Selasa, 20 Agustus 2019

Abdi Dalem Musikan Dihidupkan Lagi

HENING sesaat. Setelah para pemusik bersiap di posisi masing-masing, sang Kondakter Pangarso Musikan (konduktor/dirigen) memberi hormat kepada penonton. Selanjutnya--dengan tetap menghadap ke penonton--ia memberi aba-aba, baik kepada para pemusik maupun penonton, "Menyanyikan lagu Indonesia Raya!"

Orang-orang yang berdiri di sekitar Bangsal Mandalasana pun spontan mengambil sikap tegak sempurna. Kemudian bersama-sama melantunkan "Indonesia Raya". Duh, duh, duh. Kurasakan suasananya cukup mengharukan.

Mengapa kurasa mengharukan? Ada tiga penyebabnya. Pertama, ternyata masih banyak masyarakat umum yang hafal lirik "Indonesia Raya". Kedua, selain hafal lirik ternyata mereka pun masih paham cara bersikap saat melantunkan lagu kebangsaan. Ketiga, ternyata tanpa latihan sebelumnya rakyat Indonesia bisa kompak berdendang penuh semangat.

Tak sekadar untuk "Indonesia Raya". Untuk lagu-lagu selanjutnya, yang merupakan lagu-lagu nasional, juga demikian. Mulai dari "Satu Nusa Satu Bangsa" hingga "Bagimu Negeri", senantiasa ada penonton yang melantunkan lirik-liriknya. Menggenapi instrumentalia yang dimainkan oleh Abdi Dalem Musikan.

Selain haru, menyeruak pula rasa bangga di dada. Betapa tidak? Keseriusan (atau keasyikan???) kami menyanyikan lagu kebangsaan dan lagu-lagu nasional disaksikan oleh para wisatawan asing. Tentu sesekali mereka mendokumentasikan kami, dong. Yang berarti menjadi Good News From Indonesia 'kan?






Selama Abdi Dalem Musikan beraksi, aku terkesan pada beberapa penonton. Di antaranya pada seorang wisatawan muda nan seksi plus segala gaya kekiniannya, yang tak henti-hentinya ikut bernyanyi penuh semangat. Yup! Aku merasa WOW melihatnya. Penampilan boleh kebarat-baratan. Eh, rupanya hafal lagu-lagu nasional.

Singkat cerita, beruntunglah aku bisa hadir dalam peristiwa bersejarah itu. Yakni peristiwa pentas perdana Abdi Dalem Musikan, setelah rehat selama 80 tahun. Nah! Perlu diketahui bahwa Abdi Dalem Musikan (versi zadoel) terakhir kali pentas pada tahun 1939. Yang berarti 6 tahun sebelum negara kita ini resmi berdiri. Durasi rehatnya mantap, ya? Haha!

Abdi Dalem Musikan 

Kalian pasti kepo maksimal dengan istilah Abdi Dalem Musikan. Dari awal disebut-sebut, bahkan dijadikan judul, tapi belum kunjung ada penjelasan tentangnya. Baiklah. Sekarang mari kita langsung membahasnya saja.

Sesuai dengan namanya, Abdi Dalem Musikan adalah Abdi Dalem Keraton Yogyakarta yang bertugas memainkan alat musik diatonis. Alat musik lho, ya. Bukan gamelan. Jadi tatkala tampil mereka memainkan terompet, trombone, saxophone, dan senar drum. Yang dibawakan tentu lagu-lagu Barat (Eropa), bahkan lagu kebangsaan Belanda juga.

Kok lagu Barat? Kok lagu kebangsaan Belanda? Aih! Tak usah heran begitu, dong. Ingatlah sejarah. Bukankah dahulunya Keraton Yogyakarta terpaksa tunduk pada pemerintahan kolonial Belanda? Lagi pula, Abdi Dalem Musikan memang khusus tampil untuk menyambut tamu-tamu negara atau saat acara penobatan (yang tentunya dihadiri pula oleh pembesar kolonial Belanda).

O, ya. Abdi Dalem Musikan eksis pada masa Sri Sultan HB VIII berkuasa. Yakni pada tahun 1921-1939. Tatkala itu Abdi Dalem Musikan ditempatkan di satu lokasi khusus yang kemudian dikenal sebagai Kampung Musikanan.

Lalu, apa perbedaan Abdi Dalem Musikan tempo doeloe dengan Abdi Dalem Musikan yang tempo hari mulai dihidupkan? Hmm. Sejauh pengetahuanku, perbedaannya  terletak pada busana yang dikenakan dan lagu-lagu yang dibawakan.

Dahulu Abdi Dalem Musikan berpakaian ala Belanda ketika pentas. Sementara kini, mereka mengenakan pakaian Abdi Dalem Keraton Yogyakarta. Untuk lagu yang dibawakan, dahulu lagu-lagu Barat, terkhusus Belanda. Sementara untuk pentas perdana tempo hari, yang dibawakan lagu-lagu perjuangan (nasional). Dan, entah lagu apa yang akan dibawakan untuk pentas-pentas selanjutnya nanti.

Ada yang menarik sebelum 14 Abdi Dalem Musikan beraksi. Yakni adanya prosesi penjemputan dan pengantaran oleh prajurit keraton. Sebelum pentas, Abdi Dalem Musikan dijemput dari Bangsal Kasatriyan menuju Bangsal Mandalasana. Selesai pentas, mereka diantarkan kembali ke Bangsal Kasatriyan. Sudah pasti prosesi ini pun menjadi tontonan tersendiri.


Para prajurit yang mengawal para Abdi Dalem Musikan (By Mida) 

Para Abdi Dalem Musikan yang Dikawal (By Mida) 


Bangsal Mandalasana 

Bangsal Mandalasana adalah tempat beraksi Abdi Dalem Musikan. Berupa sebuah bangunan tanpa dinding dan berbentuk segi delapan. Warna catnya cerah ceria. Dilengkapi pula dengan pernak-pernik menarik. Model atapnya keren. Sementara di sepanjang bagian atas, tepat di bawah atap, dihiasi ornamen bernuansa musik. Yup! Di situ ada gambar alat-alat musik yang dimainkan Abdi Dalem Musikan.

Silakan cermati bentuk Bangsal Mandalasana pada foto di bawah ini. Memang unik dan keren 'kan? Kalau kalian pernah berkunjung ke Keraton Yogyakarta, kalian pasti telah melihatnya. Apalagi lokasi bangsal ini di bagian depan. Begitu memasuki keraton, setelah kita melihat tembok yang ada lambang keratonnya, tengoklah ke kiri. Pasti Bangsal Mandalasana langsung terlihat.


Penampakan Bangsal Mandalasana 

Di depan Bangsal Mandalasana terdapat satu bangsal juga. Kemarin diberi empat kursi plus dua meja kayu. Kata salah seorang Abdi Dalem, itu disediakan untuk Ngarsa Dalem (Sri Sultan HB X) dan pengiringnya. Namun sayang sekali, sampai pertunjukan berakhir beliau tak hadir. Mungkin punya acara lain yang jauh lebih penting.

Sekali lagi, sayang sekali. Padahal, beliau itulah yang memberikan izin dihidupkannya lagi Abdi Dalem Musikan. Apa boleh buat? Semoga kelak dalam kesempatan yang sama, beliau dan aku bisa sama-sama hadir. Tentu dalam kapasitas yang berlainan. Beliau sebagai raja, aku sebagai rakyat jelata nan (inginnya) jelita. Haha!


Kursi yang mestinya diduduki oleh Ngarsa Dalem 

Bangsal penonton yang berhadapan dengan Bangsal Mandalasana 


Sungguh. Aku memang beruntung bisa menjadi salah satu saksi kembali hidupnya Abdi Dalem Musikan Keraton Yogyakarta. Yang pentas perdana kebangkitannya dilangsungkan pada tanggal 18 Agustus 2019. Tepat 74 tahun bergabungnya Keraton Yogyakarta dengan NKRI.

Semoga kalian masih ingat bahwa tatkala itu, Sri Sultan HB IX sigap menyatakan bergabung dengan NKRI. Heh? Apa? Lupa? Duh, duh, duh. Kalau lupa, ayolah kita sama-sama mengingatnya lagi. Tentu tak sekadar demi romantisme masa lalu. Tapi lebih dari itu, untuk kembali menghimpun patriotisme dan nasionalisme yang mulai berserakan.

MORAL CERITA:
Di balik sebuah pementasan, pastilah ada cerita-cerita menarik.





20 komentar:

  1. Aku orang Sunda.
    Tapi dari dulu selalu ingin pakai baju cowo adat JAwa gitu.
    Ah suka banget!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh kalau gitu, ayolah ke Jogja dan beli, lalu pakai untuk pepotoan.... Hehehhe..

      Hapus
  2. Seru banget mba..tau info info gini darimana mba? Pengen liat langsung jhga euy..hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaa, seruu. Silakan kepoin akun IG Kraton Yogyakarta, Mbak.

      Hapus
  3. Seneng banget ya bisa menyaksikan sendiri musik yg dimainkan. Ceritanya jadi mengingatkanku tentang eang buyutku yg sampai tutup usia tinggal di musikanan.

    BalasHapus
  4. Kalau gak salah acara ini bakalan rutin digelar kembali.
    Mungkin zaman dulu tuh ya kesenian macem ini tuh lumrah. Sayangnya dulu yang gemerlap hanyalah yang bangsawan

    BalasHapus
  5. Wiwin | pratiwanggini.net23 Agustus 2019 pukul 09.36

    Vakumnya luamaaaaa bener yaaa.. Berarti abdi dalem yang main musik sekarang bukan lagi abdi dalem 80 tahun yg lalu 'kan? Apakah generasi berikutnya, I mean keturunannya juga?

    BalasHapus
  6. Mbak, aku menyesal melewatkan tontonan unik dan menarik ini. Sayang sekali...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau dirimu melewatkan sebab lupa dan aktivitasmu kala itu cuma di rumah, cen sayang sekaliii

      Hapus
  7. Aih pasti seru banget liat "konser musik" dengan alat musik warisan dulu dan pemainnya berbusana adat

    BalasHapus
  8. Aduh kenapa saya tidak tahu ya, kalau tahu mah saya ingin rasanya kesana.
    Biar lebih tahu secara dekat.

    BalasHapus
  9. Wah cukup lama juga ya mbak vakumnya, tp skrg lebih bagus menurutku, pakaiannya mengikuti kearifan lokal, jadi Indonesia banget

    BalasHapus
  10. Penasaran kenapa tradisi tsb bisa vakum sampai selama 80 tahun dan baru dihidupkan kembali sekarang. Memang kuncinya ada di kebijakan pemkot setempat

    BalasHapus
    Balasan
    1. Konon vakum sebab biaya. Demikian yang pernah saya baca. Kalau sekarang dihidupkan lagi, momentumnya memang tepat. Yakni saat Kraton Yogyakarta sedang semangat-semangatnya untuk membangkitkan "kejayaan budaya" kraton.

      Hapus

Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!