Selasa, 05 November 2019

Jeroan Rumah Indis di Bintaran

HALO Sobat Pikiran Positif .... 

Apa kabar kalian?  Sedang sibukkah? Semoga. Daripada menganggur .... Hahaha! Kalaupun terpaksa menganggur, apa boleh buat? Jadilah penganggur yang baik dan benar. Ahaiii! Apa pula ituuu? Apa maksudnya menjadi panganggur yang baik dan benar?

Tak lain dan tak bukan, maksudnya ya mengisi masa-masa menganggur dengan aktivitas yang bermanfaat. Tidak tiduuur saja. Atau main gadgeeet melulu. Jalan-jalan juga, dong. Misalnya berjalan-jalan ke tempat-tempat bersejarah di kota sendiri. Seperti yang kulakukan tempo hari.

Yoiii. Beberapa waktu lalu aku beruntung bisa terangkut untuk ikutan Kelas Heritage Bintaran by Malamuseum. Seperti yang telah sedikit kusinggung pada tayangan sebelumnya. Itu tuh, pada tulisan yang berjudul Kampung Bintaran Yogyakarta. Silakan klik tautan ini untuk membacanya.

Nah! Kali ini aku hendak memamerkan jeroan salah dua rumah Indis yang ada di Kampung Bintaran. Iya. Salah dua saja. Bukan sebab pelit, melainkan kondisi. Apa boleh buat? Tak semua pemilik rumah bersedia dieksplorasi rumahnya. Yang dua ini pun, tidak bisa seluruh bagiannya kami tinjau.

Namun, Alhamdulillah. Teteeeuuup wajib aku syukuri. Yang sedikit ini pun sudah sangat bermanfaat. Buktinya bisa kukisahkan lagi di sini kepada kalian. Bisa menambah wawasan tentang Yogyakarta. Iya 'kan?

Yuuuk, langsung disimak saja foto-fotonya berikut ini. Meskipun sedikit, semoga menggoreskan kesan indah di hati kalian. Hehehe  ....

Rumah Indis Rigen Pizza & Cafe 

Kalian yang berdomisili di Jogja dan sekitarnya, kemungkinan besar tahu bangunan ini. Yakni sebuah bangunan rumah Indis di kawasan Bintaran tengah. Beberapa puluh meter di sebelah timur Gereja Bintaran. Apalagi nuansa oranye dan hijaunya lumayan mencolok mata. Silakan amati foto-foto berikut.


Bagian depan (perhatikan detil atap dan ornamen di sekitarnya)

Salah satu jendela

Beranda kanan (rupanya menjadi kantor redaksi sebuah majalah)


Apakah kalian penasaran dengan kondisi atap dan lantainya? Oke. Jangan khawatir. Aku tidak lupa untuk memotretnya, kok. Silakaaan. Cukup unik dan menguarkan aroma masa lalu 'kan?


Penampakan langit-langit ruang tamu

Langit-langit pada sisi yang berbeda

Motif ubinnya (dan sedikit kakiku)


Beruntunglah kami diizinkan menengok bagian belakang bangunan. Yang ternyataaa .... Penampakannya menyeramkan. Benar, lho. Ada aura-aura horor tatkala berada di situ. Kubayangkan andai kata kami ke situ malam hari. Hiiii!

Namun, jangan salah. Ketika semua bangunan tersebut masih utuh dan berfungsi, pastilah penampakannya sangat keren. Mari imajinasikanlah sejenak waktu.

Di seberang kamar-kamar pembantu ada sebuah beranda belakang. Yakni tempat minum teh sore sembari menikmati senja. Sementara di antara bangunan-bangunan yang ada, terdapat sebidang taman asri. Nah, lho. Apa tidak kece badai itu sebutannya?

Ya Allah. Mengapa kaum penjajah Belanda itu sedap betul hidupnya? Punya rumah luas dan keren. Syahdu. Mereka benar-benar mencicipi surga dunia di Indonesia!


Reruntuhan kamar-kamar pembantu

Bagian belakang yang masih dihuni

Kondisi atap bekas kamar mandi


Bangunan heritage rumah Indis yang kini dimanfaatkan sebagai Rigen Pizza & Cafe, dahulunya memang rumah orang Belanda. Selanjutnya setelah Belanda kalah perang, rumah tersebut ditempati oleh seorang bangsawan Keraton Yogyakarta. Lalu, siapa penghuninya kini? Tak lain dan tak bukan, ya anak keturunan bangsawan tersebut.

O, ya. Berdasarkan informasi yang berhasil kurangkum, bangunan ini berdiri sekitar tahun 1890-an. Adapun nama orang Belanda yang dahulu menempatinya John Henry Paul Sagger. Yeah, tapi di sini aku belum bisa bercerita detil. 'Kan belum menemukan referensi lebih terinci? Haha! 


Ini penampakannya dari jalan


Rumah Indis Bapak R.M. Sujatmiko

Rumah satunya yang boleh dimasuki adalah Rumah Indis Bapak R.M. Sujatmiko. Lokasinya tepat di selatan Museum Sudirman. Selang satu rumah. Yang menuju Toko Roti Murni itu, lho. Pas di pertigaan yang dekat Kafe Cangkir.

Kalau dari Rigen Pizza & Cafe, berjalanlah lurus ke timur. Setiba di pertigaan depan Kafe Cangkir, langsunglah menyeberang. Rumahnya ya tepat di seberang itu. Namun, hati-hati kalau menyeberang. Lihat kiri dan kanan dulu. Oke?




Kami tak boleh masuk ke sana ituuu

Itu foto Pakualam VIII

Perlu diketahui bahwa Bapak R.M. Sujatmiko adalah keponakan dari Pakualam VIII. Jadi, beliau berhak tinggal di sini sebab memang termasuk sebagai ahli waris sah. Adapun bangunan ini dibeli oleh Pakualam VII dari pihak Belanda.


Piagam penghargaan untuk Bapak R.M. Sudjatmiko

Foto keluarga yang banyak berkisah tentang sejarah


Rumah Bapak R.M. Sujatmiko sudah tercatat sebagai bangunan cagar budaya. Sama halnya dengan bangunan Rigen Pizza & Cafe. Artinya, ada dana khusus dari pemerintah untuk perawatan. Namun sudah pasti, ada syarat dan ketentuannya.

Demikian sekelumit jeroan rumah Indis yang bisa kupamerkan. Semoga menghibur dan bermanfaat. Bisa pula menjadi panduan untuk menjelajahi Jogja bagian Bintaran.

Ngomong-ngomong, kawasan Bintaran itu tidak jauh dari Titik Nol Jogja. Dari Titik Nol tinggal ke kiri (ke arah timur). Setelah melewati satu perempatan dan satu jembatan, belok kanan (ke arah selatan). Ya di situ itulah lokasinya. GPS saja supaya akurat. Gunakan Penduduk Setempat ....  

MORAL CERITA:
Kalau ingin menjelajahi kawasan bersejarah Yogyakarta, silakan saja colek-colek Komunitas Malamuseum.





34 komentar:

  1. suka sy tengok jubinnya... nampak klasik sangat👍👍

    BalasHapus
  2. Artikel yang bagus. Itulah kenapa rumah bekas penjajah Belanda tinggi2 walau tak bertingkat, mungkin penghuninya bertinggi 2 meteran hehe.. Next mungkin bisa bahas rumah anti gempa di Yogya, kebetulan blog saya baru bahas mitigasi gempa. Thx

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas usulannya....

      iya, selain orang Belandanya tinggi, supaya enggak gerah.... mereka di Eropa terbiasa dingin 'kaan...


      Hapus
  3. Bangunan belanda dimuat besar dan tinggi biar banyak sirkulasi udara keluar masuk dan jadi adem didalmnnya.. Maklum, musim indonesia dan belanda beda jauh..
    Kapan punya bangunan gede ya..
    Minimal punya tanag gede dlu lah ya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, itu dia. KIta butuh tanah yang luaaaass .... sebelum membuat bangunan-bangunan megah.

      Hapus
  4. model bangunannnya masih original ya mbak, dan kesan pertama yang saya lihat adalah kesan sejuk nan indah

    BalasHapus
  5. Masih banyak cagar budaya peninggalan belanda yg masih dihuni walaupun ada sebagian bangunan yg rusak. Beruntung mbak boleh meliputnya walaupun nggak semua ruang bisa dimasuki

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mas. Termasuk beruntunglah kami, saya dan kawan-kawan. Andai gak boleh ngintip barang sedikit pun, kami pasti tak bakalan tahu sama sekali malahan.

      Hapus
  6. Sepertinya lebih cantik lagi gaya rumah ini kalau dibangun materialnya seratus prosen dari kayu. Saya suka.

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah, kalau seratus persen kayu gitu mesti dicari yang kualitas yinggi. Yang tak mudah keropos, kuat, dan tahan rayap. Selain itu, faktor keamanan listriknya harus super ciamik. Kalau ada insiden konslet dan terbakat 'kan bisa wow banget akibatnya...

      Hapus
  7. Unik dan adem. Itu kesan pertama yang saya tangkap ��

    BalasHapus
  8. Saya suka rumah-rumah lawas macam ini, Mbak. Keren dan lega gitu bangunannya.

    BalasHapus
  9. Langit-langitnya bagus ya. jaman dulu bisa bikin rumah dengan langit-langit dan ubin seperti itu keren banget. Bangunan jaman Belanda juga kalau terawat jauuuuuh lebih kuat daripada rumah-rumah jaman sekarang, yang baru terima kunci aja sudah keliatan retakan di dinding #eh curhat. Semoga cagar budaya seperti ini bisa dirawat dengan baik agar tidak musnah.

    BalasHapus
  10. Bangunan klasik bisa tetap indah gitu ya mbak. Tapi aku mencium aroma horor di reruntuhan kamar-kamar pembantu. Semoga nggak ada apa-apa dan dirawat dengan baik sehingga yang berkunjung nggak takut.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nahh itu diaaaa... Di reruntuhan itu ada seauatuuu..

      Hapus
  11. Bangunan peninggalan Belanda emang keren2 mba, rumah saudara ada bekas peninggalan Belanda tapi beh siang hari bolong aja auranya mencekam horor dingin banget aku ga pernah berani :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Weih, pemberani betul saudaramu itu, Mbak. Kalau aku, mending pindah ajaa.


      Hapus
  12. Vintage banget yaaa. Cakep. Sayang udah bbrp bagian rusak. Smg bs direnovasi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena audah menjadi bangunan cagar budaya, renovasinya mesti hati-hati.

      Hapus
  13. Saya jadi ikutan sebel baca di bagian ini. "Ya Allah. Mengapa kaum penjajah Belanda itu sedap betul hidupnya? Punya rumah luas dan keren. Syahdu. Mereka benar-benar mencicipi surga dunia di Indonesia!"
    Hihihi...kok enak bener ya mereka?

    tapi itukan zaman penjajahan, namanya juga penjajah.

    BalasHapus
  14. Waah beruntung sekali ya mbak bisa masuk dan jalan - jalan ke salah satu pagar budaya bekas rumah Belanda di Jogja ini. Jadi sekarang yang nempatin keturunan pakualam ya Mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, yang satu keturunan Pakualaman, satunya keturunan keraton Yogyakarta.

      Hapus
  15. Wiwin | pratiwanggini.net13 November 2019 pukul 16.35

    Aku tu suka dengan bangunan-bangunan peninggalan Belanda. Bangunannya tinggi-tinggi, tampak kokoh dan kuat. Tapi ya itu kesannya seremmmm..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itulaah, Mbaaaak. Seremnya ituuu. Memang kokoh, indah, unik.

      Hapus
  16. Keduanya itu rumah peninggalan belanda kan yaaa....
    rtumah belanda emang unik dan artistik ya mbak. sayang kalo gak dirawat..
    btw, keduanya masuk cagar budaya ya ternyata... padahal itu nrumah huni kan mbak... masih ada yang nempati juga

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!