Sebagai istri (dulu), bukannya saya tak mau bantuin suami cari duit. Tapi kalau bisa mencari duit dari rumah, kenapa tidak? Mengapa mesti ngantor dari pagi hingga sore dan menitipkan anak pada orang lain? Gaji dua juta rupiah sebulan pun saya pikir tak akan mampu membayar lunas kesempatan mendampingi si kecil bertumbuh dan berkembang. 

Maka saya memilih menjadi penulis freelance demi membantu asap dapur tetap mengebul. Bagi saya, profesi menulis memang merupakan profesi yang paling tepat untuk seorang ibu rumah tangga. Saya pun merasa bangga dan telah memilih keputusan yang paling tepat. Apalagi saya sudah membuktikan bahwa menjadi ibu rumah tangga penuh sembari menulis toh bisa mendatangkan duit. 

Namun ternyata, belakangan baru saya sadari, hanya si kecil dan bapak saya yang senang dengan keputusan saya. Adapun seluruh anggota keluarga besar yang lainnya bersikap apatis dan cenderung mengolok-olok. Kata mereka, "Gaji penulis kecil. Menulis itu omong kosong, mengarang-ngarang belaka. Sekolah tinggi-tinggi kok tidak bekerja kantoran. Enggak keren. Sepanjang hari banyak membaca dan menulis itu lebih tampak sebagai kerjaan bermalas-malasan." Dan aneka komentar lain yang tidak positif.....

Apa boleh buat? Takdir telah berlaku bagi saya. Kini saya tak lagi perlu berdilema-dilema ria. Tapi saya yakin, masih banyak ibu rumah tangga lain yang masih memiliki dilema serupa. Maka saran saya, bersemangatlah mencari solusi terbaiknya. Tabahkanlah hati dalam menghadapi komentar nyinyir mereka yang tak respek pada profesi ibu rumah tangga dan penulis.

 #Duh, ini tulisan kok serius amat? Serius bapernya....           


 

PIKIRAN POSITIF Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template