Sabtu, 25 Juni 2016

Tatkala Hari Pengambilan Rapor

BELAKANGAN ini banyak teman yang status fesbuknya berupa laporan angka-angka bagus di rapor anak mereka. Subhanallah. Memang bagus-bagus nilainya. Lalu yang anaknya lulusan, mulai lulus SD hingga SMA/SMK, duuuh... NEM-nya juga bagus-bagus. Bahkan, ada yang juara sekabupaten.

Sungguh, status serupa itu bikin  aku ingin punya anak. Hmmm. Maksudku, punya anak yang tidak sekadar anak. Tapi anak yang ciamik begitu. Hehehe....Namun pada dasarnya berdasarkan up load-an sejenis itu aku jadi berbahagia. Bukankah itu berarti di negeri kita masih banyak tunas harapan bangsa yang bermutu? 

Dalam hal ini, lupakan sejenak hal-hal detil penjelasannya. Mari kita sesekali berpikir sederhana saja. Nilai anak-anak itu bagus ya sebab mereka pintar. NEM mereka tinggi ya sebab mereka pintar. Mereka pintar ya sebab rajin belajar. 

Hmm. Rapor anak bagus, NEM anak bagus. Orang tua mana yang tidak bangga? Orang tua lain, yang anaknya tak pernah punya rapor/NEM bagus, sedikit banyak tentu jadi sedih. Si anak yang  nilainya pas-pasan juga sedih sebab diomeli orang tuanya. Nah, di titik inilah kebahagiaanku mulai berkurang.

Kalau aku jadi anak yang diomeli gegara nilai rapor jelek, aku pasti akan menderita tiada tara. Wah! Enggak enak banget. Apalagi kalau sampai dibandingkan dengan anak lain. Ih! Diperbandingkan itu = dijahati. Maka aku cenderung berempati pada anak-anak yang diomeli itu.

Capek, deh. Tiap kali hari penerimaan rapor dan hari kelulusan tiba kok begini. Lagu lama, lagu lama. Maka aku mati-matian berdoa dan berupaya, semoga aku tak termasuk ke dalam golongan orang tua yang suka geram dengan nilai rapor yang buruk. Juga sebaliknya, tak suka pamer ke khalayak ramai bilamana nilai rapor anakku ciamik.

Lalu, aku teringat seorang bunda yang tiap kali mengambil rapor merasa malu. Bukan sebab nilai sang anak demikian buruknya melainkan karena.... pertanyaan wali kelas, "Anak ibu sudah lebih terkendali? Kalau di sekolah sudah berkurang hobinya manjat-manjat. Tapi masih sering menjaili teman-temannya. Banyak orang tua teman-temannya yang protes."

Sudah. Tulisan berakhir di sini. Tak usah Anda kepo, siapa bunda yang kumaksudkan itu.

MORAL CERITA:
Tiap anak berbeda tingkat kemampuannya. Juga tingkat kejailannya. Jadi, tak bisa diperbandingkan seenak perut....


  

6 komentar:

  1. Kecerdasan anak beragam, mungkin anak yang dianggap "jail" itu memiliki kecerdasan kinestetis yang lebih tinggi dibandingkan ranah kecerdasan yang lain. Hehe.. salam kenal

    BalasHapus
    Balasan
    1. yup, yup, anak jail = kecerdasan kinestetisnya super...hehehe... oke, salam kenal juga

      Hapus
  2. kalau saya selalu bilang pada si dhenok : mami menerima apa adanya dhenok, mami tak pernah menuntut dhenok berprestasi. tapi tunjukkan keahlianmu di bidang lain kalau akademikmu biasa saja. anaknya jadi merasa diperhatikan dan dihargai.

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul, Mbak. Yang terpenting, si anak tetap merasa dihargai. Dan kita memang wajib menghargai upayanya untuk belajar saat ujian kan?

      Hapus
  3. setuju mba, masing-masing anak itu unik
    jangan bandingkan apel dengan jeruk, karena pasti berbeda
    masing-masing punya cirinya sendiri
    just take our kids as what they are

    #peyukanak

    BalasHapus
    Balasan
    1. yoi Mbak Bety... demikianlah mestinya kita bersikap sebagai ortu, btw makasih atas kunjungannya ya

      Hapus

Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!

 

PIKIRAN POSITIF Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template