Selasa, 08 September 2020

Naskah Kuno di Sonobudoyo Unit 2

HAI, hai, hai! 

Apa kabar Sobat Pikiran Positif? Kalian masih baik-baik saja 'kan? Sehat jasmani dan rohani? Alhamdulillah kalau begitu. Berarti bisa menyimak tulisanku ini dengan ceria dan penuh semangat. 

Hmm. Tulisan tentang apakah? Sesuai dengan judul di atas, pastilah tentang naskah kuno. Terkhusus naskah kuno yang menjadi koleksi Museum Sonobudoyo Unit 2. Terkhusus lagi yang fotonya kutampilkan di sini, yaitu Serat Ambyo (biasa pula ditulis dengan Ambiya atau Anbiya -- yang berarti kisah para nabi). 


Serat Ambyo 

Apakah kalian pernah melihat buku yang model begini? Tak sekadar melalui foto/gambar, tetapi melihatnya langsung? 

Kalau pernah, tosss.  Berarti kita sama-sama beruntung. Bukankah tak semua orang bisa mengakses naskah kuno secara langsung? Namun bagi kalian yang belum pernah, tak perlu berkecil hati. Toh melalui tulisan ini akhirnya jadi tahu juga. Iya 'kan? 

Baik. Mari kita mulai sedikit memperbincangkannya. Kok sedikit? Sebab kalau banyak, jatuhnya nanti tulisan ini menjadi diktat kuliah Filologi. Hahaha! 


Mas Cakep dari Museum Sonobudoyo sedang memberikan penjelasan 

Serat Ambyo sangat tebal. Manuskrip (naskah kuno) ini punya 1267 halaman. Wow sekali 'kan? Tak terbayangkan, betapa tekun pujangga yang menyusunnya. Menuliskan huruf. Menggoreskan gambar. Apalagi kalau berwarna begitu. Butuh ganti tinta segala 'kan? Sementara mengganti warna tinta pada zaman dahulu, pastilah tak sepraktis zaman sekarang. 

Iya. Serat Ambyo dan manuskrip-manuskrip lain memang diproduksi secara manual-personal. Tidak dicetak massal dengan mesin cetak. Meskipun media yang dipergunakan kertas modern yang diimpor dari Eropa, penyusunannya tetap manual-personal. 

Mas Fajar Widjanarko dari Museum Sonobudoyo, yang menjadi pemandu kami, juga menjelaskan bahwa sampul merah marun Serat Ambyo dibuat dari kulit kerbau. Hmm. Bikin baper plus laper saja si sampul. Hehehe .... Gimana aku tak baper plus laper? Lah mendadak kuteringat pada soto dan sate kerbau di kampung halaman sonooo. *Dasaaar.*



Sampul dari kulit kerbau

Mungkin kalian bertanya-tanya, kok ada bantal hijau segala? Serat Ambyo mau tiduran manja? Jawabannya bisa iya, bisa tidak. Manja enggak manja gitu, deh. Bukankah Serat Ambyo merupakan manuskrip a. k. a. naskah kuno? Yang berarti telah panjaaang usianya. Yang berarti cenderung rapuh kondisi fisiknya. Jadi, wajar kalau dimanjakan (baca: diperlakukan)  sedemikian rupa. 

Yup! Bantal itu dimaksudkan supaya sampul Serat Ambyo tak tergores material keras. Walaupun telah bersikap hati-hati saat meletakkannya, bisa saja kita tak melihat ada benjolan atau tajaman yang berpotensi menggores sampul. Iya, sih. Sampulnya sudah tebal (hard cover). Namun, tak berarti boleh serampangan toh? 

Sampai di sini kalian tentu serta-merta bisa menyimpulkan. Jika sampul yang tebal saja diperlakukan istimewa, lembaran-lembaran isinya pastilah diperlakukan lebih istimewa. Yoiii. Memang begitulah kenyataannya. Membuka lembaran demi lembarannya wajib super hati-hati dengan melibatkan hati. Itu pun yang membuka-buka lembarannya petugas museum. Bukan kami yang notabene awam sekali dengan naskah kuno.  


Watermark 

Sekarang silakan cermati foto berikut. Menurutku, foto ini cakeeep sekali. Apakah kalian sependapat denganku? Kalau enggak sependapat enggak apa-apa, kok. Aku tidak memaksa. Hahaha! 

Namun, aku hanya hendak memberitahukan bahwa foto tersebut memperlihatkan penampakan watermark. Tepatnya watermark yang terdapat pada kertas, yang dipergunakan untuk menulis Serat Ambyo. 

What is watermark? Gampangannya, watermark merupakan cap kertas. Lalu, apa fungsinya? Sekadar demi keindahan? Oh, tentu tidak. Watermark dibuat (disematkan)  oleh pihak pabrik kertas. Fungsinya sebagai penanda kapan kertas diproduksi dan diproduksi oleh pabrik yang mana dari negara mana. 

Oleh sebab itu, watermark dapat dipergunakan untuk merunut usia manuskrip (naskah kuno), jikalau tak ada pencantuman tahun yang jelas di dalamnya. 

Validkah cara tersebut? Cukup valid. Karena pada saat itu impor kertas di bumi Nusantara terbatas, dalam tempo cepat segera dipakai setibanya dari Eropa. Yup! Kertas-kertas impor itu tak perlu kelamaan menjadi stok. Alhasil, usia naskah nyaris sama dengan usia kertas. 

O, ya. Untuk bisa melihat watermark pada sebuah kertas mesti disinari terlebih dulu. Tak bakalan kelihatan kalau kita melihatnya begitu saja. Mesti diterawang seperti halnya kalau kita ingin melihat watermark uang kertas. 



Menerawang watermark dengan penyinaran senter

Nah. Menurut kalian bagaimana? Apakah cerita tentang naskah kuno dan watermark ini menarik? Apakah bermanfaat? Semoga, ya. Sedihlah hatiku bila tulisanku tak bermanfaat. Bahkan mauku, manfaatnya bernilai dunia akhirat. 

Baiklah. Kuakhiri saja tulisan ini. Harapanku, kalian makin bangga dan pede menjadi orang Indonesia. Kenapa tidak pede? Selain Serat Ambyo, kita punya banyak naskah kuno lainnya lho. Yang tak kalah dahsyat. 

Yang artinya, nenek moyang kita melek literasi. Bukan kaum buta huruf. Punya tradisi penulisan naskah kok buta huruf? Iya toh? 





Eh, hampir lupa. Dua foto terakhir adalah foto sebuah ruangan di Museum Sonobudoyo Unit 2. Ruangan tersebut untuk menyimpan arsip berbagai manuskrip. Tamu a.k.a pengunjung tak boleh masuk. Itulah sebabnya aku hanya memotretnya dari mulut pintu yang kebetulan terbuka.

MORAL CERITA:
Sejak dahulu kala sudah ada persentuhan budaya antara Nusantara dan Eropa. Dalam hal manuskrip, persentuhan itu diwakili oleh kertas yang ber-watermark dan goresan tangan pujangga yang menyusun Serat Ambyo.







34 komentar:

  1. Serat Ambyo manuskrip dari tahun berapa, kalau lihat fotonya sepertinya itu buku sudah di jaman modern?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sejauh pengetahuanku, disusun tahun 1800-an.

      Pada masa sebelumnya, manuskrip ditulis di daun lontar.


      Hapus
  2. Sama seperti kang Kal El, serat ambyo itu dibuat tahun berapa ya? Soalnya sepertinya sudah tua sekali.

    Baru tahu kalo sejak zaman dahulu sudah ada watermark dalam produksi kertas, mana untuk melihat watermark nya juga harus pakai senter, cerdas juga ya pembuat padahal alat zaman dulu terbatas ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepakat.. Teknologi watermark trnyata udah ada sejak zaman itu ya. Artinya, udah cukup canggih pada masanya di Nusantara

      Hapus
    2. Serat Ambyo (Ambiya, Anbiya) ditulis pakai kertas pabrikan awjak tahun 1800-an. Jadi, memang telah lamaaa sekali usianya.

      Soal watermark, yesss, itu kemajuan teknologi terkait dunia literasi tatkala itu.

      Hapus
    3. Iya, nenek moyang kita, warga Nusantara tatkala itu, sudah canggih, sudah kenal aksara, bahkan jauuuh sebelum era kertas telah mempergunakan daun lontar.


      Hapus
  3. zaman dulu benar-benar membuat buku agar dapat tahan lama dan dapat dinikmati oleh anak cucu mereka di masa mendatang

    BalasHapus
    Balasan
    1. bahkan sampai njenengan ikut melihatnya secara langsung padahal dari yang menulis terpaut berapa tahun coba

      Hapus
    2. Terpautnya sekitar dua ratus tahun aliaa dua abad.

      Hapus
  4. baru tau istilah seperti serat ambyo, dan di kotaku juga nggak ada museum sejarah seperti ini.
    seneng kalau bisa belajar sejarah bareng, dapet ilmu baru lagi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak. Ternyata belajar sejarah sungguh menyenangkan sebenarnya

      Hapus
  5. Aku belum pernah sampai skrng liat naskah2 kuno gt Mba 😍😍 Tebal dan bewarna, jd penasaran orang jaman dulu berhasil membereskan bikin 1 buku ribuan lembar itu brapa lama yaaaa..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Satu serat bisa dalam hitungan tahun selesainya. Dengan aaumai satu hari satu lembar, berarti bisa tiga tahunan klo seribuan halaman. Malah mungkin bisa lebih lama. Tergantung tatkala itu kondisi si pujangga bagaimana.

      Hapus
  6. Wwkkk .. kok malah jadi laper sih kalau tau sampul bukunya terbuat dari kulit lembu :D.

    Aku ngga gitu merhatiin saat ke sana apakah buku serat ambyo ini didisplay tidaknya di etalase kaca museum.

    Soalnya pas aku kesana sepi banget museumnya.
    Cuma aku seorang diri pengunjungnya, jadi kerasa deg2 an juga melewati ruangan2nya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini Museum Sonobudoyo yang unit 2, Mas. Yang Mas Him kunjungi itu yang unit 1.

      Hapus
  7. wah kalo lihat buku tebalnya kek gitu seperti isi di dalamnya cerita dongeng sejarah :D..

    amazing sama orang jaman dulu yang telah menuliskan buku setebal itu, busa di bilang warisan anak cucu kita :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Isi Serat Ambiyo adalah kisah para nabi. Ambyo dari kata al Anbiya itu, lho.


      Iya, ini memang warisan budaya literasi dari nenek moyang kita.

      Hapus
  8. Menarik banget naskah kunonya Mba, saya selalu takjub kalau liat ada benda kuno gitu, benda 10 atau 20 tahun aja udah terlihat kuno, apalagi yang kayak gini ya :D

    BalasHapus
  9. takjub dengan naskah-naskah kuno yang masih terawat dengan baik. Soalnya banyak naskah kuno yang dibawa oleh bangsa inggris dan belanda keluar dari nusantara. Pembuatan secara manual-personal juga memberikan kesan autentik sebuah naskah kuno.

    Watermark-nya keren sekali. Jaman dulu sudah ada teknologi seperti itu. Penasaran juga apakah teknologi watermark model kayak gini masih digunakan atau tidak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dibuat manual-personal sebab memang kondisi, Mas. Saat itu nenek moyang kita belum punya mesin cetak buku. Kertasnya saja diimpor dari Eropa.

      Tentang naskah kuno yang dibawa ke Inggris dan Belanda, itu memang tampak sebagai kerugian total bagi kita. Namun kenyataannya, naskah kuno yang dibawa kabur kaum penjajah itu sekarang justru bernasib baik. Malah terawat dengan baik.

      Aku pun penasaran, apa watermark semacam itu kini masih dipakai dalam pabrikasi kertas atau tidak?

      Hapus
  10. Wow sampul kulit kerbau...
    Awet juga ya..

    BalasHapus
  11. Naskah2 kuno ini harus dirawat dengan baik sebagai aset budaya daerah semoga masih bisa dilihat oleh generasi mendatang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga. Ada upaya digitalisasi kok, Kak. Itu merupakan salah satu upaya untuk memperpanjang usia naskah.


      Hapus
  12. keren banget jaman dulu udah ada watermark aja. berarti orang jaman dulu sudah paham bahaya plagiarisme kali ya hehehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa jadi begitu. Namun, watermark ini lebih dimaksudkan ke penanda tahun produksi dan diproduksi oleh pabrik mana.

      Hapus
  13. Wah keren mba, masih ada disimpan di museum ini ya. Sonobudoyo yg ada pementasan film lawas itu bukan ya mba?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan, Mbak. Ini disimpan di Museum Sonobudoyo Unit 2. Yang berlokasi di Wijilan, barat sentra gudheg.

      Hapus
  14. saya belum pernah berkunjung ke museum ini, kisah sejarah-sejarah dahulu kala ini selalu menarik dibahas ya mba dan aku jadi penasaran loh pengen ke sana pengen liatin tulisannya kayak apa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sekali waktu, berkunjunglah. Namun setahuku, yang bebas dikunjungi adalah Museum Sonobudoyo Unit 1, sedangkan Serat Ambyo ini di unit 2.

      Hapus
  15. Ternyata karya dari jaman dahulu juga ada watermarknya. ini sih keren banget menurutku

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!