Senin, 27 Februari 2017

Mempertanyakan Eksistensi Matematika

SEBUAH malam yang lumayan syahdu. Tidak sedang hujan berpetir. Tidak pula sedang berangin kencang. Suasana relatif tenang. Hingga akhirnya sebuah perbincangan mencabik-cabik  kesyahduan itu.

"Mengapa di dunia ini harus ada Matematika?" Tanya seorang bocah yang sedang bete dengan PR Matematikanya.

Emaknya--yang lagi pusing dengan rumitnya hidup--pun jadi makin pusing. Lalu menjawab sekenanya, "Supaya kamu bisa mahir ngitung duit."

Si bocah--yang rupanya hafal dengan hobi plesetan emaknya--menyahut cepat, "Ih, Bundaaa! Ada jawaban lain enggak?"

"Enggak," jawab emaknya singkat.

Si bocah tertegun sejenak, lalu berkata, "Aku serius, Bun. Serius ingin tahu. Kenapa sih, harus ada Matematika?"

"Lho, Bunda serius ini. Coba kamu tidak bisa berhitung sama sekali. Gimana mau menghitung duit? Kamu kalau jajan pasti mengerikan. Bikin Bunda merasa ngeri."

"Lho, kenapa ngeri?"

"Mengerikan sebab kamu bakalan tidak tahu andaikata dibohongi penjualnya,"  jawab si emak.

"Iya, sih. Tapi maksudku bukan begitu." Si bocah tampaknya agak kehilangan kata. Rupanya dia bingung untuk memilih diksi yang tepat demi mengungkapkan perasaannya.

Akhirnya si emak berkata dengan nada menasihati, "Sudahlah. Kalau kamu tidak bisa mengerjakan PR Matematikamu itu, tinggalkan saja. Toh dari tadi kamu sudah suntuk mengerjakannya. Mau bagaimana lagi kalau betul-betul tidak bisa? Sedangkan Bunda sendiri sama tidak pahamnya."

"Benar? Bunda enggak marah kalau nanti nilaiku jelek?" Si bocah bertanya tidak percaya.

"Iya, tidur sana. Ini sudah mulai larut malam. Besok bangun Subuh, lalu cobalah sekali lagi untuk mengerjakan PR itu. Siapa tahu pas otakmu segar bugar segalanya terasa lebih mudah."

"Yeeeay, itu sih sama saja. Bunda menyuruhku untuk punya nilai Matematika baik." Protes si bocah.

"Lho? Memang harus begitu. Coba lagi dan coba lagi. Kalau tetap nilainya jelek, ya terima saja. Yang terpenting, kamu berusaha keras dulu. Oke?" Si bocah garuk-garuk kepala mendengarkan perkataan emaknya.

"Mengapa sih harus ada Matematika? Sebel." Si bocah menggerutu sembari beranjak ke kamar mandi. 

"Ealaaah .... Anakku, anakku. Kamu memang keturunanku asli. Kita sama-sama tak berkutik di hadapan soal-soal Matematika yang pelik. Hahaha ...." 

Kesyahduan malam pun menjadi benar-benar rusak oleh tawa pasangan ibu dan anak itu.

Begitulah adanya. Ternyata menghadapi hidup jauh lebih simpel daripada menghadapi soal Matematika yang sulit. Oleh sebab itu, Matematika dapat dijadikan sebagai bekal untuk menyelesaikan masalah hidup. Bahkan yang jauh lebih rumit dibandingkan PR Matematika.

*Sudah pasti mereka yang cinta mati pada Matematika akan punya pendapat berbeda*

MORAL CERITA:
Tetap semangati anak untuk meraih yang terbaik, semaksimal kemampuan yang ia punya. Tapi tak boleh dengan cara memaksa.




0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!

 

PIKIRAN POSITIF Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template