Rabu, 23 Maret 2011

Bola, Oh, Bola (Sebuah Resume)

APA jadinya dunia tanpa sepakbola? Pernahkah Anda berpikir atau sekadar membayangkan dunia tanpa sepakbola? Hmmm, seperti apa ya kira-kira keadaannya? Jika Anda adalah seseorang yang gila bola (sepakbola), Anda pasti akan berkomentar, "Waduh! Pasti rasanya hambar banget, deh!" 

Yeah! Begitulah sepakbola. Kepopulerannya sungguh tak terbantahkan. Penetrasinya ke berbagai wilayah dunia juga tak terbendung. Mulai dari Eropa, Asia, Afrika, Amerika Latin, Australia... siapa yang tak kenal sepakbola? Mungkin hanya Amerika Serikat yang tak tergila-gila pada bola (atau belum?). Tetapi, siapa tahu ke depannya bakal seperti apa? Toh saat ini pun sepakbola telah mulai merambah negeri Paman Sam tersebut. Apalagi kesebelasan/timnas negeri Paman Sam telah pula berhasil menembus putaran final Piala Dunia (World Cup).

Selain merambah ke berbagai wilayah di seluruh penjuru dunia; sepakbola juga merambah ke bidang-bidang lain di luar olah raga. Siapa bilang sepakbola berjarak dengan industri media? Dengan politik? Dengan situasi sosial masyarakat? Dengan budaya dan kultur suatu masyarakat? Dengan urusan bisnis dan ekonomi? Dengan nasionalisme dan patriotisme? Dengan glamouritas kehidupan kaum selebriti? Bahkan dengan keyakinan dan agama para pemainnya? 

Hmmm, saat ini sepakbola memang ibarat virus yang mewabah; atau ibarat udara yang kita hirup. Ada di mana-mana! Terkait dengan banyak aspek di kehidupan kita! Melibatkan segenap sisi emosional dan kemanusiaan yang kita punya! Ya, ya. Sepakbola bagaikan sebuah drama yang menyuguhkan banyak cerita. Ada cerita duka, cerita suka cita, cerita sedih, cerita dramatik, juga cerita tragis....

Menurut buku ini, ruang lingkup sepakbola bukan hanya terkait dengan sosok Blatter, Platini, atau Mourinho; melainkan terkait pula dengan sosok Idi Amin, Mussolini, Stalin, Kim Il-Sung, bahkan Soekarno. Apa boleh buat? Dalam beberapa kasus sepakbola toh menjadi barometer ideal dalam hubungan internasional, ketegangan antarbangsa, dan ambisi nasional. Sudah bukan rahasia bahwa sepakbola sarat kepentingan. Banyak negara mengekspresikan jati diri melalui timnas sepakbolanya. 

Diakui atau tidak, perjuangan menjadi yang terbaik di sepakbola setara nilainya dengan upaya diplomatik agar sebuah negara diterima dalam pergaulan internasional. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika negara-negara yang baru merdeka langsung mencari legitimasinya dengan mendaftarkan diri sebagai anggota FIFA, bukan sebagai anggota PBB! Dan kenyataannya, jumlah anggota FIFA memang lebih banyak daripada jumlah anggota PBB.

Faktanya: beberapa negara kecil, negeri antah berantah, yang letaknya nyaris tak terlihat di peta, MENDADAK TENAR ke seantero dunia gara-gara prestasi timnas sepakbolanya. Sebaliknya, ada sebuah negeri kepulauan yang luas dan indah, letaknya strategis pula, tetapi tak banyak dikenal oleh masyarakat dunia sebab prestasi sepakbolanya yang memble. Tak salah lagi, itulah negara kepulauan yang bernama Indonesia. 

Apa boleh buat? Dunia lebih familiar dengan Kroasia, Pantai Gading, Paraguay, Bolivia, Liberia... daripada dengan Indonesia. Apa hebatnya mereka, ya? Mengapa negara-negara kecil itu bisa lebih terkenal di pentas dunia? Jawabnya pasti: sebab mereka berada di lingkar budaya sepakbola yang benar, lingkar prestasi dan lingkar kompetisi. 

Lalu, bagaimana dengan lingkar budaya sepakbola Indonesia? Anda tahu sendirilah. Maka wajar ketika Takeo Honda (salah seorang pencetus J-League) mengatakan, "Hanya sepakbola yang kami belum punya untuk benar-benar menjadi bagian dari pergaulan dunia." Ah, padahal Jepang telah memiliki kekuatan industri dan ekonomi. Begitulah. Rupanya untuk dikenal dunia secara luas, sepak bola tetap merupakan jawaban yang utama. Lagi-lagi, apa boleh buat?

Apa pun alasannya sepakbola telah menjelma sebagai "power" tersendiri di samping kedigdayaan ekonomi, politik, ataupun militer. Sepakbola juga merupakan alat promosi ampuh agar suatu negara bisa dikenal, bahkan kalau bisa --disegani-- dunia. Dan, prestasi besar di sepakbola tidak harus berbanding lurus dengan kemapanan ekonomi dan politik.

Prestasi besar di sepakbola pun bukan monopoli negara-negara makmur dan besar. Lihat saja Brazil dan Argentina. Keduanya tidak lebih kaya ataupun lebih makmur daripada Indonesia, bukan? Bahkan beberapa saat menjelang berlaga di final Piala Dunia 2002, Argentina mengalami keterpurukan: saat itu bank-bank di sana kehabisan dana dan BBM menjadi isu rawan.

Lalu, bagaimana dengan Togo? Konon di Togo hampir tak ada jalan beraspal. Rupanya jajaran pemerintah Togo tidak mau fasilitas jalan tersebut dimanfaatkan para pemberontak untuk menyerang balik mereka. Walah! Berdasarkan secuil fakta ini saja ketahuan bahwa Indonesia jauh lebih kondusif daripada Togo. Namun, siapa yang lebih berjaya prestasi sepakbolanya? Boleh saja Inggris mengintimidasi Argentina dalam Perang Malvinas. Tetapi, mampukah Inggris menyembunyikan tangis ketika ditendang Argentina di ajang World Cup 1998?

Begitulah sepakbola dengan segala romantikanya. Mau tidak mau harus diakui bahwa sepakbola tidaklah melulu dimainkan di lapangan hijau, tetapi dimainkan juga di lapangan ekonomi-politik-budaya-dan sebagainya yang sesungguhnya secara teknis tak terkait dengan sepakbola. Pembicaraan tentang bola pun tak dapat an sich membahas perihal bola. Ada banyak hal yang melingkupi sepakbola. Ada banyak kepentingan yang menyertainya. Mau bagaimana lagi? Memang demikian itu adanya. Maka, apa jadinya dunia tanpa sepakbola?

------------------------

Resume dari buku yang berjudul Drama Itu Bernama Sepakbola
Penulis            :  Arief Natakusumah
Penerbit          :  Elex Media Komputindo (Jakarta)
ISBN              :  978-979-27-3059-3
Cetakan tahun :   2008
Jumlah Hlm      :  334 hlm
 

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan Anda. Mohon tinggalkan jejak agar saya bisa gantian mengunjungi blog Anda. Happy Blog Walking!

 

PIKIRAN POSITIF Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template