Sabtu, 06 Mei 2017

Demam Sepatu Roda di Kampungku


KALAU melihat foto di atas, sepertinya baik-baik saja. Tiga anak manis sedang duduk santai. Sejenak rehat setelah beberapa waktu bermain sepatu roda. Bahkan, ada yang sudah mulai mencopot sepatu rodanya. Mungkin dia telah lelah. Maka tak hendak melanjutkan permainan.

Tiga anak tersebut merupakan representasi dari kondisi terkini anak-anak di kampungku. Ya. Anak-anak di kampungku memang sedang terserang demam sepatu roda. Maka belakangan ini kerap terdengar bunyi berisik di jalan kampung. Apalagi tatkala anak-anak sedang tidak bersekolah. Bisa seharian tanpa henti keberisikan itu terjadi. Bunyi apakah? Yakni bunyi gesekan antara sepatu roda dengan jalan konblok.

Sebab rumahku mepet jalan konblok, tentu saja keberisikan itu amat terasa. Tapi sebenarnya aku tidak merasa terganggu, kok. Aku justru deg-degan. 

Aku cemas, jangan-jangan anakku terinspirasi untuk membeli sepatu roda juga. Ini bukan masalah uang. Kalaupun aku sedang bokek, anakku punya tabungan yang cukup untuk membelinya. Nah, justru kecukupan tabungan itulah yang bikin kadar cemasku berlipat-lipat. Aku akan sulit mencegahnya sebab itu toh uang tabungannya sendiri.

Aku cemas tentu ada alasan kuatnya. Menurutku, sepatu roda bukanlah sebuah kebutuhan primer. Memang sih, bermain sepatu roda itu bermanfaat untuk melatih motorik anak. Tapi bagi golongan ekonomi menengah ke bawah--semacam aku--harganya tak nyaman di kantong. Maka lebih baik melatih motorik dengan cara yang murah-murah saja.

Berdasarkan hasil survei kecil-kecilan, kuketahui bahwa harga sepatu roda anak-anak kampungku itu sekitar Rp220.000,00 sampai Rp300.000,00. Duh, duh. Uang segitu lebih baik untuk piknik ke bonbin, deh. Padahal pula, harga segitu bukanlah untuk sepatu roda dari kualitas terbaik. Dua anak yang kusurvei mengaku kalau sepatu roda mereka dibeli di lapak pinggir jalan. Masih boleh sedikit menawar. Jika membelinya di toko pasti lebih mahal.

Sekali lagi, aku tidak bermaksud pelit, lho. Yang kutekankan pada anakku, seberapa besar manfaat sepatu roda baginya. Kubilang, "Kalau ingin punya sepatu roda, pikirkan dulu matang-matang. Bakalan bosan enggak? Kalau mau sekalian jadi atlet sepatu roda malah boleh. Beli yang kualitasnya bagus, lalu masuk kursus untuk ikut lomba-lomba. Sayang duitnya kalau untuk gaya-gayaan saja."

Alhamdulillah anakku tidak tertarik untuk membelinya. Ia cukup senang dengan hanya menonton teman-temannya. Alhamdulillah ia paham penjelasanku.

Namun, aku tetap merasa sedih. Mengapa? Sebab di balik kemeriahan anak-anak bersepatu roda itu, ada para orang tua yang rela berhutang. Aku tahu, ada orang tua yang berhutang demi bisa membelikan sepatu roda. Aku juga tahu, ada orang tua yang sengaja menunda membayar utang sebab sepatu roda itu. Mestinya uang di tangan untuk mencicil utang yang menumpuk. Eh, malah untuk membeli sepatu roda dulu. Padahal (diakui atau tidak), peruntukannya sekadar demi meraih gengsi tinggi. 

Kupikir, aku memang pantas bersedih. Bagaimana bisa orang tua yang kesehariannya selalu mengeluh tak punya uang, tapi malah membeli sepatu roda? Bagaimana bisa begitu? Skala prioritasnya mana?
 
MORAL CERITA:
Edukasi mengenai cara bijak mengelola keuangan mestinya lebih dimasyarakatkan.


2 komentar:

  1. Ini yang sering saya sebut ...
    Sayang anak ... tetapi kurang pas.

    Masak mesti berhutang demi sepasang sepatu roda. Kalau untuk sepatu sekolah mungkin masih bisa saya terima. namun untuk sepatu roda?

    Semoga nanti-nanti yang ngetrend mainan murah meriah ya.
    atau bahkan mainan yang tidak pakai beli peralatan mahal

    salam saya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, cara sayangnya mesti diluruskan. O ya, untuk sepatu sekolah mereka mengandalkan uang bantuan dari pemerintah juga. Enggak berhutang. Entahlah. Ini soal mentalitas yang kurang pas.

      salam juga dari Jogja

      Hapus

Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!

 

PIKIRAN POSITIF Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template