Kamis, 29 September 2016

Mata Pelajaran Action Oriented

Jangan lupa, mereka butuh diajari untuk menjadi pribadi yang action oriented....


MATA pelajaran Action Oriented? Apakah itu? Program baru dari Mendikbud baru? Ooops! Sama sekali bukaaan. Mata pelajaran Action Oriented ini hasil rancanganku sendiri, kok. Terutama kurancang untuk kupraktikkan sendiri. Dan terutama lagi, untuk kuajarkan kepada Adiba. 

Mungkin Anda sempat membatin, “Wuih! Sok pintar. Mau menyaingi Mendikbud, ya?” Enggak, dong. Siapalah daku ini? Daku hanyalah seorang emak yang berotak pas-pasan. Sementara putri semata wayangku, merupakan bocah yang perlu dipikirkan secara mendalam.  

Maksudku begini. Adiba, putri semata wayangku itu, sedikit berbeda dengan teman-temannya. Tingkat kejailannya melejit tinggi. Alhamdulillah. Berarti dilihat dari kacamata positif, daya kreativitasnya tinggi. Hanya perlu diluruskan yang selurus-lurusnya.  

Kepandaian Adiba berbahasa melebihi teman-teman sebayanya. Cepat tanggap bila diajak main plesetan kata-kata. Sangat nyambung kalau diajak mengobrol dengan bahasa "melenceng". Maka tidak mengherankan, nilai bahasa Indonesia dan bahasa Inggrisnya selalu tinggi. Kadang kala ia juga bikin tulisan. Meskipun tulisan yang paling kerap dibuatnya berupa caption di IG, sekali dua kali Adiba menulis dalam arti yang sesungguhnya.

Kerap kali kuintip, di buku tulisnya ada semacam puisi dan cerpen. Bahkan di laptopku, ada satu tulisan panjangnya. Berlembar-lembar. Ditulis selama ratusan hari. Dan tampaknya, enggak pernah kunjung selesai. Mungkinkah itu dimaksudkannya sebagai novel? Entah. Hanya saja, Adiba lebih kerap menulis di IG. Halah! Padahal cita-citanya, menjadi pengarang terkenal. Wow.... :p

Nah, bermula dari cita-citanya itulah mata pelajaran Action Oriented bermula. Tahukah Anda? Cita-cita tersebut sungguh mulia dan menggubrakkan duniaku. Namun aku amati, perilaku kesehariannya tak sesuai dengan cita-cita mulia tersebut. Kalau ingin jadi pengarang terkenal, mestinya banyak baca-banyak nulis. Eh, si Adiba malah banyak selfi. Sangat tidak nyambung ‘kan? Maka sebagai ibu yang baik dan benar, aku berusaha keras untuk meluruskan.

“Adibaku sayang,” panggilku untuk memulai upaya pelurusan. “Hmmm. Masih ingin jadi pengarang?”

“Masih, dong. Malah aku sering bilang ke teman-teman. Nanti aku akan jadi pengarang kondang.”

“Bagus. Itu namanya berbagi mimpi. Tapi masalahnya, kamu kurang berusaha. Masak cuma omong-omong ke banyak orang? Tidak pernah berusaha untuk jadi penulis terkenal?” ujarku.

“Eh? Maksudnya? Eh, Bunda. Bunda…. Pengarang itu sama ya dengan penulis?”

“Pengarang dan penulis. Hmm. Anggap saja sama. Hehehe…. Tapi begini, lho. Mau jadi pengarang kek, mau jadi penulis kek, syaratnya sama.”

“Apa syaratnya?” Tanya Adiba antusias.
“Syaratnya, rajin baca-rajin nulis-rajin shalat-rajin ngaji. Tapi masalahnya, kamu tidak melakukan semua itu. Itulah maksudnya bahwa kamu kurang berusaha. Paham? Understand? Dijamin, cita-citamu batal terwujud kalau cuma dikampanyekan ke teman-teman. Berjuang keras dong, untuk mencapainya. Haha!” Sengaja aku tertawa supaya Adiba tak merasa kutegur.

“Terus gimana?”
“Dengar, dengarlah wahai Adibaku.  Mulai sekarang kamu harus banyak baca-banyak nulis. Selain baca dan nulis caption di IG. Kamu harus action. A-c-t-i-o-n. Sebab mau jadi pengarang, action-nya ya nulis. N-u-l-i-s. Pahamkah engkau, Adiba?”

“Aku paham, kok. Sekarang aku mau jadi anak baik saja. Jadi pengarang terkenal syaratnya susah, sih….”

“Nah! Itu juga harus diperjelas. Tak boleh hanya diomongkan. Harus action.” sergahku.

“Maksudnya?” 

“Begini. Kamu bilang ingin jadi anak baik. Berarti kamu bersedia patuh pada ortu, rajin belajar tanpa diuber-uber, disiplin shalat lima waktu, siap membantu orang tua. Betul ‘kan?

“Lho? Kok begitu?” kata Adiba dengan raut muka sedikit kaget.

“Yaiyalah. Kalau tidak mau disuruh ibunya untuk membeli kecap di warung sebelah, berarti tidak  siap membantu ortu. Berarti pula bukan anak baik. Iya ‘kan?” Aku berkata-kata dengan senyum elegan. Padahal dalam hati bergumam jail, “Kena kamu, Nak.”    

Adiba nyengir kuda. Aku pun bertanya, “Gimana? Masih ingin jadi anak baik?” Adiba menjawab dengan senyuman mencurigakan. “Sudahlah. Yang sederhana saja supaya kamu tak bingung. Tuh, azan Ashar terdengar. Sekarang ambil wudu sana. Lalu, segera shalat. Action, action. Kalau action terus 'kan cita-citamu jadi anak baik akan tercapai dengan sendirinya.”

Adiba tertawa keras-keras. Tuh 'kaaan. Dia memang paham dengan permainan kalimat yang sedikit njelimet untuk anak seusianya.

MORAL CERITA:
Membentuk pribadi action oriented memang gampang-gampang susah....

 

6 komentar:

  1. Cita2nya baik. Jalannya dan bicaranya yang melenceng mohon direbonding
    Mbak @agustina

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha...iya mbak, pelurusan...rebonding....qeqeqe...

      Hapus
  2. inspiring mbak, mata pelajaran penting :)
    salam kenal

    BalasHapus
    Balasan
    1. yoiii salam kenal balik.... Alhamdulillah bila menginspirasi

      Hapus
  3. Tak Masukne Kurikulumku. Muatan Kelas Kearifan Lokal .... xixixixixi !!! Tapi yang jelas menambah wawasan dan patut ditiru. Yang jelas lagi Pekerjaanku jadi tertunda kalau dah baca tulisan mbak Titin!Taktutupe sik blogke suk wae nek ada waktu luang tak mampir lagi. Ra bar-bar gaeanku ki ngko. .....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mas Martono, huahahaha ....maaf telah menjadi pengganggu pekerjaanmu... hehehe.... Tapi makasih banget lho, telah sudi main-main di blog ini.

      Hapus

Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!

 

PIKIRAN POSITIF Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template