HALO, Sobat Pikiran Positif? Kali ini aku hendak bercerita tentang Plengkung Gading yang ada di Kota Yogyakarta. Yang sejak tanggal 15 Maret 2025 ditutup total. Tidak boleh lagi dilewati, baik dengan kendaraan maupun sekadar berjalan kaki.
Tentu saja penutupan itu sangat berdampak bagi warga sekitar. Termasuk aku tentunya. Suka tidak suka, mengeluh tidak mengeluh, berhubung kami rakyat jelata tiada tara ... yo wis. Ya, sudah. Kami nikmati saja segala dampak tidak mengenakkan yang ada.
Semengeluh apa pun kalau faktanya Plengkung Gading ditutup ya tetap saja tertutup. Tidak bakalan dibuka sedikit pun kalau keputusan Kraton Yogyakarta adalah menutup total selamanya.
Dengan demikian, masyarakatlah yang mesti menyesuaikan diri. Misalnya temanku yang rumahnya di timur kraton. Dulu kalau hendak naik bus tinggal berjalan kaki sebentar ke selatan. Ke halte dekat Plengkung Gading. Sekarang? Harus berjalan kaki lebih jauh ke halte lain kalau hendak naik bus.
Apakah dia ngedumel? Pasti, dong. Sayang sekali ngedumel tidak membuatnya sanggup menembus tembok penutup Plengkung Gading. Jadi kalau tak mau lelah berjalan kaki ke halte yang lebih jauh, dia naik ojek daring. Konsekuensinya harus keluar duit lebih banyak.
Lihatlah. Bukankah itu bukti bahwa memelihara rasa tidak suka dan selalu mengeluh sama sekali tidak bisa menjadi solusi? Malah lama-kelamaan capek sendiri. Belum lagi kalau dihujat oleh orang-orang yang tidak terdampak sebab tidak tinggal di sekitar Plengkung Gading.
Begitulah adanya. Dampak tidak mengenakkan penutupan Plengkung Gading memang cuma dirasakan orang-orang yang berdomisili di sekitarnya. Selain yang tinggal di sekitaran situ aman-aman saja. Tidak perlu menyesuaikan diri sebab tidak terdampak.
Ngomong-ngomong, kalian tahu lokasi Plengkung Gading atau tidak? Yang warga Yogyakarta pasti tahulah, ya. Pun, yang bukan orang Yogyakarta namun sering beredar di kawasan Sumbu Fรฌlosofi. Nah. Buat kalian yang belum tahu, mari aku jelaskan.
Begini. Plengkung Gading yang bernama resmi Plengkung Nirbaya berlokasi di sebelah selatan Kraton Yogyakarta. Jadi kalau dari KRATON YOGYAKARTA, kamu tinggal berjalan sebentar ke arah selatan.
Bisa banget berjalan kaki menyusuri jalan seputaran PASAR NGASEM (yang sedang viral sebagai tempat kulineran), lalu melewati gerbang TAMAN SARI WATER CASTLE, kemudian setelah sampai di Alkid (alun alun kidul) belok kanan dan ... akhirnya tepat di depanmu adalah Plengkung Gading.
Sebelum ditutup total, Plengkung Gading termasuk rute jalan yang ramai. Betapa tidak ramai? Plengkung Gading 'kan menjadi semacam jalan pintas bagi warga yang berdomisili di luar tembok Kraton Yogyakarta bagian selatan, jika hendak pergi ke berbagai tujuan penting yang berlokasi di dalam tembok kraton. Pun, yang ada di luar tembok kraton bagian utara.
Antara lain Alkid, Altar/Altara, Pusat Gudheg Wijilan, Museum Kereta, Kraton Yogyakarta, Taman Sari, Titik Nol, Kantor Pos Gede, Malioboro, Pasar Beringharjo, Pasar Kluwih, Pasar Ngasem, SMPN 16 Yogyakarta, SMP Muhammadiyah 5 Yogyakarta, dan beberapa SD Negeri yang berada di dalam tembok kraton.
Pun, Plengkung Gading itu menjembatani silaturahmi antara anak dan orang tua serta hubungan di antara kerabat secara umum. Hal ini terjadi pada tetangga depan rumah. Salah seorang putrinya tinggal di selatan Plengkung Gading. Dahulu rute mereka dekat kalau hendak saling kunjung. Sekarang rutenya berganti dan menjadi lebih jauh.
Demikianlah faktanya. Kondisi Plengkung Gading dan sekitarnya kini tak lagi sama. Terlebih sekarang sedang dalam proses revitalisasi. Yang apa pun dan bagaimanapun hasilnya nanti, tidak bakalan bikin Plengkung Gading dibuka untuk umum lagi.
Aku punya informasi menarik terkait Plengkung Gading. Informasinya terkait larangan untuk melewati Plengkung Gading.
Semasa hidup, Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat yang sedang berkuasa tidak boleh melewati Plengkung Gading. Barulah kelak saat meninggal dan hendak dimakamkan di Imogiri, jenazahnya dilewatkan situ. Imogiri memang terletak di wilayah selatan DIY.
Sebaliknya, rakyat jelata bebas seliweran melewati Plengkung Gading semasa hidup. Tentu itu dulu, ya. Sebelum ada pelarangan Maret lalu.
Sementara saat meninggal dunia, jenazah rakyat jelata tidak boleh dilewatkan Plengkung Gading. Sekalipun rumahnya mepet plengkung dan kuburannya cuma sedikit di selatan plengkung, tak ada dispensasi. Pokoknya harus memutar rute.
Apakah aturan pelarangan itu dipatuhi? Iya. Sejauh pengetahuanku memang dipatuhi. Minimal satu bukti nyata ada di depan hidungku.
Kurang lebih 3 tahun lalu seorang teman kuliahku meninggal dunia sebab sakit. Rumahnya di njero beteng. Di dalam tembok kraton. Tak jauh dari Plengkung Gading.
Namun, jenazahnya dilewatkan Pasar Ngasem ke barat. Kemudian keluar tembok kraton, barulah kembali ke timur dan kemudian ke selatan karena pemakaman di Bantul. Adapun Bantul terletak di selatan Kota Yogyakarta.
Sebagai penutup, aku ingin memastikan sesuatu. Jangan-jangan pemahaman kalian tentang Plengkung Gading masih rancu. Jadi agar tak rancu, silakan cermati foto di bawah itu.
Pada banner ada foto sebuah bangunan putih dengan pintu berbentuk lengkungan. Itulah yang disebut Plengkung Nirbaya atau yang lebih dikenal sebagai Plengkung Gading. Mengapa "gading"? Sebab warnanya putih; merujuk pada warna gading pada umumnya.
Gimana? Seru 'kan ngobrolin Plengkung Gading? Jika Allah Swt mengizinkan, aku akan menulis tentang masa lalu (baca: sejarah) Plengkung Gading. Mau baca jugakah? ๐๐
Mau kakak...eh kok unik ya aturan tentang yang boleh lewat dan nggak boleh di PG. Pasti ada penjelasan kenapa aturan itu diubah saat orang meninggal. Aturan yg lama maksudku. Cerita ya kak...aku menunggu
BalasHapusLho? Kan sudah jelas? Klo raja lewat situ berarti rajanya sudah wafat (yang lewat jenazahnya).
HapusKlo rakyat jelata yang lewat berarti masih hidup. Jenazah rakyat jelata gak boleh lewat.
Simpel saja alasannya. Masak iya raja disamakan dengan rakyat? ๐๐
Ketika baca ini itu merasa Plengkung Gading tuh kayak batas budaya kraton jogja dan kelas masyarakat ya. Entah apa aku pernah lewat sini ya, aku lupa juga. Sewaktu menginap di prawirotaman, aku ingat pernah ke keraton jogja, tapi aku tidak ingat apa pernah lewat sini. Hehehe... karena namanya cukup asing di telingaku. :D
BalasHapusDuh sedih dengar Plengkung Gading ditutup, padahal tempatnya punya nilai sejarah ya kak
BalasHapusAku lupa dulu udah pernah atau belum ya melewati Pengkung Gading ini. ternyata letaknya di bagian selatan Keraton Yogyakarta? Buat silaturahmi anak dan orang tua juga kerabat tentunya arah jalan ke sini udah praktis ya. Namun jika memang ditutup mesti berputar arah hehehe ga apa2 lah ibarat olahraga berjalan kaki biar makin sehat :D
BalasHapusTahu banget yang mana Plengkung Gading, baru tahu saya ternyata ada aturan untuk melewatinya. Kini sudah ditutup tenyata...seru ngobrolin ini, lanjut Mbak sejarah Plengkung Gading ya...
BalasHapusAku jadi makin kagum sama langkah serius mereka jaga warisan budaya deh,
BalasHapusdaan tanpa ninggalin kepentingan publik....
Semoga setelah dikonservasi Plengkung Gading bisa awet buat generasi mendatang dan aku semoga aku ada rezeki karena penasaran banget buat mampir pas nanti udah dibuka lagi...
Sangat penasaran dengan sejarah Plengkung Gading. Pastinya mau baca banget kalau nanti sudah ready tulisan terkait sejarahnya.
BalasHapusBener sih, mengeluh marah dan kesal sama sebuah keputusan bukanlah solusi nyata yang ada nambah capek juga. Sebagai yang tidak tinggal di kawasan tersebut, daku bisa turut merasakan betapa makin ribetnya jalur yang mesti di lalui sama warlok. Semangat ya, semoga keputusan penutupan Plengkung Gading, ada titik terang. Semoga kembali dibuka atau ada jalur lain yang memudahkan? Kalau pun tak ada memang bingung apa mau dikata huhuhu.
Penasaran dengan latar belakang sejarah tentang perbedaan pelarangan boleh dan tidak bolehnya melewati kawasan Plengkung Gading antara rakyat jelata dan raja, selain karena perbedaan kasta, adakah alasan lain?
BalasHapusAku sih belum pernah ke sana tapi kalau dari ulasan kaka, dengan ditutupnya Plengkung Gading jadi agak mempersulit akses warga yang ingin ke sana ya? Jadi lebih jauh tentunya akan membuang waktu dan biaya transportasi
BalasHapusWah penutupan Plengkung Gading ini pasti imbasnya sama orang-orang yang tingga daerah sana sih. jadi menyesuaikan diri. Baru tahu juga ada larangan untuk melewati Plengkung Gading ini. hmmm kalau warga setempat sih pasti masih percaya dan mengikutinya yaa. Jadi harus dipatuhi juga.
BalasHapusSaa baru tau tentang Plengkung Gading. Mungkin karena jarang banget ke Jogja ya. Penasaran sama lanjutan ceritanya. Saya tunggu, Mbak :)
BalasHapussalut banget sama cara pandangnya menyikapi penutupan Plengkung Gading ini. Betul banget, ngeluh cuma bikin capek sendiri. Lebih baik cari cara adaptasi, ya. Jadi penasaran nih, kira-kira nanti Plengkung Gading bakal jadi apa setelah direvitalisasi? Semoga makin kece dan tetap jadi ikon Jogja!
BalasHapusPenasaran banget kak sama sejarahnya, boleh lah nanti diceritain. Bakal jadi apa ya kak setelah revitalisasi? Pastinya keraton dah memperhitungkan sih ini penutupan untuk apa dan ke depanyna semoga memberikan yang terbaik juga bagi rakyat sekitar
BalasHapusAku masih sempat melewati plengkung gading tahun 2022 lalu ternyata sekarang sudah ga boleh yaa
BalasHapusSeelah revitalisasi apa masih ditutp ya nanti? Tapi menariknya masyarakat jogja selalu manut sama rajanya. Iti keren sih di tengah era moderen tradisinya terus terjaga
Plengkung tuh belokan bukan kak? Wow amazing sih cerita perbedaan jenazah rakyat biasa yg gak boleh lewat jalan itu.. masih ada ya hirarki kasta semacam gitu di negeri ini? Hihi.
BalasHapusPengalihan jalan memang bikin kesel ya kak, terutama tuk yg biasanya manfaatin atau lewat jalur itu.