Kamis, 17 November 2022

Buruh Gendong Beringharjo dan Sastra

APA kabar Sobat PIKIRAN POSITIF? Tetap semangART dan berupaya sehART, ya. Teladanilah para buruh gendong Beringharjo yang selalu berupaya sehat kuat dalam menjemput rezeki. Sepakat?

Ada apa dengan para buruh gendong Beringharjo? Mengapa kali ini saya bawa-bawa ke dalam tulisan? Yeah, karena memang sesuai dengan judulnya, tulisan ini hendak bercerita tentang mereka.

Jadi, ada apa dengan mereka? Pastinya ada yang seru, dong. Kalau tidak seru tak bakalan saya ceritakan di blog www.tinbejogja.com ini.

Festival Sastra Yogyakarta (Dokpri)
Desain panggung diskusi sastra (Dokpri)

Silakan amati foto pertama. Aku yakin, kalian pasti melihat sebuah papan larangan di samping banner Festival Sastra Yogyakarta itu. 

Walaupun hanya tampak separo, kalian pasti dapat mengetahui bahwa isinya berupa larangan untuk menggelandang, mengamen, mengemis, dan mengasong di pasar. Tentu dalam konteks ini, pasarnya adalah Pasar Beringharjo Yogyakarta.

Kemudian pada foto kedua, ada anak ayam imitasi di antara buah-buahan. Adapun tata letak buah-buahan tersebut khas tata letak di pasar. Digelar di tampah dan keranjang, lalu diletakkan di atas keranjang/kotak kayu. 

Jadi, itu apa? Apa hubungan foto pertama dan kedua? Baik. Hubungannya langsung kujelaskan saja melalui foto berikut, ya. 

Informasi acara Sastrastri (Dokpri)

Kupikir kalian pasti paham hanya dengan membaca poster di atas. Yoiii. Foto kedua merupakan desain panggung tempat berlangsungnya acara diskusi bertajuk "SASTRASTRI (Sastra dan Perempuan)".

Di poster tercantum bahwa lokasi acara di Pasar Beringharjo. Itulah sebabnya estetika panggung menyesuaikan. Unik 'kan? 

Kian unik ketika angin berembus sehingga aroma khas pasar pun tercium. Plus sesekali ada orang belanja atau buruh panggul melintasi area panggung (tempat narasumber).

Amat natural. Biasanya diskusi sastra 'kan diselenggarakan di gedung yang atmosfernya intelek atau estetik. Yang tanpa sadar karena jamak dilakukan seperti itu, sesungguhnya malah makin menegaskan bahwa sastra berada di menara gading.

Artinya, sastra berjarak dari kehidupan sehari-hari. Jauh dari jangkauan masyarakat awam. Sementara para pegiat sastra selalu koar-koar untuk membumikan sastra. Hmm. Sungguh kontradiktif memang. 

Alhasil menurutku, ide penyelenggaraan diskusi SASTRASTRI di Pendapa Beringharjo patut sekali diacungi jempol. Sat set tanpa banyak wacana, langsung mendekat ke khalayak yang notabene tidak akrab dengan sastra.

Bahkan, panitia sukses mengajak para buruh gendong Beringharjo untuk terlibat. Ya, mereka dilibatkan untuk tampil sebagai pembaca puisi. Hasilnya? Sangat seru.

Bagiku, ini sesuatu yang keren banget. Panitia telah memberikan pengalaman bersastra kepada para buruh gendong. Plus semacam memberi jeda estetis dari keseharian mereka yang pastilah cenderung monoton. 

Yang mengharukan, para buruh gendong tersebut mengaku senang bisa belajar membaca puisi. Rata-rata mereka mengaku kalau seumur hidup, baru sekali itu membaca puisi. Nah!

Buruh gendong Beringharjo baca puisi (Dokpri)
Peserta diskusi dan buruh gendong baca puisi bersama (Dokpri)
Puisi yang mereka baca (Dokpri)


Diskusi sastra dalam rangka Festival Sastra Yogyakarta itu menampilkan 3 narasumber. Sesuai tema tentunya semua perempuan, yaitu Yetti Martanti (Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta), Ratih Kumala (sastrawan), dan Rumayda Akmal (sastrawan sekaligus dosen FIB UGM). 

Adapun pembawa acaranya yang sekaligus bertindak selaku moderator adalah Sekar Sari.


Para narasumber dan moderator sekaligus MC (Dokpri)

Di luar materi diskusi, terusterang aku terkesan dengan pelibatan para buruh gendong Beringharjo itu. Aku berharap, ke depan mereka terpantik untuk lebih sering menikmati sastra. 

Apa alasanku berharap begitu? Karena sastra bisa untuk healing. Tepatnya healing secara murah berfaedah dan berkelas. Hahaha!

Ketahuilah, healing itu tak berarti pergi ke sebuah destinasi wisata. Kalau berkunjung ke destinasi wisata  sih, namanya piknik.

Eit! Jangan berpikir rumit tentang sastra dan cara menikmatinya. Mendengarkan sandiwara radio, nembang, nonton pertunjukan musik dan teater, itu sudah menikmati sastra. Bahkan kata Rumayda Akmal, bergosip pun termasuk bersastra.

Jadi, jadiii, kalian yang gemar menyebar gosip = telah menjadi sastrawan? Ladalah. Enggak gitu juga lah yaaa. 

Tentu saja sepulang dari acara ini otak dan hatiku terasa kembali penuh. Senang bisa menyegarkan kembali ingatanku tentang sastra. Senang pula melihat semangat para buruh gendong Beringharjo berkegiatan sastra.

Dokpri
 
O, ya. Acara diskusi diakhiri dengan beberapa lagu campursari. Namun, sebelumnya ada foto bersama. Tampak dalam foto adalah para buruh gendong, anggota IIDN Yogyakarta, dan Komunitas Perempuan Berkebaya.

Ayo, jaga kesehatan jiwa dan raga. Demi Indonesia lebih bertenaga. Caranya bisa bermacam-macam. Sastra adalah salah satunya. Kalau para buruh gendong Beringharjo bisa, kalian mestinya lebih bisa.




20 komentar:

  1. Ya ampun, betapa hangat dan indahnya. Sudah lama sekali nggak mendatangi kegiatan tema kesastraan gini. Kemudian melihat tulisan mengenai acara sastra namun di tengah tempat kegiatan masyarakat tuh takjub, bener krn biasanya acaranya di dalam gedung2 saja kebanyakan. Pdhl kalau membaca karya sastra itu ya suka menemukan karakter2 masyarakat spt petani, buruh gendong, nelayan, tp br kali ini melihat acara sastra yg dekat sekali dg masyarakat ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang keren acaranya ini, langsung terjun ke tengah masyarakat.

      Hapus
  2. Satu kata, SALUTE! Masih ada ternyata teman-teman yang berusaha 'mengentalkan' suasana sastra dalam balutan suasana tradisional yg sesungguhnya. Jadi pengen ke Yogya akutuh, hihi..

    BalasHapus
  3. Angkat topi kak atas acaranya. beneran kreatif dan keren sekali "bungkus" acaranya. Tidak gampang mengemas acara seperti ini untuk jadi nyaman dinikmati. kerennnn! tahun depan kudu ada lagi dong

    BalasHapus
  4. Sekarang jadi FSY ya Mbak, dulu seingatku Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY). Atau ini perhelatan yang lain lagi? Bagus sih menurutku, upaya mendekatkan sastra ke masyarakat dengan langsung diskusi di tengah pasar. Aroma pasar tradisional otomatis menghiasi dan menambah kekhuyukan diskusi. Layak dicontoh daerah lain, Jogja selalu istimewa. Daerah lain bisa menghadirkan sastrawan lokal biar makin sinergis. Dan setuju, bersastra memang bisa jadi healing. Ingat dulu pas kuliah kalau sakit aku malah baca kumpulan cerpen di perpus daerah hehe. Mantap!

    BalasHapus
  5. Waaah aku penasaran mba, dengan acaranya. Apalagi pembacaan puisi dan diikuti juga oleh buruh gendong. Aku termasuk yg masih bingung kalo harus membaca puisi. Krn biar gimana kalo di atas panggung kan bacanya beda seperti membaca fiksi biasa 😅. Dulu zaman SD kalo udh baca puisi, Duuh hrs liatin temen yg kebetulan juaranya. Cara dia tuh meluap luap banget saat bacain 🤣.

    Sementara aku suka rada flat. Pada dasarnya memang pemalu juga 😅. Btw aku suka puisi yg dibacain buruh gendong di atas 👍

    BalasHapus
  6. keren banget ini kegiatan acaranya mba.. ternyata ada kerjasama juga yaa dari beberapa komunitas termasuk IIDN jogja. kayaknya acara kayak gini juga layak ditiru di daerah lain, untuk mengembangkan sastra setempat juga

    BalasHapus
  7. seru juga tuh, nodong para buruh untuk baca puisi. Apa dikasih kesempatan latihan dulu mb?

    BalasHapus
  8. Saya termasuk yang terkadang kesulitan memahami karya sastra. Saya apresiasi cara ini. Memang daripada banyak teori, sebaiknya seperti ini terjun langsung ke lapangan. Semoga aja sastra jadi semakij terasa membumi, ya

    BalasHapus
  9. kereeen, salut nih dengan panitia kegiatan ini, bisa buat buruh gendong jadi punya pengalaman baru dan tentu ini sangat berharga buat mereka, terlebih bagi mereka yang baru sekali ini membaca puisi :)

    BalasHapus
  10. Sudah lama aku gak ikut kegiatan kesastraan sejak ada di kampung, baca tulisan mba serasa terobati kerinduan itu

    BalasHapus
  11. Unik banget pemilihan tempatnya, kalo ada rekamannya jadi pengen nonton, pasti seru banget. Atau kalo main ke Jogja pengen banget liat langsung..

    BalasHapus
  12. Menarik nih pemilihan tempat dan konsep acaranya.
    Sastra dan politik kadang-kadang sama, ya. Senang membicarakan Masyarakat kecil tetapi membuat jarak dan batas dengan yang dibicarakan.

    BalasHapus
  13. Wah sukses dan lancar banget ya acaranya, apalagi antusiasme dari para peserta juga banyak banget.. Semoga sastra di Indonesia ini bisa terus dilestarikan dan bisa dinikmati oleh semua orang, tidak hanya dari orang sastra saja tapi untuk semua kalangan seperti ini.

    BalasHapus
  14. Wihh keren banget acaranya! Antusiasme para peserta juga keren-keren banget. Terharu sih sama buruh gendong yang baca puisi, mereka baru pertama kali belajar dan baca puisi seumur hidupnya. Huwaaa terharu:")

    BalasHapus
  15. Duh jadi kangen banget Ya Allah sama Yogya. Jadi malu nih sama ibu2 dan mbak2 yang di sela2 kerjaannya masih menyempatkan cari ilmu tentang sastra. Keren lho. Iya ya, ada kalanya tu sastra jadi kelihatan eksklusif, tapi emang tergantung org2nya sih keknya yaa.

    BalasHapus
  16. Aku seneng banget bacanya..acaranya sastra, melibatkan perempuan dan itu para buruh gendong dan tempatnya pasar Beringharjo..wah, salut buat yang punya ide dan penyelenggara. Bisa ditiru nih oleh yang lainnya. Keren..keren

    BalasHapus
  17. Lucuu sekali bagian penataan dekorasi panggungnya...acara kayak gini tuh memang harus diblusukkan ya istilahnya, biar memberikan kesempatan bagi semakin banyak orang

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!