Senin, 21 Juli 2014

Dulu TINCE Kini TINBE

2 komentar
SEBENARNYA aku ini tipe orang yang sangat setia dalam dan terhadap banyak hal. Namun tak kusangka, dalam hal nama rupanya aku ini justru inkonsisten alias tidak setia. Bagaimana bisa dibilang setia kalau di setiap komunitas yang kuikuti aku punya nama yang berlainan?

Di kampung halaman, kedua orang tua dan seluruh keluarga besar plus tetangga memanggilku TINTIN. Panggilan ini berlaku hingga aku masuk TK dan SD. Waktu SMP dan SMA, baik guru maupun teman-teman, mayoritas memanggilku AGUS. Waktu kuliah, teman seangkatan rerata memanggil TITIN (padahal aku mengenalkan diri sebagai TINTIN). Tapi oleh teman satu kos pas kuliah, aku dipanggil TINCE. Ini sih gara-gara kami suka main jadi penyiar Radio Suara Sedap Malam *mohon-dibaca-sengau*. 

Sementara itu, untuk nama pena aku sangat sering mempergunakan label AGUSTINA SOEBACHMAN atau TITIN SOEBACHMAN. Maka banyak pembaca tulisanku (ceilee...gayanyaaa...) yang mengenalku dengan label tersebut. Nah, belakangan aku malah memperoleh nama baru begitu gabung dengan IIDN Jogja. Tarraaa... namaku jadi TINBE alias TITIN BEJO.

Ahh, sutralah. Terserah aku mau dipanggil apa. Yang jelas aku akan bahagia bila pada akhirnya bisa menyematkan nama Klinsmann di belakang namaku, sebagaimana halnya Tini Klose. Hmm, AUGUSTINE KLINSMANN...!!! Lumayan ciamik, bukan?  #H-1-pengumuman hasil pilpres ##ngaco-dikit-boleh-kan?

   

Minggu, 20 Juli 2014

SESEORANG YANG SANGAT CIAMIK

2 komentar
SUATU ketika di bawah naungan sinar matahari yang demikian cetar membahana (minjem istilahmu sebentar ya Nte Syahrini... ^-^...), pertama kali aku bertemu dengannya. Dan entah, pertemuan pertama kami itu akan disusul dengan pertemuan-pertemuan (fisik) yang berikutnya ataukah tidak? Hanya Tuhan yang tahu. 

Asal tahu saja, pertemuan pertama kami itu sebenarnya merupakan sebuah pertemuan yang singkat saja. Tapi mungkin sejenis singkat yang padat. Buktinya --entah mengapa-- meninggalkan kesan lumayan mendalam di hatiku. Tentunya sebuah kesan yang baik terhadapnya, dong. Dia... seseorang yang mulanya kukira biasa-biasa saja, tapi ternyata luar biasa bingiiitttzz.

OMG! Eitt, ini bukan tentang wajah dan posturnya yang mirip artis, melainkan tentang isi otaknya yang sungguh-sungguh ciamik. Rentetan prestasi dan pengalaman hidupnya pun berhasil memukau aku. Yang bikin aku makin terpukau, dia jenis manusia yang suka humor. Bisa diajak ngomong gila-gilaan tapi tetap serius konten pembicaraannya. Nah, lho. Gimana tuh penjelasannya?

Entahlah. Entah mengapa dia terasa istimewa di ingatanku. Mungkin karena aku merasa, pada sosok-sosok semacam dialah negeri ini masih bisa berharap punya masa depan yang lebih baik. Jiaahhh.... Sejujurnya aku ingin bertemu lagi dengannya. Ingin belajar banyak hal darinya (mungkin sekaligus juga tentangnya!). Tapi sejujurnya pula aku merasa enggak pede kalau harus berhadapan lagi dengannya. Keder dengan prestasi dan pengalamannya yang demikian menjulang. Bahkan mungkin, dengan putih dan tingginya yang menjulang.... Eisss.... #Ini-sekelumit-catatan-tentangmu-Bung!


Jumat, 18 Juli 2014

Kisah di Balik Cerpen "Tuslah"

0 komentar
BEBERAPA waktu lalu jelang Ramadan, IIDN Jogja bikin kuis. Kuisnya berupa lomba nulis cerpen. Lho??? Jadi bingung deh.... Sebenarnya kuis atau lomba nulis cerpen, ya? Ah, entahlah. Apa pun sebutannya, yang jelas cerpenku yang berjudul "Tuslah" berhasil menang. Hahaha... ^-^ 

Sejujurnya cerpen tersebut kutulis berdasarkan kisah nyata yang terjadi pada dekade 90-an dulu (ya ampyuunnn... zadoel nian...). Hmmm. Sutralah. Abaikan saja soal dekade ini. Yang jelas cerpenku menang. Lagi pula, titik fokus tulisan ini bukan tentang dekade. Hahaha.... Iya, beneran. Fokusnya adalah kisah yang sebenarnya terjadi di balik cerpen "Tuslah".

Begitulah. "Tuslah" lahir dari pengalamanku saat masih menjadi mahasiswa semester-semester awal. Nah, berhubung masih awal itulah aku belum hafal dengan waktu pemberlakuan tuslah di kala jelang lebaran. Maka saat mudik, aku sungguh-sungguh lupa pada tuslah. Aku baru ingat sesaat sebelum menaiki bis. Saking takutnya dimarahi kondektur dan kemungkinan terburuk adalah diturunkan di tengah perjalanan (yang berupa jalanan tengah hutan), aku pun  balik kanan. Batal menaiki bis. 

Detik berikutnya aku bengong di terminal. Eh, pas bengong itulah berjumpa dengan kawan SMA yang bernama Putut Agustinus Kushartanto (Tentu saja aku masih hafal namanya sebab dulu kami pernah sebangku, punya tanggal ultah yang berdekatan, dan sering ngerumpi bareng di kelas). Hatiku bersorak dan sesungguhnya baru kali itulah aku sungguh berbinar-binar sepenuh rasa dalam menyambut kehadirannya. Hehehe... iyaaa, aku 'kan berniat minta tambahi ongkos bis kepadanya.

Tapi, dasar apes. Rupanya Putut punya problematika yang sama denganku. Celaka 13! Akhirnya dia memberi solusi jitu tapi nyerempet-nyerempet curang. Begini solusinya. Kami cuek langsung naik bis. Sedapat mungkin memilih tempat duduk bagian belakang; tujuannya agar tidak terlalu malu bila nanti dimarahi kondektur sebab ongkos yang kurang. Kalau kami duduk di bagian depan 'kan seluruh penumpang bisa melihat/memperhatikan kami. 

Sesuai dengan kesepakatan, uang sejumlah perjalanan mudik tanpa tuslah aku serahkan kepada Putut. Nanti dia yang akan menyerahkannya kepada kondektur. Aku disuruh pura-pura tidur (dan aku betul-betul melakukannya; berlagak tertidur pulas padahal deg-degan setengah mati). Tahukah Anda apa sebabnya aku harus akting tidur? Inilah alasannya. Pasti kondektur mengomel panjang lebar begitu menghitung jumlah ongkos kami berdua yang diserahkan Putut kepadanya.

Hah! Benar saja. Kondektur selalu mengomel saat menerima ongkos kami. Namun, tidak sampai menurunkan kami dari bis sebab dengan lihai Putut mengatakan begini, "Apa enggak kasihan, Pak. Lihat teman saya yang pusing ini. Hanya tertidur lemes sejak tadi. Kasihan 'kan kalau diturunkan di jalan. Kami betul-betul enggak punya duit, Pak. Maklum anak kos."  Sejujurnya aku agak geram mendengar perkataan tersebut. Sialan banget. Lha kok aku malah didoakan sakit, demikian gerutuku dalam hati.

But anyway... rencana kami berhasil sempurna. Mudik di H-1 dengan ongkos bebas tuslah. Hanya saja, total Putut harus berdusta tentang kepusinganku sebanyak dua kali sebab kami harus berganti bis sejumlah itu. Ahhh.... Semoga Allah SWT mengampuni kami berdua. Amiin.  


            

Senin, 14 Juli 2014

GARA-GARA LOMBA FOTO IIDN

4 komentar
AKU niat banget ikut lomba foto bersama buku terbitan IIDN plus testimoni. Ceritanya lagi demam kuis, nih. Terkena virus-virus yang ditebarkan oleh sang kuter IIDN Jogja, yaitu Mbak Wiwin. Mumpung aku mampu memenuhi semua syarat. Punya buku asyik terbitan IIDN dan terkesan pada buku tersebut sehingga mudah untuk bikin testimoni.

Tapi rupanya ada yang enggak asyik. Adiba enggak niat banget kumintai tolong memotretku. Baru dua kali percobaan sudah manyun. Daripada androidku digigitnya (maklum, dia sedikit mirip Suarez dalam hal menggigit), lebih baik aku nyelfie ajaahh. Ihh, punya anak kok blas enggak kompak banget siihhh sama simboke. Capek dehh... Tini Klose yang menawarkan bantuan buat njepret juga telat nawarinnya. Halahh... ^-^  Sudahlah. Yuk, komentari saja sepedas-pedasnya foto-foto di bawah ini.











Sabtu, 12 Juli 2014

Timnas Jerman, Messi, dan Aku

0 komentar
SEBAGAI fans setia timnas Jerman, tentu saja aku sangat berharap timnas Jerman muncul sebagai juara Piala Dunia 2014. Sudah pasti harapanku teramat sangat besar. Rasanya sudah terlalu lama timnas Jerman tidak menyandang predikat juara di perhelatan akbar dunia sepakbola tersebut.  Iya, bagiku saja sudah terasa terlalu lama. Apalagi bagi orang-orang Jerman sendiri. Mereka tentu sangat rindu predikat juara itu.

Sepanjang sejarah turnamen sepakbola antarnegara, Jerman telah mengoleksi tiga gelar juara Piala Dunia. Trofi terakhir kali diraih pada tahun 1990 di Italia. Selebihnya, pencapaian tertinggi hanya menempati peringkat kedua, yakni di Piala Dunia 2002 Jepang-Korea Selatan. Dalam dua penampilan terakhir, skuat timnas Jerman hanya berhasil menempati peringkat ketiga di Piala Dunia 2006 Jerman dan Piala Dunia 2010 Afrika Selatan. Lihatlah. Bahkan saat menjadi tuan rumah pun Jerman tak berhasil melangkah ke final.

Oleh sebab itu, sama halnya dengan jutaan rakyat Jerman di mana pun berada, aku kini sedang harap-harap cemas menjelang laga final 14 Juli 2014 nanti. Aku mau Jerman juara dunia di tahun ini. Benar-benar mau! Dan, aku pikir momentumnya tepat. Mumpung Jerman sedang semangat-semangatnya usai pesta gol ke gawang Bras(z)il di laga semifinal. Semoga sih penampilan tim Jerman sewaktu semifinal tempo hari bukanlah klimaks sehingga pertandingan final nantilah yang merupakan klimaksnya dan berakhir dengan dinobatkannya Jerman sebagai juara dunia sepakbola.

Namun, apa boleh buat? Entah mengapa aku menjadi galau setelah mengetahui bahwa Lionel Messi juga amat membutuhkan gelar juara pada putaran final Piala Dunia 2014 ini. Bukan karena Messi merupakan pesepakbola idolaku. Sama sekali bukan seperti itu alasan kegalauanku. Lalu, apa alasannya? Sebab aku trenyuh saat Messi bilang ingin merasakan sensasi jadi juara dunia; selama ini dia bertanya rasanya jadi juara dunia pada teman-temannya (dari Spanyol) yang bersama-sama main di klub Barcelona, tapi mereka tak ada satu pun yang mampu mengungkapkannya dengan kata-kata.

Oh, Messi! Dialah satu-satunya pesepakbola yang berhasil meraih trophy Ballon d’Or sebanyak 4 kali berturut-turut (2009, 2010, 2011, dan 2012). Penampilannya di level klub pun sudah maksimal. Apa boleh buat? Juara Piala Dunia adalah satu-satunya gelar prestius yang belum pernah ia menangkan. Maka ia amat berambisi jadi juara pada 2014 ini. Aku pun ingin melihat seorang Messi melengkapi gelar juaranya.

Bagaimana, ya? Aku ingin melihat Phillipp Lahmp mengangkat Jules Rimet tinggi-tinggi. Sungguh, aku ingin Jerman kali ini datang ke arena Piala Dunia untuk menjadi yang terbaik. Ya, aku mau Jerman menang. Tapi aku pun ingin Messi tak kecewa. Ini lho, yang bikin galau. Aku toh bukan dari Jerman ataupun Argentina. Sama sekali aku tak punya tautan apa pun dengan kedua negara tersebut. 

Entahlah. Kali ini aku berusaha stay cool saja. Iya, mungkin lebih baik begitu. Biarlah tangan Tuhan yang berbicara. Aku enggak mau tegang-tegang menghadapi final nanti. Takut kecewa kalau terlalu berharap. Halah...
#sekadar-curahan-perasaan-pribadi



Jumat, 11 Juli 2014

KISAHKU PADA PILPRES 9 Juli 2014

0 komentar
AKU tahu bahwa TPS tempatku mencoblos adalah TPS 10. Tapi lokasi tepatnya enggak tahu. Yeah.... Sejujurnya aku enggak hafal medan. Maklum saja, aku berdomisili di wilayah yang berbeda dengan wilayah TPS tempat aku harus mencoblos. Maka terpaksa aku bertingkah seperti detektif nan kreatif. 

Mula-mula mengamati satu-dua orang yang berpapasan denganku. Saat ketemu seseorang yang berpakaian rapi, hatiku mengatakan bahwa dia dari TPS 10 juga. Dengan modal senyuman manis aku pun menegurnya. Tepatnya sih bukan menegur melainkan menyapa, lalu menanyakan lokasi TPS yang bersangkutan. Hahhh! Dia bilang bahwa aku harus berjalan lurus, lalu belok kanan, lalu ke kiri lagi, lalu melintasi lapangan.... Woww. Kukira tinggal belok satu kali saja.  Baiklaaahhh. Go, go, go!

Syukurlah setelah belok kanan dan ke kiri lagi, di depanku (tapi jaraknya jauh) kulihat ada seseorang yang membawa selembar kertas berwarna putih yang kutebak sebagai surat undangan pilpres. Yup! Aku pun menguntitnya. Benar saja. Setelah kukejar dan kutanya, dia memang hendak menuju ke TPS 10 juga. Amboiii.... Tak kusangka perjalananku ke TPS kali ini harus naik-turun tangga, menyeberang sungai, serta melalui lorong-lorong gang kelinci, melintasi lapangan yang dikelilingi deretan pepohonan, lalu menyeberang sungai lagi, naik tangga lagi, barulah sampai di TPS tujuan. 

Hmmm. Sebuah perjalanan yang mengesankan! Lokasi dan kondisi TPS 10 sendiri pun amat mengesankan. Bilik suara beserta para petugas KPPS berada di puncak, di dalam sebuah ruangan yang tak begitu lebar sehingga di situ hanya muat kurang dari sepuluh kursi tunggu bagi para calon pemilih. Sementara mayoritas calon pemilih duduk berjajar rapi di sebuah lorong (yakni merupakan jalan kampung, sedikit lebih lebar daripada gang kelinci), yang lokasinya di bawah ruangan bilik suara. Sebuah tangga curam harus kami daki jika nama kami sudah dipanggil petugas. Tangga yang prosedur keamanannya minimal sekali. 

Demikianlah adanya. Karena pilpres, aku jadi punya banyak cerita dan banyak foto pada tanggal 9 Juli lalu. Padahal sesungguhnya, aku tak begitu antusias untuk mencoblos. Kedua capres yang dapat dipilih tak ada yang nyanthol banget di hatiku. Apalagi kok ndilalah keduanya memiliki nama sama dengan dua pria yang pernah menggusarkan hatiku. Jadi, siapa pun presiden yang terpilih nanti, yang jelas aku akan galau-galau gimana selama lima tahun ke depan. Hahaha....

Sejujurnya nih, aku berangkat ke TPS 'kan sebab ingin ikutan lomba foto selfie yang diselenggarakan IIDN Jogja. Sudah berniat banget begitu, tahu-tahunya situasi-kondisi TPS kok ya kurang mendukung untuk selfie. Lagi pula, aku lumayan malu juga untuk berpose nekad di hadapan para petugas KPPS. Baiklah. Daripada makin ngelantur, yuk langsung saja kita lihat foto-foto berikut ini. #Dan-aku-gak-menang-lomba-selfie-kurang-gila-posenya!







 

PIKIRAN POSITIF Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template