Jumat, 27 Juli 2018

Copet dan Diriku


SELEMBAR peringatan yang tertempel di tembok itu sukses bikin aku cengar-cengir sendiri. Yeah, copet! Yakni sebuah profesi yang menyebalkan dan merugikan khalayak ramai.

Yoiii. Tentu saja copet itu menyebalkan. Kelihaiannya "bermain tangan" bikin para korban merugi. Bahkan ruginya akan dobel bila si copet terpaksa merusak tas sang korban. Sudahlah kehilangan uang, masih pula tasnya rusak mendadak. Syedddiiih.

Berurusan dengan kaum copet memang amat menyebalkan. Apesnya, semasa kuliah dulu aku kerap kali berurusan dengan mereka. Sekali menjadi korban, selebihnya menjadi semacam saksi mata.

Maklumlah. Aku 'kan pengguna setia bus kota. Sementara bus kota merupakan ladang berkarya para pencopet. Jadi mau tak mau, tiap hari berjumpa dengan mereka. Bahkan, aku hafal wajah sebagian dari mereka.

Dan, tahukah Anda? Ketika sudah bekerja aku malah tetanggaan dekat (satu dasawisma) dengan pasutri copet legendaris. Gila enggak, siiih?

Apa boleh buat?  Takdir is takdir. Allah Yang Maha Mengetahui pasti punya maksud tertentu atas takdir yang kuterima itu. Dan kukira, Sang Maha Mengetahui bermaksud menyadarkanku untuk belajar dari pasutri copet tersebut.

Belajar apa? Sudah pasti bukan untuk belajar mencopet. Jangan sembarangan dong, ah. Bagaimanapun aku juga paham kalau harta hasil mencopet tuh haram. Enggak berkah sama sekali.

Itulah sebabnya aku galau setengah mati tatkala mereka  bagi-bagi makanan ke tetangga. Iya. Kalau hasil copetan bagus (berlimpah ruah), mereka memang suka berbagi kebahagiaan dengan cara begitu.

Hendak kutolak, aku takut melukai perasaan mereka. Hendak kuterima lalu kubuang, aku takut berdosa sebab memubazirkan makanan. Hendak kuterima lalu kukasihkan orang, aku takut dianggap njlomprongke orang untuk mengonsumsi hasil copetan. Hadeeeh. Mumet.

Eh, hampir lupa. Mari balik ke soal belajar tadi. Menurut penangkapanku, Allah SWT menyuruhku belajar bijak dari pasutri copet yang menjadi tetangga dekatku itu.

Bijak? Bijak yang bagaimanakah? Hmm. Maksudnya supaya aku tak terbiasa seenak perut untuk menghakimi orang. Sebab belum tentu seseorang yang terlihat baik, memang betul-betul baik. Demikian pula sebaliknya.

Yeah! Setidaknya ketika bertetangga dengan pasutri copet tersebut, mau tak mau aku terkondisikan untuk senantiasa bijak. Dan, itu sungguh tak mudah. Perlu banyak belajar.

Sejujurnya tatkala itu aku agak kesulitan. Bayangkan saja.  Aku mati-matian berusaha untuk mampu tersenyum tulus kepada mereka. Sementara pada detik yang bersamaan harus dapat bersikap tegas. Yakni tegas menyatakan bahwa profesi mereka tak halal.

Ya Allah Ya Rabbi. Untunglah kini semua tinggal kenangan. Aku tak perlu galau lagi jika menerima kiriman makanan dari tetangga depan rumah. Tetanggaku tersebut jelas-jelas bukan pencopet.

Ini cerita tentangku dan copet. InsyaAllah masih ada satu cerita lagi dengan tema serupa. Nantikan saja, ya.

MORAL CERITA :
Siapa pun yang dihadirkan-Nya dalam kehidupan kita, pastilah ada manfaatnya.



4 komentar:

  1. Waduh...pasutri pencopet...terus keseharian bertetangga mereka gmn mb? Yang tahu profesi mereka selain mb tina ada ga?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Orang sekampung tau kok, Mbak. Mereka sekeluarga biasa2 saja dlm bergaul, gak malu gak nutup diri. Lha anak2 mereka juga bergaul dg anak2 kampung. Mlh salah satu anak mereka juara kelas terus...

      Hapus
  2. Yang penting bukan pencopet hati, karena jika hal itu pastinya lebih menyakitkan. Susah untuk melupakannya. Oh tetangga, walau kau jahat sama orang, ternyata masih berbelaskasih sama diriku :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Klo pencopet hatiku Nicholas Saputra kayake gapapa deeh... Hihihihi...

      Hapus

Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!