Selasa, 21 Januari 2020

Dolan ke Pura Pakualaman

HALO Sobat Pikiran Positif .... 

Aku harap kebahagiaan senantiasa meluberi hidup kalian. Apa pun kesulitan dan rintangan yang menghadang. Kalian siap menjalani hidup dengan asyik dan bahagia 'kan? Baiklah. Kalau siap, berarti siap pula untuk membaca tulisan singkatku ini. Haha!


Bendera itu mengisyaratkan kesetiaan pada NKRI


Foto di atas merupakan foto atap bagian depan dari bangunan Pura Pakualaman. Perhatikanlah. Ada untaian kalimat yang tertulis dalam aksara Jawa. Di bagian atap yang sebaliknya, yang menghadap ke halaman dalam pura, juga ada. Tertera angka-angka pula. Yakni angka-angka yang menunjukkan tahun pembangunannya.

Menurutku, Pura Pakualaman ini keren sekali. Bukan keren dalam hal penampakan fisiknya, melainkan keren dalam hal "pemikirannya". Betapa tidak? Pada bagian depannya saja terdapat sederet kalimat penuh makna (tertulis dalam bahasa dan aksara Jawa). Antara lain ada yang berbunyi: Ing Dana Wara (artinya “modal”). Selain itu, ada sengkalan yang berbunyi: Wiwara Kusuma Winayang Reka (artinya “pintu yang terungkap dalam wujud cipta”).

Secara garis besar, maksud dari semua kalimat di situ adalah "kawasan Pura Pakualaman merupakan zona kehidupan yang memiliki kedalaman pemikiran filosofis". Dengan demikian, tindakan memasuki kawasan Pura Pakualaman merupakan modal awal menuju ranah pemikiran yang mendalam. Nah, lho. Memang keren 'kan?

Begitulah faktanya. Pura Pakualaman merupakan kawasan yang beretos kerja tinggi dan memiliki pemikiran yang rasional. Kiranya Ki Hadjar Dewantara adalah salah satu bukti nyata atas hal tersebut. Iya. Ki Hadjar Dewantara yang bernama asli Raden Mas Soewardi Soeryaningrat memang merupakan putra Pakualaman.
 

Bagian depan Pura Pakualaman


Jika ingin mengetahui lebih detil mengenai Ki Hadjar Dewantara, silakan kalian cari sendiri referensinya. Demikian pula jika ingin tahu tentang aneka filosofi di Pura Pakualaman. Mungkin di museum yang terdapat di kompleks ini ada. Maaf, aku tidak bisa memastikannya. Aku dan kawan-kawan berkunjung pada hari Minggu, sedangkan hari tersebut merupakan jadwal tutup museum. 



Berusaha khusyuk menyimak penjelasan Mas Erwin


Luas, Indah, dan Simpel

Begitu melewati pintu gerbang, aku langsung terkesan pada halaman Pura Pakualaman. Bersih, luas, simpel, namun menyiratkan keindahan tersendiri. Pusat pemerintahan dan segala urusan Kadipaten Pakualaman ini memang tak semegah Keraton Yogyakarta Hadiningrat. Akan tetapi, wibawanya boleh diadu bangeeet.

Bangunan besar di tengah itu adalah Bangsal Sewatama

O, ya. Selepas dari pintu gerbang, kita langsung dihadapkan pada Bangsal Sewatama yang berada nun jauh di sana. Tapi jalan menuju ke sana sengaja dipecah dua arah. Hal itu dilakukan terkait dengan fengshui. 

Bangsal (pendopo) Sewatama merupakan bangunan induk. Fungsinya untuk menyelenggarakan aneka prosesi upacara adat, pertunjukan tarian khas Kadipaten Pakualaman, seminar/rapat, dan menerima tamu-tamu resmi dalam jumlah banyak. Multifungsional memang.



Halaman yang luas dan indah (1)

Halaman yang luas dan indah (2)



Di sebelah kiri (timur) Bangsal Sewatama ada sebuah bangunan yang cantik sekali. Bangunan itu disebut Gedung Purwaretna. Informasi yang kuperoleh menyebutkan bahwa fungsinya sebagai perpustakaan istana. Koleksinya terdiri atas naskah-naskah Jawa klasik. Akan tetapi, tidak sembarangan bisa diakses masyarakat umum. Perlu ada izin khusus kalau kita ingin bisa memasukinya.

Gedung Purwaretna dibangun pada masa pemerintahan Paku Alam VII. Tatkala itu beliau dibantu oleh Paku Buwana X selaku mertuanya. Iya, benar. Paku Buwana X, sang raja besar terakhir dari Trah Mataram-Surakarta itu.

Bangunan berarsitektur Barat tersebut dihiasi dengan ukiran tembus pandang yang keren. Silakan perhatikan saja foto berikut. Jangan protes, "Motretnya kejauhan ...."  Yeah! Memang akses ke halamannya--untuk mendekat--tertutup. Entah memang selalu tertutup ataukah sebab hari Minggu.



Gedung Purwaretna


Perihal Arah Menghadap Bangunan

Pura Pakualaman menghadap ke selatan. Hal tersebut disengaja. Mengapa? Sebab Keraton Yogyakarta Hadiningrat menghadap ke utara. Kalau sama-sama menghadap ke utara, sementara posisi Pura Pakualaman di sebelah utara Keraton Yogyakarta Hadiningrat, bisa berarti sebuah kekurangajaran dong ....

Jangan lupa. Bagaimanapun cikal-bakal penguasa Kadipaten Pakualaman adalah keturunan dari Sultan Yogyakarta. Maka unggah-ungguh antara yang lebih muda terhadap yang lebih tua tetaplah dipegang teguh. Kalau Pura Pakualaman menghadap ke utara, itu sama saja membelakangi alias memunggungi Keraton Yogyakarta Hadiningrat.

Masjid Besar Pakualaman 

Di luar tembok pura, tepatnya di sebelah barat daya, berdirilah sebuah masjid. Itulah Masjid Besar Pakualaman. Bentuk dan modelnya identik dengan Masjid Besar Kauman, yang merupakan milik Keraton Yogyakarta Hadiningrat. Hanya saja ukurannya lebih kecil. Lebih bersahaja pula pernak-perniknya.

Namun, Masjid Besar Pakualaman ini sama sekali tak terkait dengan Masjid Besar Kauman. Bukan termasuk salah satu dari masjid pathok negoro. Jangan lupa. Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman adalah dua kerajaan yang berbeda. Masing-masing punya otoritas tersendiri.


Pintu gerbang Masjid Besar Pakualaman


Sayang sekali bangunan masjid ini terkepung pemukiman padat penduduk. Alhasil, aku tak leluasa melakukan pengambilan sandal, eh, gambar. Hehehe .... 


Serambi Masjid Besar Pakualaman

Masjid Besar Pakulaman masih berfungsi hingga sekarang. Alhamdulillah. Berarti cukup terjaga eksistensinya. Meskipun tak dapat dihindari, terjadi renovasi juga di sana-sini. 

Sama halnya dengan masjid besar milik Keraton Yogyakarta, Masjid Besar Pakualaman juga berlokasi di sebuah kampung yang dinamakan Kauman. Sebagai pembeda, yang di Pakualaman ini disebut Kauman Pakualaman dan yang satunya disebut Kauman Ngupasan. Adapun Pakualaman dan Ngupasan merujuk pada nama wilayah.   



Mas Erwin in action

Peserta pun serius menyimak penjelasan Mas Erwin

Sayang sekali saat aku dan kawan-kawan berada di Masjid Besar Pakulaman, suasana sepi dari takmir. Pintu masjid pun ditutup rapat. Sepertinya dikunci. Jadi, tak bisa menengok ke bagian dalam. Ya sudahlah. Ini semacam kode supaya kelak aku ke situ lagi, tatkala waktu solat tiba. Ikutan solat berjamaah di masjid itu. 'Kan jadi bisa leluasa melihat bagian dalamnya. Memotret-motretnya juga. Haha!

Pucuk atap Masjid Besar Pakualaman


Baiklah. Kupikir cukup sekian ceritaku tentang dolanku ke Pura Pakualaman plus Masjid Besar Pakualaman. Semoga bermanfaat dan menginspirasi kalian dalam hal apa pun. Semoga pula kalian, khususnya yang berminat pada sejarah Kadipaten Pakualaman dan arsitektur Masjid Besar Pakualaman, termotivasi untuk mencari referensi lebih lanjut tentang keduanya.

Bagaimana? Tertarik untuk segera berkunjung ke Pura Pakualaman? Tak usah khawatir soal harga tiket. Masuk ke Pura Pakualaman 'kan tak perlu beli tiket dengan harga tertentu. Cukup bayar seikhlasnya. Kalau merasa tidak ikhlas ya, apa boleh buat? Keterlaluan pelit itu namanya. Haha!


Salam Jasmerah.


MORAL CERITA:
Jajan soto dan rujak es krim di Alun-alun Sewandanan, yuuuk! Hehehehe ....








14 komentar:

  1. Sewaktu ke Yogya kemarin, aku mampir di masjid dan musholla yang kebetulan semua bangunannya model joglo gitu. Kayaknya bangunan udah lama atau memang model kuno, tapi bersih kok.

    BalasHapus
    Balasan
    1. kemungkinan besar memang bangunan kuno itu, Mbak. Yang masih dipakai dan dirawat dengan baik. Alhamdulillah.

      Hapus
  2. Setiap lokasi memang memiliki ceritanya masing masing, dan setiap lokasi juga memberikan cerita tersendiri bagi kita yang berkunjung disana.. Awas lo kak bakal rindu lagi datang kesini wuehehe, jogja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, iya, kalau rindu ya ayoklah dikunjungi lagi. Hiyahiyahiya.... Hahaha!

      Hapus
  3. Kadang aku kalau ngelihat bangunan kerajaan kayak gini langsung terbayang, kayak apa ya suasana Pakualaman ini 400 tahun yang lalu. Banyak dayang2 yang berlalu lalang disekitar kerajaan. Ya Ampun imajinaskuhhhh :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hmmm, kalau aku membayangkan para pangeran tampannya hiyahiyahiyahiya...

      Hapus
  4. Saya pertama masuk ke Pakualaman sekitar tahun 2009-nan kalau nggak salah. Dan ada cerita unik. Saya motret salah satu abdi dalemnya dan janji ngirim foto ke beliau. Tapi saya lupa. Fotonya baru saya kirim sekitar 3 tahun kemudian. Tapi berhubung ndak ketemu bapaknya jadi saya titipin ke abdi dalem yang lain sambil saya kasih nomor telepon. Beberapa hari kemudian ada nomor asing yang telepon rupanya anak si bapak sepuh tersebut. Lucunya lagi beliau minta saya untuk jadi mantunya hahahaha.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha hahaha... Apik ikiih, tapi enggak jodoh ya...

      Hapus
  5. Aku pernah mampir salat di Masjid Besar Pakualaman suasananya enak adem ayem gitu buat ibadah tapi emang sepi sih jadi lumayan ngeri juga kalau sendiri hihi

    BalasHapus
  6. Aku juga pernah ikut jelajah ke sini. Bangunan purworetno memang keren...

    BalasHapus
  7. Belum pernah masuk juga akutuuu pengenn masuk deh kapan2

    BalasHapus
    Balasan
    1. O la la. Berarti aku gak disa dong, telat masuk. Secara, aku kan bukan wong aseli Jogja. Hahahaha!

      Hapus

Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!